Rangga menatap kearah jam dinding yang serasa lambat berdetak. Sudah menjelang tengah malam namun sepasang netranya enggan terpejam.
"Aku bisa gila, hanya dengan memikirkannya," gumam Rangga sembari mengacak surai hitamnya.
Pria tampan itu meraih benda pipih yang tergeletak diatas nakas. Memeriksa untuk yang kesekian kali.
"Sial," rutuk pria berpiama tidur itu mana kala tak ada satu pun notivikasi masuk pada ponselnya.
Diantara kegamangan, Rangga melempar begitu saja ponsel pintarnya. Menatap nanar langit kamar dengan dua lengan sebagai bantalan.
Selama hidup, belum pernah ia segelisah ini saat dihadapkan dengan persoalan wanita. Ya, Rangga memang sudah pernah menjalin kasih sebelumnya, bahkan ia lebih dikenal sebagai seorang playboy saat duduk di bangku Sekolah menengah atas. Akan tetapi, itu hanyalah masalalu. Semenjak memutuskan untuk mengenyam pendidikan di negeri orang, Rangga tak pernah dekat dengan gadis mana pun. Ia ingin fokus pada pendidikan, hingga gelar sarjana bisa disandang. Meski banyak gadis berlomba-lomba mencari perhatiaanya, nyatanya tak membuat tekat Rangga sedikit pun goyah.
Lelah dengan fikiran yang mulai mengembara, netra Rangga mulai terasa berat. Tak kuat melawan, pria itu terlelap meski tanpa selimut hanggat menutup tubuhnya.
****
Pagi menyapa, seorang pria muda mengucek pelan sepasang netra yang mulai mengerjap. Mulutnya pun menguap lebar, pertanda jika sang pria tak tertitur secara sempurna semalam. Lagi-lagi, ia mencari benda pipih yang semalam ia lempar begitu saja di atas ranjang. Dan, ia pun menemukan benda tersebut dalam keadaan tak berdaya pun nyaris terjatuh, saat posisinya benar-benar berada di ujung ranjang.
Wajah pria itu sedikit berbinar, namun terlihat datar seketika saat belum mendapati notifikasi apa pun pada ponselnya.
"Ya tuhan. Apa saja yang mereka kerjakan? Masa untuk mencari informasi seorang gadis saja harus membuatku menunggu lama."
Meski cukup geram dengan keadaan, namun Rangga tetap melakukan aktifitasnya. Membersihkan tubuh dan merapikan penampilan untuk kembali beraktifitas seperti hari biasanya.
"Pagi bi," sapa Rangga pada Bi Inah yang tengah mempersiapkan menu sarapan di meja makan.
"Selamat pagi juga, tuan," jawab Bi Inah seraya tersenyum lebar pada sang tuan.
Rangga mengedarkan pandang, Ayah dan Ibunya bahkan tak terlihat.
"Bi, apa Ibu dan Ayah belum keluar kamar?" Pria tampan dengan stelan jas itu mendaratkan tubuh di atas kursi dan mengambil sepotong roti isi daging yang tersaji di atas meja sebagai menu sarapan.
"Maaf tuan. Tuan besar dan Nyonya mengatakan jika ingin sarapan di dalam kamar."
Kunyahan Rangga seketika terhenti. Potongan roti isi ditanggan pun ia hempaskan lagi kepiring. Gurat kekecewaan tergambar jelas.
Ia pun lekas meraih gelas berisi susu putih, lantas meneguknya hingga tandas dan bangkit dari posisi duduknya.
"Bibi, aku berangkat."
Inah yang setia berdiri dengan setia di samping sang tuan, terperangah.
"Loh, kenapa sarapannya tak dihabiskan tuan?" Inah menatap kearah piring berisi beberapa potong roti isi yang hanya berkurang beberapa gigitan itu.
"Aku sudah kenyang Bi. Terimakasih, selama puluhan tahun ini bibi sudah memperhatikanku." Rangga menatap inah sesaat, sebelum melangkah meninggalkannya.
Inah yang sempat ingin mengejar langkah sang tuan, urung dilakukaan saat mendapati tubuh pria muda itu sudah tak terlihat lagi. Batin perempuan paruh baya itu seperti tersayat, ia tahu benar akan apa yang sang tuan rasakan kini. Terabaikan dan tak dianggap ada.
Beberapa tahun hidup terpisah, nyatanya tak membuat kedua orang tua Rangga perduli dan melimpahinya dengan kasih sayang meski pun ia anak tunggal.
