Disepanjang perjalanan pulang, Anastasya masih terus berperang dengan fikirannya. Beberapa kali ia menghela nafas dalam guna menetralisir perasaannya.
Setibanya di kedai, ia pun beristirahat sebentar di kamar sebelum melanjutkan kembali pekerjaan yang sempat ia tinggal.
Beruntung suasana kedai tak cukup ramai, hingga Anastasya bisa menjaga suasana hati yang tak lagi kondusif.
"Ana, bagaimana?" Meski Rina tak berani bertanya lebih spesifik, tetapi Anastasya mampu memahami.
"Ana masih bingung bu," jawab Anastasya lirih.
"Maaf jika Ibu banyak tanya, tapi apa saja yang perempuan itu tanyakan padamu?"
Anastasya menjelaskan secara gamblang semua kejadian di dalam kafe saat dirinya bertemu dengan Sarah, juga pembicaraan apa saja yang terjadi diantara mereka berdua. Tak ada yang ditutupi. Baginya, jika Rina tau, maka mungkin saja perempuan paruh baya itu bisa memberi solusi.
"Semua ibu serahkan padamu. Ibu takkan mencegah, namun juga tak berhak mendorong. Semua keputusan harus berasal dari nurani setelah difikir masak-masak."
Anastasya terdiam. Bagaimana pun, ia masih tak mengenal siapa sebenarnya Sarah. Beruntung jika dia berhati tulus. Akan tetapi, bagaima jika perempuan itu justru berbuat jahat dan menjerumuskannya.
"Kenapa, kau masih ragu?" Pemilik kedai menangkap gurat kebimbangan pada wajah cantik gadis di depannya.
"Permisi."
Kedatangan seseorang membuat perbincangan kedua orang itu terhenti. Rupanya, terlihat seorang pria paruh baya berdiri di depan pintu masuk kedai.
"Ada apa pak?" tanya Rina setelah berada cukup dekat dengan pria tersebut.
"Saya datang atas permintaan nona Sarah untuk memberikan ini pada mba Anastasya." Pria paruh baya itu memberikan satu lembar kartu nama pada Rina.
"Terimakasih."
"Sama-sama. Saya permisi." Pria itu berlalu pergi. Rina masih berdiri di tempatnya, seraya memandangi punggung seseorang itu hingga menghilang memasuki kendaraan.
"Orang itu memberikan kartu nama ini padamu." Rina mengulurkan kartu nama tersebut pada Anastasya.
Gadis itu pun menerimanya. Ia ingat pesan Sarah sebelum meninggalkannya.
"Kenapa dia sudah seyakin itu jika kau akan menerima tawarannya. Apa dia menawarimu dengan banyak keuntungan?" Meski tak berpunya. Tetapi Rina cukup faham dengan sifat seseorang yang berpura-pura baik namun berhati busuk. Ia hanya tak ingin jika kelak Anastasya salah langkah.
"Entahlah, bu. Dia sempat mengatakan jika aku harus menghubunginya, seandainya aku berminat."
Rina mendesah pelan. Ini benar-benar pilihan yang sulit.
"Apa kau berminat dengan penawaran Nona Sarah?"
Anastasya ragu.
Memang, uang adalah salah satu alasan terkuatnya untuk mencari pekerjaan di ibukota. Jika ucapan Sarah itu benar, maka pundi-pundi rupiah akan cepat ia dapat, pun dengan kehidupannya yang menjadi lebih layak.
"Ibu hanya bisa membayarmu dengan uang yang tak seberapa. Sedangkan keluargamu di kampung, pasti memerlukan biaya hidup yang tak sedikit. Ibu tak bisa untuk tetap menahanmu terus ditempat ini, jika diluaran sana masih banyak pekerjaan yang bisa menggajimu lebih besar."
Anastasya memijat pelan pelipisnya. Kepalanya benar-benar berdenyut dan terasa pening.
