2 Minggu Kemudian.
Diana dan pak Amar sudah berada di rumah setelah pulang dari pemakaman umum. Hari sudah menjelang malam, mereka memilih membersihkan diri lalu beristirahat. Tak ada makanan malam ini karena bagi keluarga pak Amar, makan hanya ada di waktu siang dan sore saja. Setelah itu, lebih baik berhemat daripada memuaskan *****.
Diana membaringkan tubuhnya di atas kasur lipat yang baginya begitu nyaman. Perlahan tangannya membelai perut besar yang tak lama lagi akan melahirkan seorang anak.
Pikiran Diana benar-benar kacau, darimana ia mendapatkan uang untuk biaya persalinan nya nanti. Darimana ia mendapatkan uang untuk menghidupi anaknya nanti. Tak mungkin ia terus berharap pada sang ayah yang sudah tua dan sakit-sakitan.
"Bisakah kau mati saja," gumam Diana mengelus perutnya.
"Bukan aku tak sayang padamu, tapi aku tak punya uang untuk menghidupi mu. Seharusnya kau sadar diri bahwa kehadiran mu begitu menyusahkan," lanjutnya mencoba menutup matanya. Hari ini ia sangat lelah, ia membantu ayahnya membersihkan beberapa makam yang sudah lama di biarkan begitu saja.
"Diana," panggil pak Amar mengetuk pintu kamar Diana.
"Iya ayah." Diana keluar dari kamar dan menatap sang ayah yang tampak ketakutan.
Pak Amar memberikan Diana belati yang di berikan Nathan padanya dua Minggu lalu membuat Diana kebingungan.
"Lari!" titah pak Amar pelan.
"Ada apa? Mengapa Nana harus lari?" tanya Diana ikut panik.
"Ambil ini," ucap pak Amar memberikan satu kantong plastik warna hitam. Diana melihat isi kantong itu, ternyata ada uang di sana.
"Apa ini, ayah? Ada apa sebenarnya?" tanya Diana sudah dibaringi tangis.
"Lari lah, nak. Kau berhak hidup bahagia. Ayah akan menyusul mu nanti, bahaya sedang mengejar mu. Mereka datang," jawab pak Amar mencium kening anaknya lalu memeluk keluarga satu-satunya itu.
"Nana akan pergi jika itu bersama ayah, Nana tidak akan meninggalkan ayah," tolak Diana tak ingin meninggalkan sang ayah. Lebih baik mati bersama daripada harus selamat, namun mengorbankan nyawa sang ayah.
"Ayah berjanji akan menyusul mu, nak. Sayangilah dirimu dan juga anak mu," ucap pak Amar penuh permohonan.
Tok
Tok
Tok
"Pak Amar!"
"Diana, ayah mohon lari lah!"
"Nana tidak mau, Nana akan tetap di sini bersama ayah."
"Ayah mohon, nak. Ayah mohon," tangis pak Amar berlutut.
"Ayah, jangan seperti itu. Ayo kita lari bersama," tangis Diana panik apalagi mendengar pintu yang sudah di gedor-gedor.
"Ayah tidak bisa lari, nak. Kaki ayah tak mampu berlari kencang, ayah mohon pergilah dari sini dan hiduplah," pinta pak Amar memohon agar putrinya pergi.
"Tapi..
"Keparat! Pintunya di kunci, hancurkan saja rumah ini dan bawa wanita itu, bunuh si tua itu dan ambil organ nya lalu kita jual putrinya."
Mendengar itu, pak Amar semakin panik. Ia pun menarik tangan Diana menuju pintu belakang rumah.
"Untuk kali ini ayah memohon padamu, lari lah! Jangan menjadi beban ayah lagi, ayah lelah! Lari, Diana!"
"Tapi ayah harus berjanji akan menyusul Nana, Nana akan menunggu ayah di kota seberang, berjanjilah." Pak Amar menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Diana.
"Ayah bersyukur karena memiliki mu, hiduplah untuk ayah."
Setelah mengatakan itu, pak Amar menutup pintu lalu membiarkan Diana di luar.
Takut akan ketahuan, Diana berlari sekencang-kencangnya, ia akan menunggu ayahnya di kota seberang. Ia akan hidup demi sang ayah.
Sepeninggalan Diana, pintu rumah pak Amar sudah rusak dan para preman itu sudah masuk.
Pak Amar memegang sebuah korek api sembari menatap para preman itu.
"Hei tua bangka! Dimana putri mu?" tanya salah satu dari mereka. Pak Amar memilih diam saat para laki-laki itu bertanya dan memporak-porandakan rumah nya.
"Bau apa ini?"
"Bau minyak tanah," gumam mereka.
Pak Amar menghidupkan korek api lalu membuangnya ke sembarang arah, api mulai menyebar dengan cepat karena pak Amar sudah menuangkan minyak tanah itu ke seluruh rumahnya sebelum ia membangunkan Diana.
"Api!" teriak mereka.
"Aku tidak akan membiarkan putriku dalam bahaya, lebih baik aku mati. Mari kita mati bersama-sama."
Para preman itu kocar-kacir ingin keluar dari rumah, namun pak Amar berusaha menahan mereka. Jika mereka kabur, maka usaha nya akan sia-sia dan putrinya masih dalam bahaya.
"Lepaskan aku!" teriak ketua preman berusaha melepaskan pelukan pak Amar.
"Aku tidak akan melepaskan mu, aku ingin kau mati dan tak mengganggu putri ku!" balas pak Amar.
"Hei, kalian! Cepat singkirkan bajingan ini!" teriak ketua preman itu pada tiga anak buahnya yang sudah berhasil keluar dari rumah pak Amar.
"Maaf bos, kami memilih untuk hidup daripada harus mati menolong mu," ucap mereka tertawa sinis.
"Sialan kalian, penghianat! Arghhh!"
Rumah terbakar dengan cepat karena rumah pak Amar terbuat dari kayu. Api itu melahap rumah sekaligus pak Amar dan juga ketua preman itu.
Para warga satu persatu datang untuk melihat bukan untuk memadamkan api. Api akan padam sendiri nanti, pikir mereka.
"Ayo kita cari wanita itu," ucap salah satu preman yang selamat dari kebakaran itu.
Mereka pun meninggalkan lokasi kebakaran lalu pergi mencari Diana. Wanita hamil itu pasti belum terlalu jauh meninggalkan lokasi.
Di sisi lain, Diana terus berlari menyusuri jalanan sepi dan gelap. Hanya ada lampu jalan yang sudah berkedip-kedip sebagai penerang untuk Diana.
"Ayah, Nana lelah." Diana menghentikan larinya sekejap untuk mengatur nafasnya.
"Ke arah mana aku harus berlari?"
"Berhenti kau!" teriak para preman itu yang ternyata sudah berada di lokasi yang sama dengan Diana.
"Ayah!" teriak Diana berlari sekuat tenaganya.
"Sialan! Kejar dia! Dia adalah sumber uang untuk kita!"
Diana merasa udara semakin menipis, ia terus berlari dan berlari hingga melihat sebuah mobil dari arah depan.
Diana berlari ke tengah jalan lalu mencoba menghadang mobil yang ingin melintas itu.
Di dalam mobil.
"Tuan, ada seorang wanita di depan," ucap Xeon menatap sang tuan sesekali yang tengah menutup matanya.
"Tabrak saja."
Sudah jelas itulah jawaban dari tuan nya, tapi Xeon bukanlah orang yang terlalu kejam apalagi pada seorang wanita.
Xeon menghentikan mobil itu membuat Nathan membuka matanya.
"Wanita itu sedang hamil, tuan. Sepertinya dia sedang di kejar oleh penjahat," ucap Xeon.
Tok
Tok
Tok
"Tuan, tolong saya." Diana mencoba meminta tolong dengan mengetuk-ngetuk kaca mobil.
"Berhenti di sana sialan!" teriak para preman itu.
"Tuan, saya mohon tolong saya." Diana tak tau lagi harus berbuat apa.
Lari? Ia bahkan sudah tak sanggup lagi berjalan.
Di dalam mobil, Xeon melirik ke arah tuannya yang kembali menutup mata. Xeon pun memberanikan diri untuk membuka pintu mobil.
"Silahkan naik, nona." Xeon mempersilahkan Diana naik dan duduk di sebelahnya.
"Terimakasih, tuan."
Setelah itu, mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi ke arah para tiga preman yang masih ada di jalan.
"Apa yang anda lakukan, tuan?" tanya Diana panik.
Braakkk!!
Mobil menabrak ketiga preman itu lalu melaju menembus hening nya jalanan di malam hari.
Diana memegangi perut dan dadanya yang sesak, ini adalah pertama kalinya ia melihat adegan seperti itu.
Apa ia sudah tepat dengan meminta tolong pada dua orang asing ini?
_
_
_
_
_
_
_
Lanjut?
Typo bertebaran di mana-mana harap bijak dalam berkomentar yah.
tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Lisa Halik
kesian pak amar sanggup berkorban demia anaknya..
2024-05-10
0
Nanda Lelo
pengorbanan seorang ayah 😭
2023-01-17
0
epifania rendo
kasiannya nasibmu diana
2022-09-24
0