Pagi yang cerah,, untuk jiwa yang sepi.. Begitu tenang,, untuk jiwa yang mati...
Begitu juga pagi ini, kicau burung di barengi sinar lembut mentari yang menyinari seorang anak berusia 12 tahun yang sedang duduk bersemedi di bawah air terjun besar yang terlihat seperti air bah jika dibandingkan dengan tubuhnya yang masih kecil.
Guyuran air yang begitu besar dan mungkin beratnya mencapai puluhan ribu kilogram mendarat tepat di kepalanya.
Namun dia tetap tidak bergeming dan tampak seperti patung, padahal sudah sekitar satu jam dia berada di posisi itu.
Dapat dipastikan, jika anak biasa yang melakukan hal seperti itu tentunya pasti akan tewas atau paling tidak, mengalami geger otak. Namun tidak dengan John, begitulah nama panggilannya.
Namun kadang-kadang diapun di panggil Tong (bocah lelaki) oleh Suhunya yang merupakan keturunan campuran Han dan Uighur asli.
John Black Hawk, begitulah namanya, telah tujuh tahun mengikuti guru nya yang selalu di panggil Suhu.
Mereka tinggal di pertengahan Gunung Mooji agak ke atas dimana terdapat air terjun yang airnya begitu segar dan deras mengalir sampai ke lembah Barun yang sangat indah.
Seorang kakek bermata sipit dan seorang bocah tampan bermata biru dan berambut hitam setiap hari berlatih di air terjun dekat dengan puncak gunung Mooji,
Sangat jelas kelihatan dari wajahnya bahwa John keturunan campuran Barat dan Asia.
John berasal dari keluarga ilmuan. Seperti kita ketahui, ayahnya seorang Profesor ahli peneliti Serum Antigen Virus yang berasal dari Inggris bernama Profesor Denis Black Hawk yang tinggal di Amerika Serikat.
Sedangkan ibunya adalah seorang Dokter kesehatan bernama Citra Mentari Sanjaya yang berasal dari Negara Indonesia.
John yang mempunyai kelainan pada tubuhnya akibat Gen dari Ayah nya dan juga beberapa hal yang terjadi padanya kini bangun dari semedinya.
Begitu dia berdiri di sebuah batu di tengah danau, dia langsung mengayunkan toya (tongkat besi) berwarna emas milik Suhunya yang telah diwariskan pada nya.
Walaupun gerakannya agak lebih lambat dari gurunya, namun pada pandangan mata biasa, dia terlihat sangat lincah, cepat dan begitu ahli dalam memainkan jurus yang telah dipelajarinya.
Terus saja John berlatih dengan bimbingan dan arahan dari gurunya.
Toya emas yang beratnya mencapai 30 kilogram itu terlihat seperti sebatang ranting kering ditangannya.
Setelah beberapa jam berlatih, akhirnya dia dan gurunya segera kembali ke gubuk tempat mereka tinggal yang tak begitu jauh dari situ.
"Suhu, apakah persediaan kita masih ada, haruskah aku turun untuk mencari persediaan?" Seru John yang berjalan di samping Suhunya.
Han Lojin yang menjadi guru John menjawab,
"Ya Tong, hari ini kau harus turun gunung tapi tidak untuk mencari persediaan, namun untuk pulang ke bukit Ang Hwa menemui ayah, ibu dan kakek mu"
"Sendiri Suhu?"
"Ya, sendiri". Jawab Han Lojin dengan senyum di bibirnya.
Sesampainya Han Lojin dan muridnya di gubuk yang terlihat seperti rumah tersebut, John segera menyiapkan makanan untuk guru dan dirinya sendiri.
Selesai makan, John segera di suruh mengemasi barang yang perlu di bawanya.
Sebenarnya, Han Lojin ingin mengetes John, apakah dia sudah bisa di utus untuk melakukan sesuatu sebagaimana firasatnya, jika dia benar memilih murid, muridnya itu akan melakukan sesuatu yang menimbulkan manfaat yang besar bagi banyak manusia lain dalam hidupnya.
Selesai mengemasi barang, hari telah petang. John dan Han Lojin berdua duduk di ruang tengah dan mengobrol hal-hal yang harus dilakukan oleh John.