Sofyan dan Siska egois. Ya, mereka egois dan itu pun hanya beberapa orang terdekat yang mengetahui. Selebihnya pasangan suami istri itu akan membuat drama seolah memiliki keluarga bahagia dengan memiliki seorang putra yang teramat di sayang. Tentunya, saat tersorot media atau di depan rekan-rekannya.
*******
Andai garis hidup bisa dirubah, maka seorang Rangga akan memilih terlahir dari rahim seorang ibu dari golongan biasa, namun dibesarkan dengan kasih sayang yang berlimpah.
Dua puluh tiga tahun usianya, namun hanya bisa dihitung dengan jari beberapa kali mereka berkumpul dan menghabiskan waktu bersama, selayaknya keluarga bahagia pada umumnya.
Bisnis dan pergaulan. Dua kata yang kerap menjadi alasan sepasang suami istri itu, untuk bisa meninggalkan rumah, saat sang buah hati berharap sentuhan kasih sayang.
Rangga amat faham jika sang Ayah yang merupakan petinggi perusahaan itu teramat jarang berada di rumah. Akan tetapi, ia pun cukup sangsi, mana kala sang ibu pun tertular dari kerap meninggalkan rumah seperti sang Ayah, sedangkan Rangga kecil tahu benar jika sang ibu sama sekali tak bekerja, dan hanya bertemu dengan teman-teman seusianya untuk sekedar mengobrol atau pun bersenang-senang.
Ah, entahlah. Rangga hanya bisa mengusap wajah, frustrasi. Bahkan sesari kecil, ia kurang mendapatkan kasih sayang dari sisok perempuan yang melahirkannya.
Getaran pada ponsel membuat pria itu tersadar dari lamunan.
"Halo, bagaimana?"
"...."
"Baik. Tunggu aku di cafe seberang gedung." Sambungan terputus. Rangga pun lekas menaiki kuda besi saat sang sopir membukakan pintu untuknya.
"Terimakasih."
Sopir pun menundukan keoala hormat dan bergegas memutar kemudi, membawa sang tuan dengan selamat menuju tempat yang diinginkan.
********
"Gadis itu memang tinggal di apartemen tersebut tuan, tetapi bukan gadis itulah pemilik atau pun penyewa unit apartemen tersebut tuan."
"Lalu." Rangga bahkan tak berkedip saat mendengar penjelasan, hingga pengawal yang bertugas mengintai pun tampak gemetaran.
"Unit apartemen itu atas nama Bima Sanjaya, dan tempat itu sudah dibeli sekitar dua tahun lalu," papar pengawal itu.
Rangga terkesiap. Kenapa pemilik unit apartemen itu seorang pria. Lalu, jika Anastasya tinggal disana, bukankah itu artinya...
Rangga lekas mengusir fikiran buruk yang sempat terbesit di otaknya. Gadis itu terlihat masih sangat muda, tapi apa dia sudah berumah tangga? Ataukah dia salah seorang ART yang sengaja dipekerjakan oleh sang empunya apartemen itu? Ah entahlah.
"Tapi apa kau yakin jika gadis itu benar-benar tinggal di sana?" Rangga tak percaya begitu saja.
"Benar tuan, kami bahkan menunggu hingga pagi, namun gadis itu sama sekali tak keluar dari apartemen itu." Rangga hanya bisa menghela nafas dalam. Minuman segar yang ia pesan pun tak lagi nikmat untuk diteguk. Semua terasa hambar, saat dugaan menguatkan jika Anastasya mungkin sudah berkeluarga.
Sial, aku harus apa sekarang. Rasa ini bahkan tak terbendung lagi.
Saat sibuk dengan fikiran yang ia rangkai sendiri, tanpa sengaja pandangannya justru tanpa sengaja menemukan sesosok tubuh yang sedari tadi menjadi objek pembicaraan.
Ya tuhan, benarkah itu Anastasya?
Dua perempuan dan seorang pria berpakaian ngentrik tampak turun dari sebuah taksi online yang kini terhenti di area parkir gedung Wiratama Management group. Semua tentu mampu ditangkap oleh indra penglihatan Rangga mengingat tempatnya yang hanya betseberangan dengan cafe tempatnya duduk saat ini.
"Hei..., bukankah dia gadis itu?" tunjuk Rangga pada Anastasya dan meminta persetujuan pada kedua pengawal itu.
"Ya, benar tuan. Gadis itulah target kita."
Rangga tak lagi fokus pada kefua anak buahnya, ia pun lekas merogoh beberapa lembar uang dari dalam dompet dan meninggalkannya di atas meja begitu saja sebelum berlari mengejar Anastasya.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments