...Andai hidup, bisa sebebas burung terbang....
Rangga mengulas senyum tipis. Tatapannya menerawang jauh kearah luar kaca sebuah mobil yang membawanya untuk kembali kerumah. Bersama seorang sopir, Rangga menyusuri jalanan yang cukup lengang, mengingat hari masih beranjak siang.
Lelah, dan tak bersemangat membuat Rangga kembali lebih cepat. Perusahan agensi model itu masih dikelolanya secara setengah-setengah. Entah sampai kapan pria muda itu menyerah dan memilih pasrah pada perintah sang Ayah. Hingga menjalani tanggung jawab yang sudah diberi dengan sepenuh hati.
Empat puluh lima menit berlalu, kuda besi yang dikemudikan sopir keluarga Rangga, mulai memasuki gerbang utama di kompleks perumahan mewah.
Rangga menyisir pandang kearea ruang parkir yang cukup luas. Di sana tampak beberapa buah kendaraan mewah yang cukup asing terparkir. Pria itu yakin, jika beberapa kendaraan itu bukanlah milik dirinya, atau pun salah satu keluarganya. Lalu milik siapa?
"Pak, apa dirumah sedang menerima tamu?" tanya Rangga pada sang sopir sesaat selepas pria itu membuka pintu mobil untuknya.
"Benar tuan. Didalam ada beberapa teman-teman nyonya," jawab sopir berperawakan tinggi besar itu.
Rangga menghela nafas, kemudia menganggukan kepala dan memberi isyarat pada sopir itu untuk meninggalkannya.
Pria tampan dengan stelan jas berwarna gelap itu mulai mengayunkan langkah menuju halaman rumah. Ia sempat lupa, dulu sewaktu dirinya belum menempuh pendidikan di negara tetangga, ia kerap melihat sang ibu mengumpulkan beberapa teman sosialnya untuk sekedar mengobrol atau pun berpesta di kediamannya.
Canda tawa mulai menyapa indra pendengran Rangga begitu memasuki pintu rumah. Tanpa memandang kearah sumber suara, pria muda itu dengan santainya hendak berjalan menuju tangga penghubung menuju kelantai atas, akan tetapi seseorang terlebih dulu memanggil namanya.
"Rangga." Pria itu pun bepaling seketika. "Kemarilah, nak. Tidak sopan sekali kau melalui kami begitu saja," ucap Siska, sang ibu seraya menatap tajam kearah sang putra.
Dengan langkah dan senyum yang dipaksakan Rangga berbalik badan dan berjalan mendekati sang ibu juga beberapa rekannya.
"Kemarilah nak." Siska menarik tangan kekar putranya dan membawa putra sematawayangnya itu kehadapan beberapa rekannya yang duduk melingkar di sofa ruang tamu.
"Jeng, tentu masih ingat kan, ini Rangga putra sematawayangku dengan mas Sofyan." Penuh kebanggan perempuan setengah baya yang masih terlihat cantik itu memamerkan sang putra pada rekan sosialitanya.
Rangga hanya sekedar senyum basa basi. Sungguh, ia merasa tak nyaman jika sang ibu terlihat memperkenalkannya secara berlebihan pada orang lain.
"Tentu masih ingat dong jeng. Wah tambah ganteng aja nih nak Rangga, bisa buat calon mantu nih," celetuk salah seorang rekan Siska.
"Benar itu jeng. Anak saya juga ada dua. Gadis-gadis, cakep lagi. Gak nyesel deh kalo mau besanan sama saya," goda rekan Siska yang lainnya.
Entah ucapan dan pujian apa saja yang dilontarkan rekan-rekan Siska pada sang putra. Perempuan paruh baya itu hanya menanggapinya dengan senyum bahagia hingga menampakkan jajaran gigi putihnya. Ia teramat bangga. Sementara Rangga, memilih tetap diam.
Siska menyikut perut sang putra pelan, seolah memberi isyarat untuk sekedar membuka suara. Perempuan paruh baya itu mulai jengah saat sang putra memilih tak menanggapi apalagi memberi reaksi.
"Tenang jeng. Kalau jodoh, ga akan kemana. Saya pun sungguh berharap jika putra saya kelak, akan mendapatkan pendamping hidup dari teman-teman kita, sesama sosialita."
Merasa puas dengan jawaban Siska, beberapa rekannya pun serempak bertepuk tangan, bahkan ada yang mengacungkan jari jempol mereka.
Rangga menghela nafas dalam, ia berbisik kepada sang ibu untuk beristirahat. Siska pun menyetujuinya. Mengizinkan putranya pergi, meski berat pun kecewa.
Saat menapaki anak tangga pun Rangga masih mampu mendengar beberapa teman ibunya masih membahas tentang dirinya. Itulah yang membuat Rangga tak bisa sebegitu dekatnya dengan sang ibu.
Rangga memang putra satu-satunya dari Sofyan dan Siska. Akan tetapi, setatusnya itu pun tak membuat ia mendapatkan kasih sayang yang berlimpah dari orang tuanya. Jika Sofyan sibuk dengan perusahaan dan bisnis, maka Siska pun sibuk dengan kehidupan sosialitanya dan juga bisnis berliannya.
Ia seperti tumbuh tanpa kasih sayang orang tua. Hanya Bi Inah, pelayan yang sudah merawatnya sedari kecil. Membuatnya tumbuh menjadi sosok Rangga yang seperti saat ini.
Saat mendekati pintu kamar, Rangga mendepati Bi Inah tanpa sengaja tengah berlalu.
"Loh, tuan Rangga sudah pulang?" Tergopoh, perempuan tua itu lekas mengambil alih tas jerja dari tangan sang tuan dan menentengnya.
"Sudah, Bi," jawab Rangga dengan lembut. "Rangga lelah. Pengen mandi air hangat, lalu tidur." Pria itu menarik gagang pintu kamar, membawa tubuhnya memasuki ruangan luas bercat abu-abu, kemudian merebahkan tubuh di atas ranjang berukuran king, dengan menatap langit-lagit Kamar.
Inah pun bergerak sigap, menyimpan tas sang tuan pada tempatnya, kemudian memasuki kamar mandi untuk mempersiapkan air hangat.
Beberapa saat kemudian, perempuan tua itu keluar dan mendekat kearah Rangga.
"Air hanggatnya sudah siap, tuan."
Rangga terkesiap. Rupanya, sedari tadi pria itu tengah melamun dan tak sadar jika Bi Inah mengekori langkahnya.
"Bibi, aku bisa menyiapkan air mandiku sendiri. Bibi tidak perlu repot-repot lagi." Pria itu bangkit, berusaha menahan tubuh Inah untuk melakukan pekerjaan lain. Terlebih untuk mengurus kebutuhan pribadinya.
Inah tersenyum lembut. Ditatapnya pria tampan yang sudah ia asuh sedari bayi dengan lekat.
"Saya memang sudah sepuh, tuan. Tetapi saya sangat menikmati peran seorang pelayan, terlebih saat mempersiapkan kebutuhan Tuan Rangga. Itu seperti kebanggaan tersendiri bagi saya." Memang benar, begitulah Inah. Dihidupnya yang sebatang kara, terkadang menganggap sang tuan sebagai seseorang yang paling dekat dengannya.
Terlebih kini. Selepas beberapa tahun berpisah, tentu Inah pun teramat merindu sang Tuan yang sudah ia anggap seperti cucu sendiri.
Rangga tak mampu menjawab. Direngkuhnya tubuh Inah, untuk didekap.
"Bi, maafkan aku yang selalu membuatmu repot. Aku tau jika bibi lelah, maka setelah ini aku mohon, untuk mengurus kebutuhanku sendiri."
"T-tapi tuan."
"Hust..." Rangga mengarahkan jari telunjuknya di bibir. "Aku tak ingin mendengar adanya penolakan, Bi."
Inah, perempuan tua itu tak lagi berkata. Ia menggangguk, mengiyakan sang tuan.
*****
Rangga menikmati pemandangan yang tak biasa, namun juga dirindukan. Di meja makan, ia duduk menghadap kedua orang tuanya. Ya, ini kali pertama setelah beberapa hari ia tiba di indonesia.
Lengkung sedikit tebal milik Rangga, mengulas senyum tipis. Rasa senang, sekaligus cemas. Senang, saat momen langka di mana dirinya, ibu dan juga sang ayah menikmati makan bersama-sama. Sementara cemas, sebab jika sudah terkumpul seperti ini, maka kedua orang tuanya sengaja menyempatkan diri saat mereka mempunyai keinginan atau pun tuntutan untuk sang anak penuhi.
Untuk sejenak ketiganya menikmati makan malam dalam diam. Hanya sesekali terdengar denting sendok dan piring yang beradu.
Siska mengelap sudut bibir berpoles lipstik itu dengan tisu. Selepasnya ia meneguk habis sisa air putih di gelasnya. Perempuan setengah baya itu tampak antusias. Terbukti dengan wajahnya yang tampak berseri dan juga makanannya yang sudah habis lebih dulu. Padahal, biasanya ia tak seperti itu.
"Rangga sayang. Ibu ada rencana untuk membuat pesta kecil-kecilan sekedar untuk menyambut kedatanganmu dari singapura."
Sudah ku duga.
Sofyan tak memberi tanggapan. Ia masih sibuk menghabiskan sisa makanan di dalam piring porselennya. Akan tetapi pria itu pun sama sekali tak terkejut, jadi bisa dipastikan jika sang Ayah pun sudah mengetahui perihal rencana pesta sang ibu.
"Bagaimana?" ulang Siska pada sang putra.
Rangga menjeda waktu sejenak sebelum menjawab pertanyaan ibunya.
"Terserah ibu saja. Aku pasti tak bisa menolak." Tak ada sedikit senyum pun yang tersungging di bibir Rangga. Walau ia berusaha menolak, tapi dirasa akan percuma mengingat ibunya begitu memaksa kehendaknya pada sang anak.
Siska tersenyum penuh kemenangan.
"Baiklah. Kau tidak perlu repot untuk mempersiapkan apa pun. Serahkan semua pada Ibu. Kau hanya perlu mempersiapkan diri dan penampilanmu supaya terlihat sempurna. Oh ya, dan untuk hari, bagaimana jika akhir pekan ini saja?"
Rangga berfikir sejenak.
"Aku masih sibuk ibu, agensi model akan melakukan audisi pencarian bakat pada akhir pekan esok." Beruntung Rangga memiliki ide tepat. Beruntung, sebab waktunya pun bersamaan.
Kini Sofyan yang nampak mengerutkan dahi. Sepertinya pria paruh baya itu tengah berfikir.
"Benar, beberapa hari kedepan agensi model kita akan cukup sibuk untuk mempersiapkan agenda tahunan itu. Jadi, Rangga memang tak memiliki banyak waktu luang selama satu minggu ini."
Wajah Siska mendadak masam, namun dengan segera ia putar otak.
"Itu perkara mudah, lagi pula kita bisa mengadakan pesta setelah acara selesai," tawar Siska tak kehabisan akal.
"Bagaimana boy," tanya Sofyan mempertegas.
"Baiklah. Terserah ibu dan Ayah saja."
Sofyan dan Siska tampak tersenyum. Pandangan sepasang suami itu berpaut. Timbul serigai tipis di bibir Siska yang ditanggapi Sofyan dengan gelengan kepala pelan.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
yesi yuniar
semangat berkarya kak.... aku selalu menunggunya 💪💪
2021-09-15
0