"Kau harus membawa obat-obatan ini ke rumah orang tuamu di Bukit Bunga Merah dan berikan pada mereka" Ucap Han Lojin yang sedang menatap John tajam.
"Baik Suhu" Jawab John dengan patuh.
Setelah mengobrol panjang lebar, akhirnya John pun pamit untuk beristirahat kepada gurunya.
Tak lama kemudian, Han Lojin ikut terlelap dalam semedinya.
.---***---. .---***---. .---***---.
Siang itu di bukit yang dikenal warga sekitar dengan nama Ang-Hwa (bukit bunga merah)
terlihat seorang pria yang sudah sangat tua terbaring di tempat tidur di kelilingi oleh empat orang.
Mereka adalah Denis, Citra, Robert dan istrinya Melly yang sedang duduk mengitari ayah Citra yang mengalami sakit beberapa bulan yang lalu.
Rafly Sanjaya, begitulah nama pria yang terbaring lemah dengan nafas yang berat itu.
Dia adalah salah seorang pensiunan Militer Indonesia yang melarikan diri dari Negaranya karena nyawanya di incar oleh adik kandung nya sendiri.
Tak lama kemudian, Sarah Kill yang berusia 9 tahun masuk membawakan air dan Ginseng serta beberapa akar dan rempah-rempah yang telah di rebus.
Sarah adalah satu-satunya putri Robert dan Melly.
Sarah merupakan seorang anak yang sangat cantik dengan kulit putih bersih kemerahan, matanya indah seperti ibunya, dia pun mempunyai lesung pipit di kedua pipinya.
Bulu matanya hitam dan lentik dengan hidung mancung dan bibir yang sangat menawan.
Baru kali ini dia merasakan pertama kali di bawa pergi jauh oleh kedua orang tuanya.
Tak lama kemudian tampak seorang bocah lelaki memberikan salam,
"Assalamualaikum Warahmatullah" Mereka pun menjawab dengan serentak,
"Wa alaikum salam".
Ternyata John yang disuruh pulang oleh gurunya telah tiba di rumah orang tuanya.
Citra yang melihat seorang bocah segera mengenali bahwa itu adalah putranya yang telah lama pergi meninggalkan rumah untuk belajar ilmu beladiri.
Melihat kakeknya yang selama ini sering mengunjungi John di Himalaya, John segera berlutut dekat pembaringan. Dengan memegang tangan kakeknya dia berkata,
"Kakek, aku membawakan obat dari suhu buat Kakek".
John segera mengeluarkan bungkusan yang dibawanya dan menyerahkan kepada ibunya agar meramu dan memberikan kepada sang kakek.
Ternyata Citra sangat pandai meramu obat-obatan herbal, dia tidak hanya ahli di bidang kedokteran saja, namun dalam hal ilmu kesehatan banyak ilmu yang dia dapatkan dari ayah angkatnya yang kini telah menjadi Guru dari putranya.
Beberapa menit kemudian, Citra telah selesai menggodok obat herbal titipan Han Lojin untuk ayahnya.
Citra segera datang dengan membawa semangkuk sup kecoklatan dan begitu agak hangat, langsung diberikan kepada sang ayah.
Wajah pucat Rafly sanjaya kini tampak berangsur-angsur memerah kembali.
John yang sangat senang lalu mendekat dan mencium kakeknya.
Akhirnya tibalah masa perkenalan John dengan beberapa orang yang hanya di dengar John dari ibunya meski dulu saat dia berumur lima tahun pernah berjumpa dengan mereka.
"Kenalkan John, ini adalah Tante Melly dan Om Robert yang sering ibu ceritakan kepadamu" Ucap Citra yang kini telah mendapatkan kebahagiaannya kembali setelah ayah nya tampak semakin segar.
"Dan ini adalah Sarah (dipanggil Sera) putri mereka" Lanjut Citra memperkenalkan seorang gadis cilik yang sangat manis yang duduk bersama mereka.
John yang memang di ajarkan adab pula oleh Sang Guru, segera menyalami mereka bertiga.
Beberapa saat kemudian, John telah akrab dengan Sarah dan langsung mengajak nya bermain di taman bunga belakang gubuk.
John langsung memperlihatkan tempat-tempat yang indah kepada Sarah di sekitaran gubuk tersebut.
BERSAMBUNG ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments