"Oke Ana, kita sudah tak punya banyak waktu. Dua minggu lagi agensi modelku akan menggelar kompetisi, mencari bibit model pendatang baru untuk menjadi bintang iklan dan Brand ambassador produk kecantikan." Sarah membawa Anastasya kesebuah ruangan berdinding kaca di sekelilingnya.
Ruangan itu cukup luas dan lenggang, hanya ada beberapa sofa untuk beristirahat dan beberapa rak berisi sepatu hak tinggi.
Sarah juga mengganti pakaian tipisnya dengan tank top dan celana berbahan leging semata kaki yang kian menonjolkan bentuk tubuh indahnya. Anastasya terpaku. Terlebih saat Sarah berdiri menghadap kaca dengan High heel melapisi telapak kakinya.
"Aku akan mengajari cara berjalan seorang model di catwalk."
Mula-mula perempuan cantik itu mengambil sepasang sepatu dengan hak terlalu tinggi dan memberikannya pada Anastasya.
"Pakailah. Dan ikuti cara berjalanku," titah Sarah.
"Tapi nona, saya tidak pernah memakai alas kaki seperti ini. Apalagi dengan cara berjalan seperti nona," jawab gadis itu ragu.
Sarah menghela nafas dalam. Saat ini ia hanya seorang diri. Asisten, pembimbing koreografer dan manager yang selalu bersamanya pun tengah libur mengingat tak adanya jadwal.
"Maka dari itu kau harus berjalan. Sekarang, pakailah dulu." Sarah bahkan berlutut dan membantu memasang sepatu tersebut kekaki Anastasya.
"Berdiri di sampingku." Keduanya berdiri, bersejajar.
"Lihat aku. Pandangan kedepan, turunkan dagumu sedikit, jangan tersenyum dan tutup mulutmu sesuai bentuk alami."
Anastasya sibuk memperhatikan setiap ucapan gan gerak gerik Sarah.
"Atur posisimu, berdiri tegak. Tempatkan satu kaki di depan kaki lainnya dan berjalan dengan langkah-langkah lebar. Ingat! Biarkan kedua lengan tetap menggantung disisi tubuh dan posisikan dengan sesantai mungkin," terang Sarah panjang lebar. Ia sendiri kini mulai memposisika tubuhnya dan melangkahkan kaki seperti saat dirinya berada di atas catwalk.
Anastasya terpaku. Sarah begitu piawai melengak lenggokkan tubuh indahnya. Bahka sepatu hak tinggi yang ia pakai, sama sekali tak menyulitkan pergerakannya.
"Ana, ayo coba."
Anastasya menelan salivanya berat. Di tatapnya sepatu hak yang ia gunakan sebagai alas kaki, membuat nyalinya menciut dan bergidik ngeri.
"Lakukanlah," ucap Sarah diiringi intonasi suara cukup tinggi. Pasalnya Anastasya masih tak bergerak dan justru mematung ditempatnya.
Baiklah Anastasya. Tidak ada salahnya mencoba.
Ia menarik nafas dalam. Memejamkan mata sembari mengingat ucapan panjang lebar Sarah, tentang dasar cara berjalan bak model.
Anastasya mulai melangkah, dan
Brugg..
"Aw," pekik Anastasya.
Tubuh itu tersungkur, saat kakinya tak mampu menyeimbangkan langkah hingga sepatu hak yang ia gunakan membuatnya tergelincir. Sakit, satu kata yang mewakili Anastasya. Ia merasa jika kakinya tengah terkilir.
"Ya tuhan Ana." Sarah tergopoh. Ditariknya tubuh Anastasya untuk bangkit dan membimbingnya menuju sofa.
"Bi Atun," panggil Sarah setengah berteriak.
Perempuan paruh baya yang dipanggil pun berlari kecil dan mendekat.
"Ada apa nona?"
"Ambil minyak urut, dan pijat kaki Anastasya."
"Baik Nona." Tanpa menunggu penjelasan, perempuan bertubuh kurus itu lekas menghilang di balik dinding dan tak berapa lama kembali dengan membawa botol berukuran kecil dalam gengaman.
Atun menatap Anastasya yang meringis menahan sakit dengan sesekali menggengam bagian pergelangan kakinya.
Dia pasti terkilir.
Atun kini memposisikan tubuhnya untuk bersimpuh di hadapan Anastasya. Diraihnya pergelangan kaki gadis tersebut dan mulai membalurinya dengan minyak urut.
Anastasya meronta. Tak nyaman dengan perlakuan Atun. Terlebih dengan posisinya kini yang menurut Anastasya tak sopan. Mengingat usia Atun yang lebih tua namun berlutut dan sudi menyentuh kakinya.
"Tidak usah bi, saya bisa melakukannya sendiri." Anastasya berusaha menjauhkan tubuhnya dari Atun dan berniat merebut minyak urut agar ia bisa melakukannya seorang diri.
"Ana. Kau tidak bisa melakukannya sendiri. Lihat, kakimu terkilir. Jika tidak cepat diurut, maka kakimu bisa bengkak dan sulit berjalan." Atun sempat geleng-geleng kepala. Anastasya bahkan sudah kesakitan, namun berusaha menolaknya karna tak nyaman.
Kini gadis itu hanya pasrah. Rasa sakit dan nyeri dipergelangan kakinya mulai berkurang seiring pijatan-pijatan dari tangan ajaib Atun.
"Maafkan aku." Kini Sarahlah yang mulai buka suara setelah beberapa saat bungkam. "Harusnya aku tak terlalu memaksamu. Semua memang butuh proses. Terlebih dirimu yang sama sekali belum mengerti tentang dunia ini." Sarah yang duduk di sofa tak jauh dari Anastasya menunjukan penyesalan.
"Justru sayalah yang harusnya meminta maaf Nona." Ini memang sama sekali bukan dunianya. "Tapi saya akan terus berusaha, hingga saya mampu melakukannya." Anastasya coba menyemangati diri. Meski ia pun ragu, mampu mewujudkan ataukah tidak.
Gadis itu perlahan kembali bangkit. Saat dirasa nyeri itu mulai mereda, ia lakukan kembali adegan yang sempat tertunda.
Kamu harus bisa Anastasya.
Selangkah, dua langkah, Senyum dibibir Anastasya mulai terukir tatkala kakinya mulai lincah bergerak di atas lantai dengan sepatu hak tinggi yang melapisi kaki jenjangnya.
Meski cukup canggung dengan tingkat kepercayaan diri yang minim, namun kata-kata penyemangat dari Sarah seperti bola api tersendiri yang serasa membakar semangatnya.
"Cukup." Sarah dan Atun bertepuk tangan. Cukup puas dengan hasil kerja keras Anastasya setelah melewati beberapa drama. Meski dari gerakan masih cukup kaku, namun Sarah yakin jika kemampuan Anastasya tal perlu diragukan. Gadis itu seperti memiliki bakat terpendam. Jika terus digali dan di asah, Sarah yakin jika Anastasya mampu untuk lebih dari dirinya dalam dunia permodelan.
Wajah cantik alamin, kulitnya yang seputih salju, serta tubuh yang pas dan proporsional sudah menjadi nilai plus tersendiri untuk Anastasya sebagai model. Hanya perlu memolesnya sedikit saja, maka gadis itu akan membuat siapa pun terpesona.
*****
"Benar-benar membosankan," gumam Rangga disela rapat bersama para staf dan juga perwakilan dari pihak sponsor dan pengisi acara yang akan digelar beberapa minggu kedepan.
Acara tahunan yang digelar Wiratama Management dengan mencari bibit-bibit pendatang baru di dunia permodelan yang kerap menelan biaya fantastis namun mampu meraup keuntungan yang cukup fantastis itu, nyatanya tak membuat Rangga antusias. Bahkan justru sebaliknya.
Tak sesuai keingin, rupanya membuat Rangga sulit untuk mulai mencintai pekerjaan barunya.
'Aku sama sekali tak bersemangat' Kalimat semacam itulah yang terucap dari bibir Rangga kala pria itu tengah muak.
Saat meeting menuju finish dan menemui kesepakatan. Rangga mulai bangkit, menundukan kepala pada beberapa pasang mata yang turut serta dalam rapat, sebelum berbalik badan meninggalkan ruangan.
"Kau bisa membereskan semuanya, bukan?" ucap Rangga pada sang sekertaris.
Yang ditanya pun mengangguk kemudian menjawab, "Iya, Tuan."
"Bagus. Lakukan tugasmu dengan benar, aku sangat lelah dan ingin cepat pulang." Tanpa banyak kata, Rangga melangkah lebar meninggalkan sang sekertaris yang masih terdiam ditempat, sembari menatap punggungnya yang mulai menghilang tertutup pintu kaca.
Rangga tak mampu menutupi diri. Ia benar-benar bosan dan berniat untuk pulang. Ia pun berdiri di area lobi, menunggu seseorang mengantar kendaraan miliknya.
Ia memeriksa arloji mahal yang melingkar di pergelangan tangan. Ini bahkan masih siang dan dia sudah berniat untuk pulang. Pria itu berdecak. Antara bosan dan jengkel, bercampur menjadi satu.
"Rangga." Terdengar namanya disebut, serta tepukan ringan di bahu yang membuat pria itu mendongak. Hingga pandangannya menemukan sesosok gadis cantik yang tersenyum kearahnya.
"Hem, siapa ya? Kau mengenaliku?" Sepasang alisnya berpaut. Jika tak salah, sesosok gadis itu menyebut namanya. Tapi Rangga seperti tak mengenalinya.
Gadis itu terdiam, dan hanya tersenyum simpul.
"Aku Stela. Apa kau tak mengenaliku?"
Stela?
Rangga terdiam dan memperhatikan gadis di hadapanya itu dengan seksama. Otaknya bekerja keras mengumpulkan puing-puing memori tentang gadis bernama Stela.
"Apa kau Stela Wijaya?" tebak Rangga.
Gadis itu pun tersenyum lebar.
"Hem, daya ingatmu cukup bagus rupanya."
Rangga pun ikut mengulas senyum. Stela Wijanya merupakan teman seangkatannya sewaktu SMA dan juga putri dari keluarga Roy wijaya salah satu kolega bisnis Ayahnya, Sofyan Wiratama.
"Wah senang bertemu denganmu." Akhirnya Rangga mengulurkan tangan dan disambut hangat oleh gadis bernama Stela.
"Bagaimana kabarmu? Kau semakin tampan rupanya," puji Stela yang mana membuat Rangga tersenyum bangga.
"Ah biasa saja," elak Rangga. "Kau juga semakin cantik," goda Rangga pada Stela. Meski sejujurnya Rangga tak begitu faham pada wajah Stela kala sempat berada dikelas yang sama sewaktu SMA.
Keduanya pun terlibat obrolan basa basi. Hingga memilih menuju Area Kafe yang berada diseberang Wiratama management.
Pandangan Stela tak lepas dari sosok pria tampan yang kini duduk berhadapan dengannya. Gadis itu akui, jika paras Rangga memang tampan serta berasal dari keluarga terpandang.
Stela sangat antusias menanggapi dari setiap obrolan yang keluar dari bibir Rangga. Meski sejujurnya Rangga sendiri tak begitu menikmati, dan berniat untuk lekas pulang, namun tak mungkin mengingat Stela terus memaksanya untuk ditemani.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Nartyana Gunawan
bagiku tetap arka yang nomor satu
2021-09-08
0
Fitriyani
lanjut kak othor 😊😊😊
2021-09-07
0