"Berhenti!" Papa Dimas berteriak sekencang-kencangnya sampai Andra dan Dinda berhenti dengan posisi Dinda menjambak rambut Andra.
"Kalian ini, Papa pusing menghadapi kalian berdua. Kalian ini hanya berdua, kenapa tidak bisa akur seperti anak-anak lainnya?" Papa Dimas tersulut emosi dan menatap tajam penuh amarah kedua anaknya.
"Kamu Andra! Tidak bisakah kamu bersikap baik dan lembut kepada adikmu?" Cecar Papa Dimas.
Hati Dinda bergemuruh senang saat Andra mendapatkan teguran keras dengan kemarahan Papa Dimas. Bahkan Dinda tersenyum tipis dan menunjukkannya terang-terangan dihadapan Andra tanpa sepengetahuan Papa Dimas.
"Kamu juga Dinda. Jaga sikap! Kamu bukan anak TK lagi yang marah lalu merajuk seperti ini," ketus Papa Dimas dengan nada tinggi.
"Ada apa ini?" Mama pita datang karena mendengar teriakkan Papa Dimas.
"Kamu juga Ma, perlakukan anak dengan adil. Kamu selalu memanjakan Andra sampai lupa dengan putrimu," ucap Papa Dimas masih dengan suara yang lantang memecah keheningan malam.
"Loh Pa, selama ini Mama selalu adil." Mama pita membela diri.
"Adil darimana? perhatianmu selalu tercurah pada Andra. Lalu, Dinda itu anak kita Ma. Perhatikan dia juga," pinta Papa Dimas yang berangsur-angsur lebih tenang.
Mama terdiam merenung mendengarnya.
"Ya sudah ayo Papa, kita ke kamar, Papa harus istirahat. Kalian berdua, sudahi pertengkaran ini kalian sudah besar," ucap Mama pita yang menatap kedua anaknya yang berdiri berdampingan.
"Dinda, selamat ulang tahun ya Sayang. Maaf jika menurutmu Mama membedakan kalian berdua. Mama akan memperbaiki kesalahan Mama. Tapi, Mama minta kepada kalian juga untuk memperbaiki diri. Sadarilah, jika nanti Papa dan Mama sudah tidak ada. Kalian itulah sebenarnya saudara yang harus selalu mendukung dan menyayangi," kata Mama pita sambil mengusap halus rambut Dinda.
Dan kini, Dinda sudah menangis saat mendengarkan ucapan memilukan yang menyinggung kematian.
Benar adanya jika suatu saat kedua orang tuanya akan berpulang. Mereka saudara kakak beradik harus saling menyayangi dan menjaga.
"Mama jangan ngomong begitu." Dinda sudah terisak dan berada dalam pelukan Mama pita.
Mereka berempat akhirnya saling berpelukan dan berbaikan malam itu juga. Dan, tinggallah Dinda dan Andra di kamar Dinda."Maafkan kakak ya Ngeng," ucap Andra lagi.
"Kak, bisa berhenti panggil aku Ngeng? Aku malu. Itu panggilan yang sungguh jelek. Lagian aku sudah tak cengeng lagi," protes Dinda yang mengacuhkan Andra dan kemudian menghapus lagi sisa riasannya.
"Iya deh Dek. Mulai hari ini aku panggil kamu Dek ya?"
"..." Dinda diam tak menjawab dan juga tak bergeming seolah telinganya tuli.
"Dih, dicuekin. Dek!" Andra mendekati Dinda dan berdiri di belakang Dinda.
"Gimana kalau besok kita ke Bali? Mau? Ya, hitung-hitung sebagai permintaan maaf kakak," kata Andra dengan meletakkan satu tangannya di pundak Dinda.
"Jangan sentuh! Jangan berusaha untuk menyogok aku. Kamu cuma mau memanfaatkan aku kan Kak?" Dinda beringsut dan menelisik tajam kearah Andra.
"Dek, tidak. Aku serius." Andra berusaha meyakinkan Dinda yang terlanjur sulit percaya pada setiap ucapannya karena sering dibohongi.
"Halah, palingan seperti waktu itu. Modus saja ijin sama Papa Mama untuk mengajak aku jalan jalan tapi apa? Di sana kamu malah asik berduaan dengan Natasya. Aku cuma sebagai syarat pengajuan proposal!" Dinda mengungkit masa lalu dimana Andra beralasan mengajaknya berlibur padahal di sana Andra hanya mengutamakan Natasya kekasihnya.
