"Hah, model? Memang apa kelebihanku? Apa dia sudah tidak waras?"
Anastasya meleliti dengan seksama pantulan tubuhnya di depan kaca. Pakaian lusuh dan dandanan alakadarnya, memang dirasa tak ada yang menarik pada dirinya. Tetapi kenapa perempuan bernama Sarah itu justu mengajaknya bergabung disebuah agensi model. Sungguh payut dipertanyakan. Terlebih dengan asal usul dan juga riwayat pendidikan yang tak memenuhi standar para model.
"Ah, lupakan saja. Aku yakin jika ajakan Nona Sarah, hanya sebuah lelucon belaka."
Keluar dari arah kamar dengan wajah setengah tertekuk. Gadis dengan setelan berwarna coklat itu bergegas membuka kedai dipagi hari. Tangan kurusnya mulai bergerak lincah, menyeka butiran debu dan juga sampah plastik yang berserakan di area kedai.
"Tapi jika hanya lelucon, kenapa perempuan itu nekat datang kemari, dan bukan yang pertama kalinya pula," gumam Anastasya lirih.
"Ana, ada apa?"
Gadis itu terkesiap. Tubuhnya sedikit berjingkat dengan dada berdepar.
"Ibu. Mengejutkan saja."
"Maaf," sesal perempuan paruh baya itu. "Wajahmu, kenapa masam seperti itu. Apa sedang ada masalah?" Pemilik kedai menelisik kearah wajah Anastasya yang tak seceria hari biasanya.
Gadis itu menghela nafas berat. Sejauh ini, ia tak ingin menutupi perasaanya pada satu-satunya orang yang paling dekat dengannya kini.
"Apa ibu masih ingat dengan perempuan cantik yang datang ke kedai tempo hari?"
"Yang mana?"
"Model cantik itu."
Beberapa saat berfikir, perempuan paruh baya itu mengangguk selepas mampu mengingatnya.
"Lalu apa hubungannya perempuan itu dengan mendungnya wajahmu?"
"Dia memberikan penawaran padaku."
Pemilik kedai menautkan sepasang alisnya.
"Penawaran apa? Tidak aneh-aneh kan?" Pemilik kedai mendekatkan tubuhnya pada Anastasya. Ingin mendengar secara gamblang perihal pembicaraan Anastasya dengan Sarah tempo hari yang tak sempat ia curi dengar.
"Dia mengajakku untuk bergabung di agensi model yang menaunginya."
"Sudah kuduga," jawab pemilik kedai cepat.
"Maksud ibu? Bukankah ibu tak mendengarkan obrolan kami?"
Perempuan paruh baya itu menggeleng. Akan tetapi, raut wajahnya menyimpan kecemasan.
"Lihat dirimu, Anastasya."
Spontan Anastasya mengerutkan dahi. Tak mengerti akan ucapan perempuan paruh baya di hadapannya kini.
"Kau cantik. Tubuhmu bagus, usiamu pun masih sangat muda. Aku yakin jika kedatangan Sarah ketempat ini hanya untuk melihat dirimu dari dekat, sebelum ia memutuskan menarikmu untuk menjadi seorang model."
Anastasya tertegun. Ditatapnya wajah pemilik kedai yang baru saja berucap tanpa berkedip.
"Ibu sudah bisa menduga. Tidak mungkin Sarah sudi menginjakkan kaki ketempat ini jika bukan tanpa alasan." Perempuan paruh baya itu berucap lantang. Ia hanya menebak, akan tetapi ia yakin jika praduganya itu memanglah suatu kebenaran.
"Ibu, benarkah itu? Lalu aku harus bagaimana?" Gadis itu dibuat cemas.
"Semua keputusan ada ditanganmu Ana. Kau pasti tau mana yang terbaik. Bukan hanya untuk dirimu, tapi juga keluargamu."
Disela obrolan. Tiba-tiba sosok yang dibicarakan mulai memasuki kedai.
"Permisi," ucap Sarah lembut seperti biasanya.
"Nona Sarah." Anastasya bangkit dari posisinya, dan mendekat kearah Sarah. "Ada yang ingin dipesan?" sambung gadis itu kemudian.
Sarah mengulas senyum termanisnya pada Anastasya, juga pada pemilik kedai yang masih duduk di tempatnya semula.
"Ah tidak."
Sarah mengedarkan pandangan sekeliling, sebelum tertuju pada Anastasya kembali.
"Bisakah kita bicara berdua. Maaf, tapi tidak di tempat ini. Bagaimana?"
Anastasya terdiam beberapa saat sebelum menggeser pandang kearah pemilik kedai.
"Sebentar Nona. Aku akan meminta izin pada Ibu pemilik kedai lebih dulu. Apakah beliau mengizinkan atau tidak." Sejujurnya ragu Anastasya menyeret langkah menuju Ibu pemilik kedai. Akan tetapi, tak mungkin ia mengabaikan Sarah begitu saja. Takut jika perempuan itu akan menganggapnya sombong.
******
Di tempat inilah Anastasya dan Sarah kini berada. Sebuah Cafe yang belum pernah Anastasya datangi seumur hidupnya. Makanan dan minuman yang dipesan sudah tersaji di hadapan. Sarah tak hentinya menatap kearah Anastasya yang tampak takjub dengan pemandangan di sekitarnya.
"Ana, ayo dinikmati makanannya," ucap Sarah seraya menyedot es capucino dari gelasnya.
Gadis itu mengangguk, dan meraih minuman yang ia pesan dan lantas meminumnya dengan gerakan kaku.
Sarah menyerigai tipis, entah apa maksudnya.
"Kau begitu kaku. Apa ini pertama kalinya kau memasuki tempat seperti ini?"
Anastasya mendaratkan kembali gelas minumnya selepas menghabiskan separuh isinya.
"Benar Nona. Ini pertama kalinya Ana masuk dan menikmati makanan di tempat seperti ini," jawab Anastasya jujur.
Sarah mengangguk beberapa kali.
"Untuk tawaranku tempo hari, bagaima, Apa kau berminat?"
Anastasya terdiam sesaat. Ia masih ragu. Terlebih ia belum sempat membahasnya hingga tuntas pada sang pemilik kedai yang sudah memberinya tempat tinggal.
"Entahlah, saya masih ragu."
Perempuan dengan polesan make up tebal itu mengulas senyum tipis.
"Kenapa?"
"Seperti yang Nona lihat, tak ada kelebihan apa pun pada diri saya. Jika dipaksa, bisa jadi saya hanya akan menjadi bahan lelucon orang-orang." Anastasya mengungkap keraguan yang dipendam. Merasa tak masuk akal jika Sarah terus merong rongnya.
Sarah tergelak samar dan mengelengkan kepalanya.
"Apa maksudmu dengan menjadi bahan lelucon orang lain?." Sarah tak habis fikir. "Lihatlah apa yang ada didirimu. Kau cantik, kulitmu bagus dan postur tubuhmu yang proporsional dengan takaran yang pas."
Anastasya hanya terdiam.
"Jika masalah pendidikan, kau tenang saja. Apa kau hanya lulus SMP?"
Anastasya mengeleng dan berucap, " Tidak, saya lulusan SMA."
"Cukup bagus. Lagi pula, banyak para model yang pendidikannya sama sepertimu, jadi kau tak perlu mengkhawatirkan itu. Jadi bagaimana keputusanmu?"
Anastasya menarik nafas perlahan dan melepasnya pelan. Ia cukup bimbang untuk menimang keputusan.
"Di kota ini, saya tidak punya siapa pun selain Ibu Rina pemilik kedai yang sudah mau menampung dan memberi saya makan. Jadi maaf nona, saya menolaknya."
Ucapan tegas Anastasya, rupanya tak membuat Sarah menciut.
"Kalau kau mengkhawatirkan masalah tempat tinggal, tenang saja. Aku punya apartemen kosong yang bisa kau tempati tanpa harus membayarnya."
Anastasya melengos. Merasa tak senang dengan nada bicara Sarah yang terkesan memaksa. Sebenarnya apa perempuan itu lihat dari dirinya. Hingga bersikukuh dan tak menyerah untuk terus merayunya.
"Memang saya membutuhkan tempat tinggal, nona. Akan tetapi saya sadar dan tahu diri, di mana saya harus tetap hidup tanpa menjadi beban orang lain."
Raut wajah Sarah berubah masam.
"Baiklah, kau cukup keras kepala rupanya. Setelah ini, aku tak akan lagi memaksa. Tapi dengar ucapanku baik-baik." Sarah mempertegas ucapannya.
"Kau berasal dari kampung, aku yakin jika tujuanmu kekota adalah untuk mencari uang, bukan? Sebelum kau menolak penawaranku, setidaknya kau ingat kembali orang tua atau adik-adik yang menggantungkan hidupnya padamu. Jika menerima tawaranku, aku akan menjamin kehidupan yang layak padamu dan tentunya dengan keluargamu."
Jujur, Anastasya mulai tergiur. Tapi, atas dasar apa ia meyakini ucapan Sarah akan benar-benar terlaksana.
"Jika saya menerima, Apa nona akan menjamin kebenaran dari semua ucapan yang terlontar dari bibir nona?"
Sarah tersenyum simpul.
"Tentu saja. Meski kau sama sekali tak berpengalaman, tapi aku janji akan membimbingmu kedepannya."
Gadis cantik itu mengusap wajar. Masih bimbang untuk menentukan keputusan.
"Ijinkan saya untuk membicarakannya dulu dengan Bu Rina. Setelah saya yakin, baru saya akan menemui nona kembali."
"Baiklah, tak masalah. Tapi ingat, hidup di dunia tak ada yang gratis, nona," ucap Sarah seraya menyentuh ujung dagu Anastasya sebelum berlalu meninggalkan kafe dengan meninggalkan beberapa lembar rupiah di atas meja.
Anastasya hanya menghela nafas dalam sembari menatap punggung Sarah yang mulai menjauh.
Benar, semua butuh uang. Bukankah untuk uang aku bisa berada di kota ini sekarang.
Fikiran Anastasya melanglang buana. Langkah apa yang akan di ambil. Tak ingin gegabah, ia pun juga tak ingin egois dengan hanya memikirkan dirinya sendiri. Berlalu pergi, gadis polos nan bersahaja itu pun bangkit meninggalkan kafe tanpa lebih dulu menghabiskan makanan yang dipesan oleh Sarah. Meski perutnya teramat lapar, namun rasa itu seolah menguap seiring kepergian Sarah yang meninggalkannya dengan gurat kekecewaan.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Fitriyani
mungkinkah sarah di suruh rangga?? 🤔
atau sarah punya tujuan lain,
kita tunggu aja kelanjutannya gaess😊😁
2021-08-30
0