Liburan semester telah tiba. Para guru dan staf di SMA NUSANTARA akan jalan-jalan ke Yogjakarta.
Wisata kali ini sudah di rencanakan sejak awal tahun ajaran baru kemarin dan mereka juga sudah menabung setiap bulanya di koprasi sekolah guna uang saku perjalanan mereka.
Rara dan Kamal yang menjadi team terkompak, sekaligus team yang mendapatkan nilai terbaik saat akreditasi sekolah kemarin, mendapatkan tiket gratisan PP liburan kali ini sebagai hadiah.
Tapi hal itu tidak serta merta membuat Rara senang. Karena syarat liburan mereka kali ini tidak boleh membawa anak, suami atau istri mereka.
Melainkan full hanya untuk guru dan staf SMA saja, tanpa adanya anggota keluarga yang ikut bergabung.
Alasannya kalau bawa anak, dan sama suami nanti para emak-emak hanya akan sibuk ngurusin keluarga mereka, sehingga tidak bisa bersantai dan bersenang-senang dengan teman-teman yang lain.
Untung saja di kantor mereka tidak ada pasangan pasutri, sehingga tidak harus bingung dengan nasib anak-anak mereka saat ditinggal orang tuanya pergi liburan nanti.
Seperti Rara saat ini yang tujuh keliling meski menitipkan Ali kemana saat dia pergi besok.
Rara menimang-nimang Handphone nya. Bingung, apakah dia harus menghubungi Adam daneminta tolong pada suaminya atau tidak. Berkali-kali dia menatap wajah putranya yang sudah tertidur lelap di sebelahnya.
Karena putra nya masih kecil, sehingga dia membutuhkan banyak waktu untuk istirahat karena itu Rara menetapkan jam tidur Ali adalah jam sembilan malam. Sedangkan sekarang jam sebelas malam, biasanya jam segini Rara juga sudah terbuai mimpi bersama putranya.
Namun kini matanya tak mau terpejam, masalah piknik sekolah menganggu pikirannya membuat kantuk engaan menyapa.
Setelah berfikir berulang kali akhirnya Rara memutuskan untuk menelpon Adam, dengan harapan semoga suaminya itu memiliki jalan keluar untuk masalahnya kali ini, beruntung jika Adam mau menolongnya menjaga Ali selama Rara pergi.
"Assalamualaikum mas Adam!" sapa Rara begitu telepon di seberang sudah di angkat.
"Walaikumsalam, ada apa telepon malam-malam begini? Apa ada masalah penting yang harus kita bicarakan?" Tanya Adam pada istrinya.
"Iya, Rara mau minta izin untuk ikut wisata liburan sekolah Minggu depan."
"Emang mau liburan kemana sekolah kamu?"
"Ke Yogjakarta."
"Berapa hari?"
"Lima hari. Kita pergi Sabtu sore dan pulang Kamis sore."
"Ya sudah, pergi saja kalau sekiranya itu memang penting buat kamu."
"Iya....tapi....
"Apa lagi? Kamu tidak punya uang?"
"Bukan.
"Terus apa?"
"Mas bisa pulang tidak?"
"Lho, kenapa aku harus pulang? Tapi kamu mau liburan? Kalau kamu mau liburan ya liburan saja kenapa pakai menyuruh aku pulang segala?" Suara Adam terdengar tidak suka.
"Terus Ali gimana?"
"Ya di bawa dong. Kan dia anak kamu."
"Tidak bisa mas. Syarat liburannya tidak boleh bawa anak atau suami. Emang full untuk guru dan para staf saja tak boleh bawa keluarga. Jadi kalau aku pergi liburan Ali di rumah tidak ada yang jaga."
"Kan ada simbol, ada mama juga, dan ada ibu. Ali bisa kamu titipkan sama mereka."
"Si mbok tidak ada mas. Dia izin karena mbak Fika melahirkan, jadi mbok jagain mbak Fika sampai selapan. Kalau mama, dia baru keluar dari rumah sakit, kemarin jantungnya kambuh jadi sekarang mama masih proses pemulihan. Kan aku gak enak kalau menitipkan Ali sama mama, nanti kalau mama kecapaian terus drop lagi gimana? Apa lagi sekarang Rangga tidak ada di rumah. Pasti mama bakal capek ngurusin Ali sendirian nantinya."
"Kan ada ibu kamu? Titipkan saja Ali sama beliau dulu."
"Kan mas tahu Ali tidak dekat sama ibu. Jadi dia tidak mau tinggal di sana. Lagipula ibu juga sekarang lagi ada di tempat mbak Wahyu, tidak ada di rumah. Masak aku suruh ibu pulang cuma gara-gara Ali sih mas."
"Lha memang kenapa? Kan Ali juga cucunya? Nyatanya juga kamu nyuruh aku pulang gara-gara Ali kan?
"Yang berang dong mas, kalau ibu kan neneknya, kalau mas kan Papanya. Lagipula Ali juga tidak mau kalau sama ibu, karena mereka jarang ketemu jadi dia tidak dekat. Mas saja deh yang pulang buat jagain Ali seminggu saja ya?"
"Lagi pula kalau memang Ali tidak bisa di tinggal ya di bawa liburan saja nanti aku Transfer uangnya."
"Bukan masalah uangnya mas, tapi masalahnya emang tidak boleh bawa anak atau suami."
Adam jengkel mendengar penuturan Rara yang jelas memaksa.
"Siapa sih yang bikin aturan aneh begitu? Ada-ada saja, namanya punya anak ya di jagain lah, dibawa kemana-mana, masak mamanya seneng-seneng anaknya di tinggal di rumah."
"Nah makanya mas pulang jagain Ali buat aku."
"Jangan ngaco deh Ra, aku itu kerja dan kerjaan ku banyak. Kalau aku pulang ke rumah siapa yang mau menghendel semua pekerjaan ku yang sebanyak ini."
"Ya kerja mas di bawa pulang juga dong, di kerjakan di rumah. Kalau tidak Ali yang di ajak ke sana, di apartemen mas."
"Kamu makin ngawur saja. Kalau Ali di sini siapa yang jagain dia di apartemen."
"Bawa ke kantor, biar sekertaris mu yang jagain anak kita. Lagi pula Ali anaknya bisa di bilangi kok, kalau dia bilang jangan nakal dan jangan lasak juga dia nurut, penting di bawakan mainan biar dia gak bosan."
"Kamu ini ya, jadi ibu kok tidak tanggung jawab. Bisa-bisa masalah anak kamu di limpahkan pada sekertaris ku. Kamu pikir sekertaris ku itu babysister yang kerjanya ngurusi anak-anak. Dia itu di bayar buat meringankan pekerjaan ku bukan buat jagain anak kamu!" Suara Adam meninggi.
"Ali juga anak kamu mas, bukan cuma anak aku saja. Emang salah kalau aku minta tolong kamu buat janganin dia. Karena kamu memang papanya dan punya hak juga buat jaga dan mendidik dia."
"Terus kamunya seneng-seneng gitu. Aku yang disini ke susahan dan kamu yang di sana happy-happy bareng teman-teman kamu, jalan sini jalan sana gitu. Kok enak bener ya hidup kamu. Bisa seenak sendiri."
"Gantian, sesekali," sungut Rara.
"Aku gak mau, aku gak dudi."
"Trus aku bagaimana?" Tanya Rara frustasi.
"Bagaimana apanya? Kalau Ali tidak bisa ikut ya kamu tidak usah liburan. Kamu di rumah saja."
"Kok gitu sih mas. Ini kan liburan pertama aku di sekolah. Tahun-tahun kemarin juga kamu tidak pernah izinkan aku buat pergi kalau pergi jalan-jalan bersama teman-teman yang lainnya padahal saat itu boleh bawa anak suami, gak pakai syarat, tapi kamu tetep gak bolehin akubpergi. Dan sekarang saat aku dapat tiket gratis karena nilai ku di sekolah bagus kamu jugatidak izinkan aku pergi lagi?" Rara kesal sekali sama Adam.
"Ya kamu aku suruh ngajak Ali tidak mau, lalu mau apa lagi?"
"Kamu kan bapaknya. Masak kamu tidak bisa ngalah sedikit saja sama aku. Toh selama ini aku juga tidak pernah minta tolong sama kamu, apalagi sampai minta kamu ngajak kami liburan bersama, tidak pernah kan? Kamu sibuk kerja terus," Rara mulai ngomel dan menuntut.
"Cukup Rara! Kamu telepon aku malam-malam begini cuma mau ngajakin ribut saja?" Tanya Adam yang dari suaranya terdengar emosi.
"Jika memang Ali tidak ada yang jaga di rumah, kamu tidak usah pergi kemana-mana, di rumah saja. Aku tidak izinkan kamu pergi kalau sendirian tahu.
Besok aku ajak kamu liburan sendiri kalau waktu ku sudah agak longgar.
Tidak usah merengek-rengek begini, bikin aku tambah pusing saja," Adam marah.
"Tapi kapan? Toh selama ini kamu juga gak pernah ngajak kita kemana-mana."
"Ya tunggu aku tidak sibuk dong Ra, yang jelas bukan sekarang. Lagipula kamu itu kalau jadi istri jangan suka ngeyel kenapa kalau di bilangin suami. Ngebantah terus sukanya."
Rara terdiam.
"Jangan bikin aku tambah emosi, dan tambah pusing. Di sini masalahku sudah banyak, jadi kamu jangan nambahin masalah lagi."
Rara tidak menjawab, hatinya beneran dongkol.
"Kamu dengar kan yang aku omongkan?"
"Iya," jawab Rara lemah.
"Kalau memang Ali tidak bisa kamu bawa kamu tidak usah pergi liburan di rumah saja."
"Iya."
"Kalau begitu teleponnya aku tutup, aku mau istirahat, aku capek. Kamu juga habis ini langsung tidur jangan telpon-telponan sama laki-laki lain, apa lagi suami orang, biar tidak ada perempuan yang datang ke rumah ngelabrak kamu lagi seperti kemarin." Perintah Adam pada Rara sebelum mengakhiri sambungan obrolan mereka.
Begitu telepon terputus Rara tertunduk lemas dia memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya disana hatinya benar-benar remuk, air mata Rara mengalir deras. Dia menangis di atas tempat tidur. Rara tidak menyangka jika Adam akan egois ini.
Adam bahkan tidak mau meninggalkan pekerjaannya sebentar saja demi dia dan Ali. Alasannya selalu sibuk dan sibuk. Setiap Rara minta tolong dia selalu tidak bisa. Padahal usia pernikahan mereka sudah hampir tujuh tahun, tapi tidak pernah sekali pun Adam berkorban untuk Rara maupun Ali.
Rara menatap putranya yang tertidur dengan pandangan nanar. Perasaan menyesal menyusup hatinya. Kenapa dulu dia mau menerima lamaran Adam jika hanya untuk menderita begini. Jika hanya untuk selalu di buat nangis.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
Ririn Savetalyana
nyeselkan.....
pikirin z tetus tu sich maelin...
2021-10-26
0
Neng iren
sabar ea sabar...setiap ujian pernkhn emng beda2
2021-09-19
2
N⃟ʲᵃᵃ࿐𝕴𝖘𝖒𝖎ⁱˢˢ༄༅⃟𝐐
semangat Rara,masih banyak yg sayang kok,,kaya aku like terus🤭🤭👍👍💪
2021-09-06
4