Andra tidak mendapatkan restu dari Papa Dimas dan Mama pita mengenai hubungannya dengan Natasya.
Mama pita tidak menyukai latar belakang Natasya yang merupakan seorang model catwalk. Papa Dimas tidak menyukai Natasya karena namanya pernah tersangkut skandal dengan anak rekan bisnisnya.
"Kak, iya okey. Kalau kamu mau sama Natasya. Tapi tolonglah ijinkan aku juga untuk mempunyai pacar. Aku juga manusia normal kak. Kamu selalu ikut campur dalam pergaulanku terutama teman lelakiku. Apa kamu akan senang kalau aku menjadi perawan tua?"
"Bukan begitu Dek, bukan saat yang tepat bagimu untuk punya pacar. Saat ini tolonglah fokus dengan kuliahmu saja. Selesaikanlah dulu belajarmu. Aku hanya tidak mau adikku satu satunya ini menjadi rusak hanya karena pacaran. Masih banyak waktumu Dek untuk sekedar mengenal cinta. Ini belum saatnya," Andra mejelaskan ketakutannya selama ini.
Namanya juga kakak laki-laki pasti bakal protektif dan selektif terhadap laki-laki lain yang mendekati adiknya. Dinda mencoba memahami pemikiran Andra meski hatinya kesal bukan main. Ini usianya untuk bersenang-senang dan mencari pengalaman tentang cinta. Tapi, Dinda sungguh jauh dari kata itu. Dia sama sekali tak berpengalaman mengenai hal itu.
"Besok kita berangkat. Kakak akan ambil cuti dua hari. Kakak janji hanya kita Dek. berdua saja Natasya sedang berada di Eropa," kata Andra yang kemudian beranjak menjauh.
Dinda terdiam sesaat dan melihat pantulan gambar Andra melalui cermin riasnya. Terlihat Andra berjalan agak pincang.
" Kak, pakai ini biar reda sakitnya." Dinda menyusul Andra dan memberikan salep pereda nyeri.
*
*
*
"Aduh, sakit juga. Ini sih karena aku ceroboh," gumam Andra yang mengoleskan sendiri salep pereda nyeri pada engkel kakinya.
Andra merutuki kebodohannya sendiri. Kini dia berdiri melihat gelap langit malam melalui jendela kamarnya.
Terlihat langit yang berkelap-kelip menghiasi langit yang kelam. "Kamu sibuk sekali ya? sampai tidak sempat membalas pesanku." Andra bermonolog sambil melihat fotonya bersama Anastasya.
Sudah dua hari Anastasya tidak seperti biasanya. Biasanya dia akan banyak bertanya kabar Andra dan selalu mengirimkan pesan-pesan, tapi dua hari ini, dia tak membalas pesan Andra.
Andra gelisah, segala pikiran buruk mulai berkecamuk mengotori benaknya. Andra kemudian masuk kedalam selimut dan membalut dirinya dalam nyaman kehangatan dan terlelap.
***Pagi harinya.
"Dek! Dinda!" Seru Andra yang berdiri di depan pintu kamar Dinda. Memanggil dengan embel-embel dek sebenarnya membuat Andra merasa sedikit geli.
"Hem!" Dinda mengerang malas dan semakin menggulung selimut ke tubuhnya.Malas sekali dia membuka matanya padahal hari ini adalah hari dimana mereka akan pergi jalan-jalan. Terlalu sering terkena prank membuat Dinda sudah mempercayai Andra. Baginya semalam hanyalah bualan semata.
"Din, ayo cepat buka pintunya. Jam 9 kita berangkat. Waktu kita tak banyak!" Seru Andra di depan kamar Dinda dengan tangan yang terus mengetuk pintu kamar Dinda.
"Iya Kak ah!" Sahut Dinda dengan malasnya.
"30 menit lagi aku selesai. Aku mau mandi dudu!" Dinda sedikit berteriak menyahuti Andra.
"15 menit," ujar Andra memulai lagi perdebatan.
"20!" Tawar Dinda.
"10," kata Andra.
"Yaudah deh 15!" Kata Dinda yang mulai duduk dengan wajah yang cemberut. bagaimana bisa perundingan waktu justru menimpakan kerugian padanya?
"5 menit dari sekarang atau tidak usah sama sekali!" Ucap Andra tanpa ingin tau berapa waktu yang di butuhkan oleh Dinda untuk berdandan.
"Oke!" Teriak Dinda geram.
Selalu dan selalu ada celah saja bagi mereka berdua untuk adu argumen dan memulai peperangan.Jadilah Dinda keluar dari kamar dengan baju tidurnya yang kucel dan juga rambut yang diikat asal. dan hanya memakai kaca mata hitam tanpa polesan makeup sama sekali. Jangan ditanya bagaimana reaksi Andra saat melihat kekonyolan adiknya itu. Dia langsung menjewer telinga Dinda dan menyeretnya menuju ke kamar mandi.
"Cepat mandi dan bersiap, 20 menit dari sekarang!" Ketus Andra yang mengaku kalah dari perdebatan sebelumnya.
Hehehehe, kalah juga dia. Kalau aku memakai piyama kemanapun dia pasti malu. Gumam Dinda dalam hatinya yang bersorak gembira.
...***...
Selama dalam perjalanan Dinda hanya tidur, tidur dan tidur. Andra yang merasa jengah lalu mentoel pipi Dinda yang bersandar di lengannya.
"Bangun Dek!" Seru Andra kesal.
"Engh!" Dinda menggeliat dan membuka matanya perlahan.
"Bangun sebentar lagi kita sampai. Kita kemari untuk jalan-jalan. Bukan untuk hibernasi beruang macam kamu begini."
"Mulai, mulai, ngajak berantem. Udah deh kak kalau tidak niat untuk berubah mendingan tidak usah. Katanya mau berubah tapi kenapa suka banget jahil sama Dinda?" Dinda mengungkit janji Andra.
Ya, sedari kecil bersama sih, sudah bagaikan makanan pokok bagi Andra. Ketika puas menggoda dan meledek Dinda, ada kesenangan tersendiri yang terselip dalam hatinya, kala bisa membuat Dinda mengerucutkan bibirnya hingga beberapa centi.
"Cepatlah sana menikah kamu ini Kak. Aku bosan terus kamu ganggu," Celetuk Dinda yang memutar bola matanya malas mengakhiri sesi ledek meledek.
"Kakak juga maunya cepet nikah biar bisa cepet kasih cucu buat Mama," Sahut Andra.
"Ya udah sih sana, Nikah dulu baru kawin. Kakak sih terbalik kawin mulu nggak nika-nikah," ceria Dinda membuat Andra tergelak dan melotot tak percaya bagaimana pikiran adiknya sudah ternoda.
"Ish, mulutnya." Andra merauk mulut Dinda dengan kelima jarinya dengan gemas.
"Kita sudah sampai tuan dan nyonya," kata supir.
"Iya, makasih ya Pak!" Andra menyahuti dan kemudian bersiap untuk turun.
*Sesampainya di lobi hotel.
"Wah… bagusnya!" Dinda berdecak kagum melihat ke sekeliling bangunan hotel yang berhiaskan ornamen pedesaan yang asri.
"Biasa saja mulutnya, jangan mangap begitu Dinda. Kelihatan sekali udiknya," celetuk Andra membuyarkan keindahan imajinasi Dinda.
"Ish....!" Dinda merengut setelah mendengarkan celotehan Andra.
"Saya pesan dua kamar ya mbak," ucap Andra melakukan reservasi.
"Mbak satu saja," ucap Dinda dengan segera.
Resepsionis melihat kedua manusia yang berbeda generasi itu saling beradu argument.
"Dua mbak," kata Andra.
"Satu mbak," kekeuh Dinda.
"Dinda, kamu sudah besar kita tidak bisa satu kamar. Harus beda kamar, Kakak juga lelaki normal." Bisik Andra di telinga Dinda setelah menarik Dinda dan duduk di sofa lobi hanya sekedar untuk berdebat.
"Kak, kalau misalkan kamar yang Dinda tempati nanti berhantu bagaimana? Dinda takut Kak. Dinda 'kan tidak bisa tidur sendirian."
"Tadi kenapa tidak membawa mbak Ima sih?" Protes Dinda lagi.
