...Aku tak ingin kehilangan jejak untuk ketiga kalinya...
Rangga tak fokus lagi pada lawan bicaranya. Netra elangnya justru tak bekedip membidik sesosok wajah cantik yang beberapa hari terus menghantui.
"Maaf, kita bicara lain waktu saja. Ada hal lebih penting yang harus saya lakukan," pamit Rangga pada lawan bicaranya. Ia pun setengah berlari menyusuri area parkir, tanpa perduli pada beberapa rekan bisnis yang menatapnya heran.
Ah persetan dengan mereka.
Dari kejauhan Rangga sudah tak mendapati ketiga orang yang ia cari, di area parkir.
Sial.
Rangga terus berlari. Menyisir pandang kesegala penjuru, dan berusaha acuh saat beberapa pasang mata menatapnya penuh tanya. Saat menatap kearah jalan raya, langkahnya terhenti seketika.
"Nah, itu dia."
Rupanya, gadis yang ia cari beserta dua rekannya tengah menunggu taksi di pinggir jalan raya. Ia pun harus bergerak cepat, agar tak kehilangan jejak. Terlebih taksi yang mereka pesan pun sudah datang.
"Tuan!"
Rangga tersentak dalam posisinya saat seseorang menyebut namanya. ia pun spontan memutar tubuh, menari kearah sumber suara.
"Kenapa?" Rangga menyipitkan kedua netra, mendapati sopir pribadinya berlari dengan nafas terenggah.
"Maaf, tuan," jawab sopir muda itu.
"Kenapa meminta maaf."
"Karna saya sudah berusaha mengejar anda, tuan." Masih dengan nafas memburu pemuda itu berucap.
"Kenapa malah mengejarku. Cepat, ambil mobil dan antar aku kesuatu tempat."
"Baik tuan." Tak menunggu lama, pria itu pun berlari menuju area parkir.
"Ikuti taksi itu. ingat, jangan sampai kita kehilangan jejak," titah Rangga saat keduanya sudah menunggangi kuda besi mewah miliknya.
"Baik tuan."
Pandangan Rangga dan sopir pribafinya tak lepas pada satu objek yang menjadi incaranya. Bukan hanya Rangga yang tampak berdebar, tetapi pemuda yang duduk mengendalikan kemudi pun tak kalah berdebar juga diliputi ketegangaan.
Meski tak berani bertanya atau pun sekedar menebak, tetapi sopir itu cukup faham jika seseorang yang berada dalam taksi tersebut cukup penting. Jika tidak, untuk apa sang tuan nekat mengikuti.
Lima belas menit berlalu, taksi pun tampak menepi di depan sebuah restoran makan cepat saji. Pria muda itu pun dengan sigap memutar kemudi. Namun tetap berada dalam jarak aman, agar tak menimbulkan kecurigaan.
"Ya, kita ambil jarak aman." Rangga bergerak gelisah dalam duduknya. Tangan dan kakinya pun serasa gatal untuk lekas keluar kendaraan dan ikut bergabung dengan ketiga orang itu. Akan tetapi, kesadaraan Rangga masih berfungsi dengan baik hingga pria itu lebih menimbang dampak baik buruknya.
Jika hanya memantau dari kejauhan, rasanya akan percuma. Akan tetapi, jika ia nekat mendekat, maka bisa jadi ia dicap seorang penjahat. Datang mengendap dan secara diam-diam.
Hingga pria itu pun menemukan satu ide cemerlang.
"Apa kau bisa menghubungi temanmu? Maksudku pengawal atau sopir lainnya untuk datang kemari?" Rangga masih sempat memberi instruksi saat pandangannya sibuk mencari keberadaan Anastasya.
"Bisa, tuan." Pria itu lekas merogoh ponsel di dalam saku pakaian, kemudian menghubungi nomor kontak seseorang.
******
Rangga menjatuhkan bobot tubuhnya di atas sofa yang berada di ruang keluarga. Selepas meminta dua orang untuk mengikuti Anastasya, pria itu pun kembali kerumah untuk beristirahat.
Sepuluh menit berlalu. Entah sudah beberapa puluh kali pria tampan itu memeriksa ponsel pribadinya, sekedar untuk mencari perkembangan dari orang suruhannya.
Derap langkah saling bersahutan terdengar. Rangga mendongak, hingga sepasang netranya menangkap kedua sosok tubuh yang beberapa saat dinanti.
"Selamat malam tuan," sapa keduanya bersamaan.
"Malam. Katakan, informasi apa saja yang kalian dapatkan." Rangga menatap kedua pemuda di hadapannya. Mengintrogasi.
Salah seorang pengawal yang memiliki postur tubuh lebih tinggi, maju beberapa langkah.
"Saya akan melaporkan informasi yang saya dapatkan setelah beberapa jam mengintai dan mengikutinya," lapor pengawal berpakaian serba hitam itu.
"Hem, ayo katakan." Menyilangkan kaki dengan duduk bersandar pada punggung sofa, Rangga memasang tajam kedua indra pendengarannya untuk mendengar penjelasan sang pengawal.
"Nama seseorang itu adalah Anastasya. Sedangkan kedua temannya adalah Maya dan juga Inces."
Anastasya? jadi gadis itu, bernama Anastasya?
"Lalu?"
"Kami juga mengikutinya hingga di sebuah apartemen."
Rangga mengerutkan dahi. Apartemen? Otaknya bekerja cukup keras. Bukankah penampilan gadis itu sangat sederhana? dan sepertinya tak mungkin jika ia tinggal di sebuah apartemen.
"Apa kau yakin, jika gadis itu tinggal di apartemen? Bisa sajakan, jika dia hanya mengunjungi teman atau bahkan bekerja pada seseorang pemilik apartemen itu."
Kedua pengawal itu terdiam, kemudian saling pandang.
"Sejak kami melakukan pengintaian selama beberapa jam, hanya kedua orang itulah yang tampak keluar dari apartemen, sedangkan seorang gadis yang tuan maksud sama sekali tak keluar apartemen hingga kami memutuskan untuk kembali," papar pengawal berkulit sawo matang itu.
Rangga tampak menganggukan kepala, meski ia masih sukar meyakini jika Anastasya tinggal di apartemen.
"Baiklah. Terimakasih atas kerja keras kalian malam ini. Dan aku ingin, setelah malam ini dan seterusnya pantau terus gadis itu dan kabarkan apa saja mengenai dirinya padaku. Jika benar, ia tinggal disalah satu apartemen itu, maka cari apartemen yang paling berdekatan dengan tempat tinggal gadis itu. Aku akan membelinya." Tak ada sejejak keraguan pun dari nada bicara Rangga. Seolah apa yang diucap, menjadi keputusan telak.
"Baik tuan."
"Ambil ini. Maaf sudah menyita waktu kalian." Rangga mengulurkan dua lembar cek pada dua pengawal itu.
"Terimakasih tuan. Tentu itu semua sudah menjadi tugas kami, tuan." Mereka pun menundukan badan sebelum berlalu dari pandangan sang tuan.
Selepas kepergian kedua orang yang ia tugaskan, Rangga seperti mendapat hembusan angin segar. Lengkung sedikit tebalnya mengurai senyum bahagian nan kelegaan.
Anastasya, Nama yang indah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments