Kesibukan tampak terlihat di apartemen milik Sarah. Riuh suara saling bersahutan di dalam kamar bercat putih gading berukuran cukup luas itu.
Sarah berdiri di ambang pintu dengan berkacak pinggang. Perempuan bertubuh langsing itu memindai pandangan di depannya seraya mengelengkan kepala.
Jam masih menunjukan pukul 06:30 pagi, namun semua orang tampak disibukkan dengan pekerjaan masing-masing.
Diantara beberapa orang yang terkumpul di dalam ruangan. Tampak inces_lah yang bertingkah paling heboh. Kakinya senantiasa bergerak lincah, berputar kesana kemari seolah tak kehabisan tenaga.
Bukan hanya tubuhnya, tetapi juga bibirnya yang seakan los dol tanpa rem, kala mengistruksi gadis di hadapannya.
"Ya tuhan, Ana. Berhenti berkedip, bagaimana aku memasang kontak lensa ini, jika matamu itu terus saja berkedip," maki Inces pada Anastasya yang terlihat sudah hendak menangis.
"Stop, jangan menangis. Make up mu pasti akan luntur." Inces mengacak rambutnya frustrasi. Inilah hal terberat saat menyempurnakan penampilan Anastasya. Gadis itu bahkan masih sulit menyesuaikan diri saat inces memintanya untuk memasang lensa kontak.
"Maaf, aku masih blum terbiasa menggunakan benda semacam itu."
Inces menghela nafas dalam, sementara Maya hanya terdiam dan sesekali merapikan gaun yang digunakan Anastasya.
"Ya tuhan." Inces berusaha tegar, meski kini giliran ia lah yang hendak menangis.
"Ces, jangan dipaksa. Lagi pula, Ana sudah terlihat cantik tanpa menggunakan benda itu." Sarah membuka suaranya.
"Hah, baiklah," pasrah inces.
"Ayo, kita harus bergerak cepat. Waktu kita tidak banyak." Sarah memeriksa waktu pada arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
******
"Ana, mungkin aku tidak bisa menemanimu sampai acara usai. Aku ada jadwal pemotretan siang nanti dan aku harus sampai lokasi sebelum jam sebelas ini." Sarah menatap kearah Anastasya yang sudah terlihat cantik dengan penampilannya kini. Sesekali ia menatap kearah ponsel yang terus bergetar sedari tadi. Kini rombongan sudah berada dalam mobil milik Sarah yang dikemudikan oleh sang sopir.
"Tak apa ka," jawab gadis itu lirih.
"Tapi tenang saja, kau akan tetap bersama inces dan juga Maya. Mereka akan terus menemanimu sampai usai."
Anastasya menghela nafas. Ia bahkan tak cukup mental dan keberanian untuk ikut ajan pencarian bakat ini. Gadis itu cukup tahu diri, andaikata tak masuk dalam audisi.
"Ka," lirih Anastasya.
"Kenapa?" Sarah memindai ekspresi wajah Anastasya. Ia mendapati rasa cemas dan kecanggungan di sana. "Kau tidak akan mundur sebelum memulai bukan?" telisik Sarah.
Anastasya dibuat gelagapan. Inces dan Maya sedari tadi berdebat di kursi penumpang paling belakang pun sepontan terdiam.
"Bu-bukan begitu ka, ha-hanya saja aku masih belum percaya diri." Setengah tergagap Anastasya mengucapnya.
"Semua memang butuh proses, Ana. Aku juga pernah merasakan berada pada posisimu saat ini, saat aku mulai merintis karir. Semua memang tidak mudah, tetapi kalau kau memiliki tekad dan kemauan, aku yakin jika kau bisa." Sarah menatap pandangan lurus kedepan, tak berusaha menatap Anastasya.
Gadis itu terdiam. Dipilinnya sepasang tangan yang saling bertautan.
Baiklah, ini memang sudah menjadi keinginannya. Walau akan berjalan sesulit apa pun, semangat itu tak akan pernah padam.
*****
Gedung beberapa lantai itu tampak di penuhi banyak manusia. Mereka hilir mudik dengan menenteng lembaran kertas di tangan. Bagi Anastasya sendiri, ia tak perlu susah payah untuk urusan pendaftaran dan segala macam, mengingat semua sudah menjadi tanggung jawab Sarah. Bukan Anastasya yang serta merta meminta, namun Sarahlah yang merasa bertanggung jawab atas gadis yang sudah ia paksa sebelumnya.
Pendaftaran pun terbilang cukup ketat. Setiap peserta yang tak memenuhi kriteria atau pun memiliki tinggi badan yang tak sesuai dengan peraturan, langsung disingkirkan.
Anastasya mulai mengikuti proses yang ada, dengan Sarah yang selalu berdiri di sampingnya.
"Silahkan memasuki ruangan gedung untuk mengikuti tahap audisi selanjutnya." Seorang perempuan yang duduk diantara meja juri mengulurkan selembar kertas bertuliskan tiga digit angka, yang diyakini Anastasya sebagai nomor urut peserta.
Anastasya terbelalak, diraihnya kertas berwarna putih itu dengan tangan bergetar.
"Berterimakasihlah pada paras dan postur tubuhmu itu." Sarah menipiskan bibir, menatap kearah gadis di depannya dari ujung kepala hingga kaki, sementara Anastasya mengerutkan dahi.
"Kenapa? Dua hal yang ku ucap tadi adalah modal utamamu untuk menjadi super model." Serigai tipis terulas di bibir Sarah, yang tak mampu di pahami artinya oleh Anastasya.
"Baiklah, aku tidak bisa berlama-lama menunggumu. Ada pemotretan, dan aku harus sampai lokasi tiga puluh menit lagi." Sarah kini mengeser pandang kearah Inces dan Maya yang tengah berjalan kearahnya seraya membawa beberapa paper bag berisi barang-barang yang diperlukan Anastasya.
"Kalian temani dan urus semua perlengkapan Anastasya. Babak penyisihan akan segera dimulai, dan aku harap kalian bisa bekerja dengan baik," titah Sarah tegas. Maya dan inces hanya bisa mengangguki.
"Aku ada jadwal pemotretan. Semua kru pasti sudah menunggu." Sarah kembali mengecek arloji di pergelangan tangan. Kali ini, ia harus benar-benar meninggalkan Anastasya.
"Sar, kau pasti butuh aku." Maya yang berperan sebagai Asisten pribadi Sarah, buka suara.
Sarah yang sudah hendak melangkah pergi pun, berbalik sejenak.
"Temani Anastasya, aku bisa mengurus diriku sendiri." Perempuan itu tersenyum tipis sebelum berlalu pergi. Maya hanya terperangah, sementara kedua tangannya terkepal erat.
******
"Ana, kendurkan otot-otot wajahmu. Kau tidak perlu setegang itu." Inces berdecak sembari memukul keningnya berulang. Anastasya bukan hanya berwajah tegang saat menunggu giliran, namun juga harus bolak balik toilet hanya untuk buang air.
Inces dibuat geram, beberapa belas kali ia merapikan penampilan dan pakaian anastasya, bahkan saat kaki gadis itu belum menginjak catwalk.
"Ya Salam, aku bisa gila hanya dengan melihat kekonyolanmu, Ana."
"Berhentilah mengumpat, seharusnya kau tenangkan dia sebelum naik panggung." Maya bahkan mulai bosan dengan ocehan perempuan jadi-jadian itu.
"Baiklah," ucap Inces menyerah kalah seraya menghembuskan nafas pelan.
Di antara kerumunan Inces senantiasa membimbing Anastasya. Mengasah kembali gerakan kaki dan tubuh gadis itu, meski inces sendiri tak perlu ragu atas bakat yang dimiki Anastasya walau baru beberapa minggu berada dalam didikannya.
Sesekali pandangan ketiganya tertuju pada peserta lain yang memiliki paras rupawan dengan lengak lenggok tubuh gemulai nan mempesona. Nyali Anastasya mulai menciut. Apakah ia bisa? Mungkinkah ia mampu?