"Ngawur kamu! Budget Kakak terbatas tau. Kamu pikir kakakmu ini sekelas CEO CEO yang kisahnya ada dalam novelnu itu?" Sarkas Andra menyinggung kegemaran Dinda.
"Pokoknya kita satu kamar TITIK!" Dinda melipat tangannya ke dada dan membuang pandangannya menghindari sorot mata tajam Andra yang mengintimidasi keadaan.
Andra kembali ke meja resepsionis.
"Mbak kamar satu yang duoble bed ada?"
"Oh, kebetulan ada bli, tinggal satu" kata si resepsionis dengan logat Balinya.
*
*
*
"Kak aku kesana dulu ya," ijin Dinda sambil menunjuk sebuah gerai yang menjual pernak-pernik oleh-oleh khas Bali.
"Hem," jawabnya.
Sementara itu, Andra tengah sibuk berkutat dengan beberapakali berkas yang harus diselesaikannya.Satu jam, belum terasa.Dua jam, Andra mulai panik.
"Kemana anak itu? mana ponsel tidak dibawa," cicit Andra yang kesal akan keteledoran Dinda.Dengan langkah kaki yang kesulitan. Andra yang berjalan pincang karena memang belum sembuh benar dari terkilir dibuat panik dan mulai mencari keberadaan Dinda.
Aku lupa, anak itu sewaktu lahir tidak dibekali radar dan sonar, apalagi sistem navigasi. Pasti Sekarang dia tersesat dan tak tau arah jalan pulang. Dia tanpaku butiran debu.
*Di sisi lain.
"Kantor polisi mana ya, atau petugas pantai," kata Dinda yang melihat sekitar.
Terpengaruh dari maraknya penipuan membuat Dinda menjadi awas terhadap segala bentuk kemungkinan yang akan terjadi. "Jangan mudah percaya kepada orang asing," lirih Dinda.
"Aku dimana? Aku di mana ini? Tanya siapa?" Dinda ketakutan dan cemas secara bersamaan. Tak ada ponsel dan juga pengetahuan lain mengenai Bali. Dinda ingin bertanya, tatapi dia sendiri lupa nama hotel dia menginap.
Malam hari, Dinda duduk di sebuah bangku di depan minimarket. Matanya menatap barisan makanan dan minuman yang tertata rapi. Dia lapar dan haus setelah setengah hari berjalan dan tersesat dikeramaian kota.
"Dinda!" Teriak seseorang yang tak asing di telinga Dinda. Andra memanggil menunggu Dinda menoleh.
"Aku sudah berhalusinasi," cicit Dinda.
"Hey! Dinda!" Lagi-lagi Andra berteriak memanggilnya dan Dinda menoleh.
"Kak Andra," mata Dinda berkaca-kaca melihat kedatangan Andra yang meski dengan pincang dan kesusahan dia tetap mencari keberadaan Dinda.
"Ayo kembali ke hotel, menyusahkan saja! Makanya jangan sok tau arah kalau kamu sendiri buta arah. Ini tas ponsel juga kenapa ditinggal huh? Kita mau liburan Dinda, bukan mau jadi survivor!" Andra sungguh kesal akan keteledoran adik satu-satunya itu.
Tidak ada pelukan sayang atau usapan lembut setelah menemukan adiknya. Yang ada ya hanya marah dan marah.
Beginilah mereka Hingga malam itu juga Dinda meminta untuk pulang saja. Suasana liburan sudah rusak karena watak keduanya yang saling bertentangan.
Kenapa kakakku ini sangat menyebalkan. Bukan Maluku juga 'kan, tersesat?
Sial sial sial! ini bukan liburan, tapi hanya drama lupa jalan. Dinda membatin sesak dalam dadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Nurliana Saragih
O,,,,,Ngeng itu CENGENG toh?
Mirip suara KUMBANG aja,,,,?!
Jangan sering nangis Din, nanti sama tetep di panggil NGENG,,,,!
🤭🤭🤭
2022-02-27
0
Nurliana Saragih
Ngeng,,,,,,, ngeng,,,,,,ngeng,,,,,,!!!
Kayak suara KUMBANG,,,,.
🤭🤭🤭
2022-02-27
0
Enok Jubaedah
hahah lucu liburan riweh wkwk
2021-12-25
0