"lala bagaimana jika Nona Sarah tak sebaik yang kita fikir dan justru membohongiku?" Jujur, bukan hanya Anastasya tetapi Rina pun merasakan kekhawatiran yang sama.
"Kembalilah ketempat ini. Ibu akan menerimamu dengan tangan terbuka."
Anastasya terharu dan lekas memeluk tubuh perempuan paruh baya itu. Entah mengapa, perlakuan Rina justru membuatnya engan untuk meninggalkan.
*******
Rangga melangkahkan kaki panjangnya memasuki lobi sebuah perusahaan besar milik sahabatnya. Sepanjang memasuki tempat tersebut tak hentinya ia mengulas senyum pada seluruh karyawan serta petinggi perusahaan yang tanpa sengaja berpapasan.
Bagi seluruh karyawan, wajah Rangga memang tak asing lagi mengingat pria tampan itu merupakan sahat karib sang atasan.
Rangga dan sang sahabat memang tumbuh bersama dan lebih mirip seperti saudara. Hanya saja tak sedarah. Persahabatan Kakek-nenek mereka rupanya menurun hingga pada cucunya.
Rangga mulai memasuki lift dan menekan satu tombol menuju lantai teratas gedung. Senyumnya masih terkembang. Sengaja ia datang tanpa memberi kabar. Ini adalah sebuah kejutan, setelah beberapa hari kepulangannya dari singapura.
Pintu lift terbuka. Rangga melangkah dengan santai. Ia melirik bangunan yang beberapa tahun tak ia kunjungi. Tak ada yang berbeda. Semua masih sama, seperti saat ia tinggalkan.
Pria itu menarik nafas dalam sebelum membuka pintu ruangan yang ia inginkan. Dan tara... Pintu ruangan terbuka. Nampak sesosok pria muda tampan tengah duduk dikursi kebesaran dengan mengenakan jas berwarna Navy yang membalut tubuh atletisnya.
"Hai Sob," ucap Rangga setengah berteriak yang mana membuat pria yang tengah sibuk dengan setumpuk berkas itu terkesiap.
Pria itu terbelak dan setengah tak percaya.
Rangga tergelak. Dihampirinya pria yang masih mematung itu dan mengarahkan pukulannya dibahu sebagai salam pertemuan.
"Ngga, ini kamu?" pria itu masih tak percaya.
"Ck, siapa lagi," jawab Rangga seraya berdecak.
Pria itu bangkit, membalas pukulan di bahu Rangga, kemudian memeluk sahabatnya itu erat.
Keduanya sama-sama tergelak dan saling mendekap. Sesekali mereka melirik penampilan masing-masing yang sudah jauh berubah sebelum mereka terpisah. Wajar saja, lima tahun mereka berpisah dan hanya berkomunikasi lewat sambungan telepon atau pun media sosial.
"Hai, penampilanmu sudah banyak berubah sobat," ucap Rangga pada sahabatnya, Arka.
Pria tampan berjambang itu tergelak, seraya memperailahkan Rangga untuk duduk di sofa.
"Berubah? Apa yang bisa ku ubah, aku bukan superman atau pun spiderman," jawab Arka yang tak ayal membuat Rangga terbahak.
Derap langkah mendekat. Terlihat seorang pria tak kalah tampan dengan stelan jas mendekati kearah mereka berdua.
"Waw, siapa ini?" Rangga menatap pria muda itu sembari mengingat-ingat.
"Dia Sam, kau masih ingat bukan?"
Rangga terbelalak. Tak berbeda jauh dengan Arka, Sam pun juga banyak berubah. Selain postur tubuh, wajahnya pun kini terbilang sangat tampan. Rangga bangkit, melempar senyum dan lekas mendekat kearah Sam.
Rangga mengangkat tangan untuk memukul bahu Sam, akan tetapi pria itu lebih dulu menepisnya.
"Waw, kau menepis seranganku," goda Rangga pada Sam. Keduanya tergelak sebelum mendekap meluapkan rasa rindu.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments