'TOMORROW could be the someday you've been waiting for !'
('Bisa saja BESOK adalah sebuah hari yang telah kau nanti-nantikan !')
—MOVE ON, by: Mrs Caffeine.
💗
💗
💗
Tak lama setelah Taksi yang ditumpanginya melaju, Pak sopir bertanya arah tujuan Malika pergi.
"Ke jalan Merbabu nomor dua, Pak!" jawab Malika.
"Jalan Merbabu yang masuknya dari depan SMA 6 itu, Bu?" tanya Pak sopir memastikan.
"Betul, Pak!" balas Malika cepat.
Malika bermaksud menidurkan Leo yang masih ada di atas pangkuannya, ke sisi Reo yang sejak awal ia tidurkan di sisinya—kursi penumpang.
"Pak, pelan-pelan saja ya mengemudinya! Anak-anak saya lagi tidur. Saya tidak buru-buru kok," pinta Malika sopan pada sang sopir.
"Baik, Bu!" jawab Pak sopir dengan ramah.
Setelah menjejerkan anak-anaknya di kursi penumpang, lalu mengganjal tubuh Leo dengan sebelah kakinya agar tidak terjatuh. Malika segera mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Rima—sepupunya. Rimalah yang selama ini menjaga rumah peninggalan orang tuanya sejak ia menikah. Jadi kunci rumah itu juga masih dipegang oleh Rima. Jelas Malika tidak bisa masuk ke rumah tanpa bantuan sepupunya itu.
Lebih dulu Malika melihat jam digital yang tertera di layar ponsel jadulnya. Masih jam setengah delapan malem, moga Rima belom tidur. Harap Malika.
Setelah menekan tombol calling, Malika lalu menempelkan ponselnya ke telinga. Untungnya harapannya terkabul, karena baru satu kali nada panggil terdengar, Rima langsung menerima panggilannya.
📱RIMA NADYA
Halo! Malika?
📱MALIKA SHARNAZ
Halo, Rim! Ini gue!
📱RIMA NADYA
Iya gue tahu, ini lo, Malika.
Ada kabar apa, Ka? Lo baik-baik aja kan?
📱MALIKA SHARNAZ
Gue lagi di jalan mau ke rumah Merbabu.
📱RIMA NADYA
Haaahhh?! Apaa?!
📱MALIKA SHARNAZ
Gue udah ditalak dan diusir sama Mas Haris. Ini gue lagi di dalem taksi sama anak-anak.
📱RIMA NADYA
Serius lo, Ka? Sialan tuh si Haris!
📱MALIKA SHARNAZ
Udah... nggak usah maki-maki dia sekarang! Ini gue udah setengah jalan. Lo bisa kan bukain pintu buat gue?
📱RIMA NADYA
Ooh, bisa-bisa! Gue sama Mas Satria ke rumah lo sekarang, gue bukain pintunya.
📱MALIKA SHARNAZ
Oke, Rim. Trims. Sampe ketemu disono!
📱RIMA NADYA
Oke-oke!
Malika menghela napasnya lega setelah menutup sambungan telepon dengan Rima. Ia menoleh ke samping untuk menatap wajah-wajah mungil kedua anak lelakinya seraya bersyukur.
Terima kasih, Tuhan! Terima kasih atas jalan yang telah KAU berikan kepadaku dan anak-anakku. Semoga setelah ini, kami bisa hidup dengan damai, tenang, dan bahagia. Aamiin.
Malika berdo'a dengan khusyuk. Ia berpaling menatap keluar jendela taksi dan menempelkan keningnya di kaca jendela. Potongan-potongan kenangan selama ia tinggal di rumah Haris saling berkelebat di pelupuk matanya. Dan satu persatu potongan kenangan itu mulai pecah bagai buih sabun yang meletus di angkasa.
Malika tersenyum senang. Mulai besok tidak akan ada lagi drama, tidak akan ada lagi tekanan. Mulai besok semuanya akan baik-baik saja! Harus! Malika berjanji pada dirinya sendiri.
Beberapa saat kemudian, pak sopir menghentikan laju armadanya tepat di depan sebuah rumah berpagar biru muda yang tampak sepi dan gelap.
"Di sini, Bu, rumahnya?" tanya pak sopir.
"Maaf sebentar ya, Pak, saya lihat dulu, soalnya sudah lama saya tidak ke sini!" jawab Malika. "Saya titip anak saya, Pak!" tambahnya sebelum keluar dari taksi.
Karena pagar rumah itu sebagian ditutupi fiber, jadi Malika tidak bisa memastikannya begitu saja dari luar. Ia lantas berjalan menuju pintu pagar yang terbuka dan mulai melangkah masuk sambil memanggil nama sepupunya.
"Rim...!" panggil Malika dari dekat pagar.
"Ya...!" sahut sebuah suara dari dalam rumah dengan pintu utama yang terbuka itu.
Malika seketika terdiam. Teras rumah yang gelap membuatnya takut melangkah lebih jauh, meski ada sinar lampu yang tersorot dari dalam rumah lewat pintu yang terbuka tapi Malika takut jika ternyata salah masuk rumah orang.
Walaupun dalam hati ia cukup yakin ini adalah rumahnya. Rumah peninggalan orang tuanya. Namun, karena banyaknya perubahan pada jalan dan rumah-rumah para tetangga serta saking lamanya Malika tidak berkunjung membuatnya sedikit lupa hingga menjadi ragu.
Lalu tiba-tiba... Sekoyong-konyong seorang pria dan wanita dewasa keluar dari pintu yang terbuka itu dan langsung menatap ke arah Malika. Malika balas menatap mereka dengan canggung.
"Ya ampun, Malika!" teriak Rima sambil langsung berhambur memeluk tubuh sepupunya itu. "Gila! Kangen banget gue ama lo!" akunya sambil menangis.
Malika kaget luar biasa dengan sambutan Rima padanya, saking kagetnya ia hanya menepuk-nepuk punggung Rima yang masih memeluknya dengan erat.
"Kenapa enggak langsung masuk aja sih?" tanya Rima setelah melepaskan pelukannya dan mengusap air mata bahagianya.
"Gue takut salah masuk rumah orang, Rim!" jawab Malika. "Banyak yang berubah sih, jadi gue ragu mau masuk."
"Anak-anak kamu mana, Ka?" tanya Satria yang berdiri di belakang Rima. Suami Rima itu celingukan heran karena melihat Malika yang berdiri seorang diri.
"Itu mereka di dalam taksi, masih pada tidur semua!" jawab Malika sambil menunjuk ke arah taksi yang berhenti di depan pagar rumah itu.
"Oh, ya ampun, kesiannya!" sahut Rima. "Ayo buruan diambil, trus tidurin mereka di kamar!" ajak Rima sambil berjalan menuju taksi. Malika dan Satria mengikuti langkah Rima dibelakangnya.
"Kamu kesini enggak bawa apa-apa?" tanya Satria lagi.
"Aku cuman bawa satu koper besar di bagasi belakang." jawab Malika.
"Ya udah, kalo gitu aku yang bawa kopernya kalian gendong si kembar masuk!" titah Satria pada kedua saudara sepupu itu.
Malika dan Rima mengangguk lalu mulai mengambil anak-anak Malika satu persatu. Setelah masing-masing perempuan itu menggendong seorang anak balita laki-laki yang sama-sama masih tertidur lelap, Satria langsung menyuruh mereka untuk masuk.
"Udah, kalian langsung masuk aja, udah malem. Biar taksinya aku yang bayar!" ujar Satria.
"Makasih, Mas!" jawab Malika lalu mengikuti langkah Rima yang sudah memasuki rumah lebih dulu sambil menggendong Leo.
Di dalam rumah peninggalan mendiang orang tua Malika itu, perabotannya cukup lengkap. Meski tidak banyak barang tapi barang-barang yang dibutuhkan untuk sehari-hari kecuali televisi semuanya tersedia.
Setelah menidurkan si kembar ke atas tempat tidur di dalam kamar depan, Rima mengajak Malika berbincang di ruang tamu agar tidak mengganggu si kembar yang masih tidur.
Saat mereka keluar dari kamar, Satria yang baru masuk kembali ke dalam rumah langsung meletakkan koper Malika yang di bawanya ke depan pintu kamar tempat si kembar tertidur.
"Lampu terasnya mati, kayanya ada yang konslet. Aku benerin dulu selagi kalian ngobrol!" ujarnya sambil menarik salah satu kursi kayu dari ruang tamu menuju teras untuk pijakannya selama membetulkan lamph teras.
Rima mengangguk singkat menanggapi suaminya lalu sorot matanya nampak memindai raut wajah Malika. "Lo, enggak sedih udah ditalak sama diusir sampe kaya gini sama si Haris brengsek itu?" tanya Rima pada sepupunya.
Malika nampak berpikir sejenak, lalu akhirnya tersenyum tulus. "Enggak!" jawabnya dengan tegas.
Rima ikut tersenyum lega mendengar jawaban tegas dari mulut sepupunya itu.
"Mungkin bagi orang yang nggak tahu apa-apa, ngeliat gue diperlakukan kaya gini pasti ngira gue bakalan nyesek. Tapi bagi gue sendiri, lebih nyesek tetep tinggal di sana dalam ikatan semu berkedok pernikahan daripada diusir dan ditalak begini. Percaya deh, begini ja—uh lebih baik!"
Rima tidak tahan untuk mengusap-usap kepala Malika. Entah penderitaan macam apa yang telah sepupunya itu alami. Rima sampai enggan untuk membahasnya lagi, sebelum ia dan Malika mulai bertangis-tangisan yang sama sekali tidak perlu.
Demi mengalihkan perhatian, Rima akhirnya mulai menjelaskan tentang kondisi rumah peninggalan orang tua Malika yang selama ini ditinggalinya bersama suaminya, sebelum mereka berdua akhirnya mempunyai rejeki dan mampu membeli rumah sendiri.
"TV lama lo rusak setahun yang lalu gara-gara kebocoran jadi konslet deh, karena emang udah tua, aku sama mas Satria mutusin sengaja enggak diservis. Tapi kita juga enggak buang TVnya. Masih ada tuh di gudang belakang, kalo mau lo musiumin." ledek Rima pada Malika yang langsung manyun mendengarnya.
"Lho, rumah ini ada yang bocor, Rim?" tanya Malika berubah khawatir sambil melihat ke langit-langit ruang tamu.
"Tenang aja, sekarang udah enggak kok! Rumah lo ini kuat, cuman kemaren bocor karena ketimpa patahan cabang pohon tetangga yang udah lapuk terus bikin gentengnya pecah. Makanya bocor deh! Tapi langsung dibenerin kok sama Mas Satria. Jadi sekarang udah beres!" balas Rima sambil menepuk-nepuk paha Malika yang duduk disampingnya.
"Oh, gitu...!" Malika manggut-manggut sambil melihat sekeliling.
Ia jadi bernostalgia pada rumah yang sedari kecil ditinggalinya ini. Tak terasa sudah lima tahun ia tak mengujungi rumah ini. Semua itu karena kekangan dari keluarga Amiadi yang tidak mengizinkannya kemana-mana bahkan untuk berkunjung ke saudaranya sendiri pun ia tidak diperbolehkan.
Rima meraih tas tangannya yang tergeletak di sebuah kursi ruang tamu tak jauh dari duduknya, ia lalu mengeluarkan sebuah buku tabungan dari dalam tas itu dan sebuah kartu debit dari dalam dompetnya.
"Ini, Ka! Tabungan lo yang gue simpenin selama ini! Pin kartu ATMnya ada di buku tabungan halaman paling belakang. Lo ganti sendiri nanti biar gampang lo inget-inget!" ujar Rima sambil menyerahkan buku tabungan dan kartu debit itu kepada Malika.
"Hah? Tabungan apaan ini, Rim?" tanya Malika heran.
"Ini uang biaya sewa rumah ini yang gue simpenin buat lo, Ka! Tapi karena gue enggak bisa ngajak lo buat bikin rekening sendiri jadinya gue bikin atas nama gue!" beber Rima.
"Ya ampun, Rim! Kok lo pake bayar sewa rumah segala ke gue sih, lo udah bantu ngerawat rumah gue aja gue makasi banget!" Malika merasa tidak enak dibuatnya.
"Jangan gitu, Ka! Kalo gue dan mas Satria enggak bayar sewa, justru kitanya yang lebih enggak enak ke elo! Walaupun kita sepupuan, tapi kan ini rumah lo, warisan satu-satunya dari mendiang orang tua lo. Bukan rumah gue, dan lagi dengan adanya tabungan ini, lo bisa memulai hidup baru lo sama anak-anak, Ka!" jelas Rima.
Penjelasan Rima barusan memang masuk akal. Sebab saat ini, selain amplop yang diterimanya dari Vivi tadi. Malika memang sama sekali tidak punya uang tabungan lain untuk memulai hidupnya secara mandiri.
Dengan sungkan, Malika meraih buku tabungan itu lalu membukanya. Dan alangkah terkejutnya ia begitu tahu berapa nominal yang tertulis di dalamnya.
"Ya Tuhan, Rima! I-ini apa enggak kebanyakan?" Malika begitu terkejut ketika dilihatnya jumlah yang hampir mencapai lima puluh juta rupiah.
Rima terkikik geli sambil menggelengkan kepalanya. "Biasa aja napa, Buk? Lo kelamaan dipenjara ama Haris sampe ngeliat duit segitu doang aja udah shock!" godanya pada Malika.
Mau tak mau Malika terkekeh sambil tersipu karena apa yang diucapkan Rima barusan itu memang benar. Saking lamanya ia tidak memegang uang dalam jumlah besar, Malika sampai kaget begitu menyadari dirinya ternyata mempunyai tabungan sebanyak itu.
"Biaya sewa rumah yang gue simpenin tiap bulannya ini udah sesuai sama harga pasaran standar sewa rumah seukuran rumah lo ini, Ka! Dan selama kurang lebih empat tahun gue tinggalin, kekumpulnya ya segitu itu! Lumayan kan buat modal hidup!" tanya Rima dengan senyum menggoda.
"Tau gitu tadi gue enggak nerima amplop dari Vivi deh!" sesal Malika begitu teringat akan amplop yang diberikan mantan adik iparnya itu tadi.
"Hah? Vivi? Adeknya si Haris?" tanya Rima memastikan.
Malika mengangguk cepat sambil mengeluarkan amplop itu dari dalam tas selempangnya lalu membukanya di hadapan Rima. Setelah menghitung cepat dan mengetahui jumlah uang yang diberikan Vivi, lagi-lagi Malika dibuat terkejut.
"Ya Ampun, Rim. Vivi ngasih gue duit tiga juta! Padahal tadi dia bilangnya buat biaya hidup gue sebulan. Kalo segini mah, dua bulan juga cukup kali buat gue sama anak-anak!" Malika menepuk jidatnya sendiri.
"Wah, baik juga ya si Vivi itu. Kayanya dari semua keluarga Amiadi cuman dia yang otaknya waras!" balas Rima sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Malika mengangguk setuju. "Bener banget, omongan lo barusan. Cuman dia yang baek ama gue selama ini. Duh, gue jadi enggak enak nih make uangnya!" Malika memeluk amplop dari Vivi itu erat-erat seolah benda itu adalah harta pusakanya yang berharga.
"Ah, lebay lo! Anggep aja itu rejekinya si kembar dari tante mereka. Kalo lo enggak pake jadi mubadzir dong, jadi enggak dapet berkah juga kan si Vivi-nya. Kapan-kapan, kalo ada rejeki ketemu dia lagi. Lo bisa bales kebaikan dia! Gitu aja!" celoteh Rima panjang lebar.
"Iya juga, ya!" Malika nampak mengangguk dengan yakin.
"Bu-ibu! Lampu terasnya dah beres nih!" tiba-tiba Satria melongokkan kepalanya dari teras.
"Ya udah, yuk kita pulang, Mas! Biar Malika bisa istirahat sama anak-anak! Besok jangan bangun kesiangan ya, rencananya mau diajakin jalan-jalan sekalian dibeliin TV baru sama mas Satria, itung-itung buat hadiah kepulangan kalian di rumah ini! Mumpung Mas Satrianya besok bisa libur." beber Rima sambil mencangklong tas tangannya dengan mengedipkan sebelah mata.
Mata Malika langsung berbinar mendengarnya. Ia akan jalan-jalan setelah sekian lama. Ide itu benar-benar membangkitkan jiwa kurang pikniknya untuk bersorak sorai.
"Huwa, kalian baek banget sih!" Malika akhirnya malah memeluk Rima erat-erat dengan histeris. Membuat Rima hampir kehabisan napas karena tercekik rangkulan lengan Malika.
"Udah, woi! Gue kecekek ini!" Rima meronta-ronta.
Namun Malika tak menggubris penolakan sepupunya itu dan tetap memeluknya. Satria hanya tertawa-tawa melihat kehebohan dua wanita yang bersaudara sepupu tetapi sudah seperti saudara kandung itu.
.
.
.
To Be Continue...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Lhady Uriyama
klo begini kan adem, saudaraan akur
2023-02-12
0
Uti Enzo
suka aja ada saudara sepupu yg baik banget
2022-10-10
0
yanti_ardiansyah
saudara yg baik hati
2021-11-17
0