Ruangan yang biasanya senyap itu, kini terasa hidup dengan gelak tawa yang terdengar memenuhi seisi ruangan. Ketiganya terlibat obrolan basa basi nan ringan, namun tak urung menciptakan suasana hangat di kala senja mulai menyapa.
Lima tahun terpisah, bukanlah waktu yang singkat. Begitu banyak perbedaan pada diri ketiga pria muda itu. Mulai dari paras, bentuk tubuh dan juga kepribadian.
"Aku tak mengira jika kau akan setampan ini," puji Rangga pada Arka yang hanya ditanggapi gelengan oleh pria tampan tersebut.
"Bukankah aku memang sudah tampan sejak lahir," jawab Arka dengan senyum tipis.
Berbeda dengan Rangga yang banyak bicara, Arka terkesan pendiam. Namun diamnya pun sudah membuatnya sangat berkharisma.
Sam yang duduk diantara kedua pria itu pun juga tak banyak bicara. Hanya menjadi pendengar dan sesekali ikut tertawa.
Rangga menyapu pandangan ke sekitar. Ruang CEO milik Arka sungguh terlihat nyaman. Tak melulu dengan hanya berisikan kursi kerja, meja dan sofa, tetapi Arka juga menambahkan beberapa furnitur berwarna abu-abu yang cukup memanjakan mata. Tak terkesan membosankan, dan justru membuat siapa pun betah berlama-lama di ruangan itu.
Pria itu mendaratkan bokongnya di meja kerja. Melirik kearah figura foto, kemudian meraih benda itu dan memandangnya.
Lengkung tebal Rangga mengulas senyum. Diusapnya album foto di mana wajah Arka dan ibunya tergambar di sana.
"Bagaimana kabar Bibi? Dua hari di ibukota, aku masih belum sempat menemuinya." Rangga masih setia menatap album foto.
"Ibu baik-baik saja. Tapi beliau tetap memilih untuk tak tinggal bersamaku." Arka menghela nafas dalam.
Rangga mengangguk samar sebagai jawaban. Setelah peristiwa menyakitkan itu dan ditambah dengan meninggalnya Ayah Arka, ibu Arka kini memilih untuk menenangkan diri dan menghabiskan masa tuanya di sebuah rumah yang terletak jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
Mungkin sudah menjadi pilihan, hingga Arka yang kini menjadi anak semata wayang tak mampu mencegah keinginannya.
Suasana yang semula menghangat kini berubah senyap. Menyingkap tabir masa lalu keluarga Arka, membuat luka itu kembali menganga. Hingga dengan cepat Rangg Kembali menghidupkan suasana.
"Hei, kenapa hanya ada fotomu dan juga bibi, kenapa tidak ada foto kekasihmu?" Rangga mencari-cari sesuatu yang ia cari di meja, bahkan membuka seluruh laci. Tapi tak ia temukan foto satu gadis pun di sana.
Arka menggelengkan kepala seraya tersenyum tipis.
"Carilah sesukamu. Kau tidak akan menemukannya. Lagi pula aku tak memiliki kekasih," ucap Arka datar.
Rangga mulai tergelak.
"Kau tetap tidak berubah ya. Masih tetap setia dan tak mau menanggalkan status jomblomu itu. Memang gadis seperti apa yang kau inginkan?"
Arka terdiam sesaat. Tak berusaha menjawab.
"Dan kau sendiri?" tanya dijawab tanya oleh Arka.
Rangga menipiskan bibir, dia bangkit dari meja dan mendekat kearah Arka. Seiring serigai tipis, Rangga mencondongkan tubuh kearah Arka dan berucap tepat di telinganya.
"Sama seperti. Rupanya, aku pun kesulitan membuang gelar jombloku."
Arka tergelak, begitu pun dengan Sam. Disusul Rangga yang seolah menertawakan status jomblo yang masih setia melekat meski sejatinya, banyak gadis yang bermimpi untuk bisa menjadi kekasihnya.
******
Anastasya menatap bangunan tinggi menjulang di depannya. Di sinilah kini ia berada. Bangunan bertingkat yang ia yakini sebagai apartemen tempat Sarah tinggal.
"Mari Nona. Nona Sarah pasti sudah menunggu di dalam."