"Ingat Ana, Tidak ada kata minder dalam kamus hidup kita. Kau tidak perlu grogi atau pun malu saat sudah berdiri di atas panggung. Panggung ini adalah milikmu. Abaikan penonton yang mencemooh, dan gunakan tepuk riuh penonton sebagai penyemangatmu." Inces dengan bibir yang dipoles lipstik berwarna pink itu terus menyemangati tanpa lelah, begitu pun dengan Maya. Hingga Anastasya yang sedari tadi tak percaya diri, mulai menunjukan semangat dan keberaniannya.
"Baiklah, aku akan berusaha."
Ditengah perbincangan, seorang MC menyebut nama beserta nomor urut Anastasya untuk lekas beraksi di atas catwalk.
Dengan penuh percaya diri, gadis berusia delapan belas tahun melangkahkan kaki. Menapaki anak tangga sebelum kaki jenjangnya yang berbalut hels beradu dengan lantai panggung.
Anastasya mulai menunjukan aksinya. Dres berwarna putih tulang selutut, tampak membalut tubuh langsingnya yang cukup berisi. Sementara surai panjangnya yang digerai begitu saja. Kian membuat penampilan Anastasya memuka beberapa pasang mata juri.
Tubuh molek dan kaki jenjang itu mulai bergerak lincah di atas catwalk. Anastasya yang polos dan pemalu, kini berubah Anggun nan tegas, tentu hasil rombakan Maya dan Inces.
Tepuk riuh penonton terdengar. Anastasya dibuat kian bersemangat pun dengan rasa grogi yang entah hilang kemana tanpa bekas.
Diantara kerumunan penonton, tampak Maya dan Inceslah_lah yang paling heboh memberi semangat.
******
"Ya tuhan, Ana. Ini gila. Bukan hanya seratus besar, kau bahkan bisa masuk dua puluh besar," pekik inces sebagai luapan kebahagian.
Dari ketiga orang itu, justru inceslah yang paling dibuat senang. Diciuminya kertas nomor urut Anastasya, hingga kertas berwarna putih itu dipenuhi cap bibirnya.
"Semua juga berkat kalian berdua. Kak Inces, Kak Maya. Terimakasih. Aku pasti tak akan seperti ini jika tanpa kerja keras kalian." Anastasya memandang Kedua orang yang tengah bersamanya secara bergantian. Sungguh, tanpa mereka dirinya bukan siapa-siapa.
"Oh... So sweet." Ketiganya pun berpelukan. Merasa hari mulai beranjak petang, mereka pun berjalan keluar gedung untuk mencari makan. Ya, menurut inces hitung-hitung sebagai bentuk perayaan.
Ketiganya berjalan beriringan. Anastasya berjalan ditengah, dengan diapit inces juga maya dikedua sisi. Mereka tampak begitu bahagia.
Sementara itu dari Area lobi gedung tampak beberapa pria berpakaian jas resmi tampak berjalan sesekali terlihat saling berbicara. Disela pembicaraan, seorang pria berbadan tegap tanpa sengaja mengedarkan pandangan kesekeliling, sepasang netranya pun terbelalak tatkala mendapati pembandangan yang membuatnya tersentak.
Apa gadis itu. Tapi.... ? Apa dia hanya mirip.
Pria itu tak memperdulikan lawan bicaranya, dan justru menatap pandangan jauh di depan. Bahkan tepukan berulang di bahu pun tak ia hiraukan.
Entah kenapa, jantungnya mulai berdetak kencang. Perasaan apa ini? Bahkan saat menatapnya dari kejauhan saja sudah membuat tubuhnya merespon sejauh ini.
*Tapi penampilannya cukup berbeda dari dua kali pertemuannya denganku waktu itu. Tapi, dia benar-benar mirip dengan gadis itu. Gadis yang selalu mengusik fikiranku. Lalu untuk apa dia kemari? Aku harus cepat cari tau.
Bersambung*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Fitriyani
yah aku akui sarah emang udah baik banget ke Ana tapi feelingku sarah seperti punya rencana buruk
2021-09-20
0