"Assalamualaikum... Assalamualaikum, Ayah Mila pulang, Amanda, Mama pulang."
Tak ada jawaban, hingga beberapa menit kemudian kudengar langkah kecil seseorang membukakan pintu. Seorang anak berusia 10 tahun menghambur memelukku.
"Ma, Amanda kangen banget sama Mama, Mama kemana aja? Kok tiba-tiba Mama pergi? Manda pikir Mama marah sama Manda sampai pergi tanpa memberitahu Manda."
"Mama ada pekerjaan di luar kota sayang, mama ga pernah sama sekali marah sama Manda, mama sayang banget sama Manda." kataku sambil memeluk Amanda dengan begitu erat. Lalu air mataku pun menetes, rasanya aku begitu merindukan Amanda, sejak kecil dia tak pernah jauh dariku. Beberapa bulan terakhir ini pasti sangat berat untuknya, apalagi dia tinggal di rumah ini hanya dengan Ayahku saja.
"Kakek mana? Kok sepi?"
"Di belakang Ma, sedang membersihkan kolam ikan milik Manda, Bi Sumi juga ikut bantuin kakek."
"Loh sekarang Manda punya kolam ikan?"
"Iya dong, Papa yang bikinkan buat Manda, ikan-ikan di kolam juga hadiah dari Papa buat Manda, sejak Mama pergi hampir tiap hari Papa datang ke rumah loh. Bahkan Papa juga sering nginep di sini nemenin Manda tidur, kalau ga ada Papa mungkin Manda udah kesepian dan sedih ditinggal Mama." kata Amanda sambil menunjukkan wajah yang begitu sedih.
"Sudah sayang, Amanda sekarang sudah ga boleh sedih lagi kan mama sudah pulang."
"Tapi kalau Mama pulang, Papa ga bisa ke rumah ini lagi dong?"
"Papa pasti ke sini lagi sayang, Papa kan sayang sama Manda." jawabku menghiburnya.
"Papa juga masih sayang sama Mama loh, bahkan saat Papa menginap di sini, Papa ga pernah berhenti mandang foto Mama yang ada di kamar."
Hatiku begitu sakit mendengar kata-kata Amanda. 'Mas, masih begitu besarkah rasa cintamu padaku? Jika kamu tahu yang sebenarnya terjadi padaku, apakah kamu masih mau mencintaiku yang sudah begitu kotor?' batinku dalam hati.
"Mila kamu sudah pulang nak?" Tiba-tiba suara Ayah mengagetkanku, lalu kulihat wajah Ayah tersenyum sambil mendekat padaku, dia lalu memelukku dan membelai rambutku.
"Ih Kakek, ganggu aja deh, Mama kan lagi mulai kangen sama Papa, malah Kakek ganggu." kata Amanda.
"Sok tahu kamu, kamu udah kerjain PR belum?'
Amanda lalu menggeleng. "Ya sudah kamu kerjain PR dulu, kalau udah nanti kita main sama Rayhan, Mama udah telpon Bude Rani sebentar lagi mereka dateng, kamu buruan kerjain PR sebelum mereka dateng."
Amanda lalu mengangguk dan melangkah pergi menuju kamarnya.
"Kamu istirahat dulu saja, bibi sudah ayah suruh membuatkan minuman untukmu, kamu tentu merasa lelah." kata Ayah sambil membawa barang-barang bawaanku ke dalam kamar.
"Ayah...." kata-kataku tertahan.
"Sudah nanti saja ceritanya Mila, tenangkan dirimu lebih dulu, sekarang kamu istirahat saja nak, maafkan ayah nak yang tidak bisa menjagamu." katanya sambil berlalu pergi.
Aku melihat mata Ayah berembun. Aku tahu dia sedang menutupi tangisnya sehingga dia begitu cepat berlalu dari hadapanku.
Kuhirup aroma kamar ini, semua masih sama. Sama seperti saat terakhir kutinggalkan. Sama seperti saat aku masih remaja, takkala pertama kali menempati kamar ini. Randi, sebuah nama yang selalu kusebut di kamar ini. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti apa itu cinta. Kami hanya sebatas curi-curi pandang lalu tersenyum malu saat mata kami bertemu pada titik yang sama.
Kamar ini adalah saksi cintaku dengan Randi, jendela kamar ini adalah perantara cintaku padanya.
'Kenapa aku masih saja memikirkan lelaki brengsek itu!' gumamku dalam hati.
Inilah kelemahanku, sampai detik ini aku masih saja memikirkan Randi, entah karena aku begitu membenci dirinya atau karena rasa trauma yang belum juga hilang dalam benakku.
"Mba Mila ini tehnya." Bi Sumi datang dan memberikan secangkir teh padaku. Aku lalu meminum teh tersebut, tenggorokan ini memang terasa begitu kering terkuras oleh air mata, dan perjalanan pulang selama tiga jam di dalam bus memang cukup membuat kehilangan cairan tubuh. Baru saja kuletakkan secangkir teh di nakas sebelah tempat tidurku, tiba-tiba seseorang sudah berhambur memelukku.
"Mila maafin mba Mila, mba ga bisa jagain kamu, kalau saja mba mengecek kondisi mobil sebelum mengantarmu, sesuatu tidak akan terjadi pada kita berdua dan tentu Randi ga akan menculikmu."
"Sudah Mba, semua sudah berlalu, semua terjadi bukan karena kesalahan Mba Rani, sekarang Randi sudah mendapat semua balasannya Mba, keadaanku juga sudah sehat, Mba Rani gimana? Semua baik-baik saja kan?"
Mba Rani lalu mengangguk, mencoba tersenyum meski air mata masih mengalir deras di pipinya.
"Rayhan mana Mba?"
"Lagi main sama Amanda."
"Ya sudah Mba, jangan sedih, aku sudah baik-baik saja, lebih baik kita buka lembaran baru. Mba bantuin Mila buka cafe lagi yuk mba, sayang cafe Mila sampai tutup gini, padahal dulu omsetnya udah lumayan kan?"
Raut kebahagiaan mulai terlihat di wajah Mba Rani "Iya Mila." jawabnya singkat sambil mengangguk.
"Gimana keadaan anakmu Mila? Apakah kamu menyimpan fotonya?"
"Ya Mba aku mengambil beberapa fotonya sebelum kami berpisah."
"Mba boleh lihat keponakan mba kan Mila?"
"Tentu Mba"
Lalu kuambil ponselku di dalam tas dan keperlihatkan sebuah foto bayi yang baru kulahirkan.
"Tampan sekali anakmu Mila, untungnya cuma matanya saja yang mirip Randi, sedangkan wajahnya sangat mirip denganmu, Mba ga sudi wajah dia mirip dengan keponakan mba."
"Stttt sudah Mba, ga usah ngomongin penjahat itu lagi, sebentar lagi dia juga pasti membusuk di penjara."
"Tentu Mila, kami pasti akan membuat dia membayar semua perbuatan jahatnya."
"Ya sudah Mba, kita berdoa saja semoga proses persidangan Randi dipercepat dan dia bisa mendapatkan hukuman yang setimpal."
"Iya Mila, tapi sungguh mba ga menyangka anak yang kamu lahirkan itu begitu tampan, tahu gitu mba saja yang jadi orang tua angkatnya hahahaha." kata Mba Rani sambil tertawa.
"Iya Mba, dia memang begitu tampan, namun sayang kami harus terpisah oleh keadaan." jawabku.
"Kamu yang sabar Mila, ini demi kebaikannya, suatu saat kita pasti bisa bertemu lagi dengannya."
"Tentu Mba, mereka tidak pernah memberi batasan padaku untuk berkomunikasi dengan anakku."
"Iya Mila." jawab Mba Rani.
Dibalik pintu kamar, sosok lelaki tua juga terlihat menangis. 'Maafkan ayah Mila, jika ayah tak mengusirmu, kejadian buruk itu tak akan menimpamu.'
Sebuah ketukan tiba-tiba terdengar. Kulihat Bi Sumi tergopoh-gopoh membukakan pintu lalu mendekatiku. "Maaf Mba Mila, ada Ibu Wina di depan katanya ingin bertemu."
Aku lalu berpandangan dengan Mba Rani, namun Mba Rani juga menggelengkan kepalanya. 'Ada apa istri Randi datang ke rumah ini?'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
naya
ikut alurr dulu thoorrr😘😘😘😘
2021-10-06
1