Seorang sopir yang bertugas menjemput Anastasya mulai menunjukan jalan. Gadis polos itu pun coba mengikuti langkah tanpa banyak bicara.
Dengan sigap pria paruh baya berpakaian hitam itu melangkah dan membawa Anastasya untuk memasuki lift hingga langkah keduanya terhenti disebuah pintu yang masih tertutup rapat.
"Tunggu sebentar." Pria itu mulai mengetuk pintu, dan nampak seorang perempuan paruh baya yang muncul dari pintu yang terbuka.
"Saya membawa tamu untuk nona," ucap sang sopir pada perempuan paruh baya itu.
Perempuan itu pun mengangguk. Membiarkan sang sopir pergi dan menarik lembut tangan Anastasya untuk memasuki apartemen.
"Duduk non, saya panggil Nona Sarah sebentar."
Anastasya mendaratkan tubuhnya disebuah sofa dan mengamati ruangan dengan seksama. Gadis itu berdecak, mengagumi interor bangunan dan segala perabotan mahal yang memenuhi ruangan. Sungguh mewah dan elegan. Bisa dipastikan jika Sarah membeli apartemen ini dengan harga yang tak murah.
Disaat sepasang netranya sibuk mengangumi, Sarah tiba-tiba muncul dengan gaun tipis seatas lutut yang membalut tubuh moleknya.
"Hai, aku senang kau datang," sapa Sarah dengan senyum tipis. Ia pun memilih mendaratkan tubuh di sebuah sofa yang posisinya tepat berhadapan dengan Anastasya.
Gadis cantik itu tersenyum tipis.
"Ini tempatku, dan itu Bi Atun. Dia yang mengurus tempat ini dan juga kebutuhanku." Seseorang yang disebut pun mendekat, dengan menyajikan dua gelas minuman dingin.
Anastasya masih terdiam. Seketika bibirnya pun ragu untuk merangkai kata. Lebih tepatnya, bingung.
"Bagaimana, apa kau menerima tawaranku?" tanya Sarah. Perempuan bersurai pirang itu menopang satu kaki dengan kaki lainya saat duduk, hingga mengekspos bagian pahanya yang putih mulus.
Anastasya mengangguk.
"Iya nona. Hanya saja, saya masih bingung untul menelaah ucapan anda. Termasuk penawaran yang anda berikan kepada saya."
Sarah tampak menganggukkan kepala berulang. Mungkin saja Anastasya masih tak mengerti akan ucapannya tempo hari.
"Begini. Aku adalah seorang model. Sudah cukup lama aku menggeluti pekerjaan dibidang permodelan. Aku pun sering mencari model pendatang baru untuk bergabung diagensi yang selama ini menaungiku."
Anastasya memperhatikan dengan seksama setiap ucapan yang terlontar dari bibir Sarah. Meski sejujurnya ia tak begitu paham, namun sebisa mungkin ia tanggapi.
"Lalu, bagaimana dengan saya?" Anastasya masih tak paham dengan posisinya.
"Begini. Sejujurnya aku tertarik padamu. Maksudnya, aku ingin memintamu untuk bergabung diagensi model yang sama denganku."
Ini memang sudah sempat Anastasya dengar saat Sarah menemuinya di kedai tempo hari.
"Apa yang membuat nona sebegitu yakin, jika saya mampu untuk menjadi seseorang seperti anda?" Jelas, jika ditanya tentang penampilan, keduanya bak langit dan bumi. Sangat tak sepadan. Begitu fikir Anastasya.
Sarah tergelak. Meski sepasang netranya menyusuri tubuh Anastasya dari kaki hingga ujung rambut.
"Kau tak perlu jawaban. Jika aku sudah merasa yakin, makan pasti bisa kubuktikan. Kau hanya perlu mengikuti peraturan dan kata-kataku. Aku yakin, kau pasti bisa menjadi seperti diriku. Bahkan lebih."
Anastasya menghela nafas. Ia hanya bisa pasrah, kemana Sarah akan mengatur jalan hidupnya.
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Fitriyani
nanti ketemu deh sama rangga, dan di nikahi arka.. tpi aku jg penasaran thor perjuangan anastasya di modeling
2021-09-06
0