Sisa-sisa asap kebakaran masih terlihat. Beserta puing-puing bangunan yang menghitang memenuhi beberapa bangunan. Ya, pusat perbelanjaan itu hampir musnah dan tinggal kerangka. Lebih miris saat barang-barang yang diselamatkan tak seberapa. Bisa dipastikan seluruh karyawan pun akan kehilangan pekerjaan, mengingat kerugian yang ditaksir mencapai milyaran rupiah.
Mentari pagi masih tak terlihat saat tempat kejadian itu kembali menjadi pusat tontonan. Termasuk Anastasya, gadis itu berdiri sembari menatap nanar sisa bangunan dengan linangan air mata.
Ia masih tak menyangka jika pertemuan di jalan itu, merupakan pertemuan terakhirnya dengan Tiara. Dan kata-kata itu.
'Ana, selama tidak ada aku, berhati-hatilah. Dan jaga dirimu baik-baik.'
Bulir bening dari kedua netra gadis itu mengalir deras. Rupanya kata-kata yang terucap begitu saja dari mulut Tiara, adalah sebuah pertanda jika ia akan pergi untuk selamanya.
Ya ALLah.., Aku bahkan tak menyadarinya.
Anastasya hanya bisa menangis. Mengingat kenangan yang ia lalui bersama Tiara, membuat rasa bersalahnya begitu besar.
Ah, andai waktu bisa di putar. Pasti ia akan mencegah Tiara untuk bekerja pada malam itu, hingga gadis itu masih bisa hidup saat ini. Akan tetapi, yang terjadi biarlah terjadi. Semua memang sudah ditakdirkan dan digariskan.
Selepas malam kejadian itu, jenazah Tiara langsung diboyong kerumasakit. Tak ada kabar apa pun yang bisa Anastasya dengar lagi. Untuk bertemu terakhir kalinya pun sepertinya tak mungkin. Gadis itu tak tau pasti kerumasakit mana jenazah Tiara dibawa.
Bukan hanya pil pahit kepergian Tiara yang Anastasya dapat. Pak Seno selaku manager ditempat kerjanya meminta seluruh karyawan segera berkumpul. Dengan berat hati pria paruh baya itu mengumumkan jika semua karyawan terpaksa diberhentikan, mengingat keadaan pusat perbelanjaan yang memang terbakar hampir seutuhnya.
Seluruh karyawan hanya bisa berpasrah. Beruntung mereka masih mendapatkan gaji terakhir dan uang pesangon yang tak seberapa.
Anastasya mengengam amplop berwarna coklat berisikan gaji dan uang pesangon miliknya. Ia pun memasukkan benda tersebut kedalam tas pakaian miliknya.
Aku harus kemana lagi setelah ini.
Anastasya mulai melangkah meninggalkan rumah susun tanpa arah. Tak berapa lama, ia sempat bertemu dengan Bibi Arum yang sepertinya berwajah muram.
"Ana," ucap perempuan paruh baya itu.
"Bi Arum."
"Kau akan kemana?" Arum menatap penampilan dan juga tas pakaian yang dibawa Anastasya. Sepertinya, gadis itu hendak pergi jauh.
Anastasya menghela nafas dalam, disusul dengan gelengan kepala.
"Entahlah bi. Masih belum ada tujuan," jawab Anastasya berusaha tegar.
Arum mendekat, kemudian mengusap bahu Anastasya lembut.
"Maaf Ana. Bibi tidak bisa membantumu untuk saat ini. Sama seperti dirimu, Bibi pun juga berusaha mencari pekerjaan baru."
Gadis itu mengangguk, ia tertunduk dalam menatap jalanan.
"Baiklah Bi, Ana permisi. Ingin melanjutkan perjalanan kembali."
"Berhati-hatilah," pesan Arum pada gadis malang itu.
Keduanya pun berjalan berlawanan. Arum berbalik menuju rumah, sementara Anastasya melanjutkan kembali perjalanannya.
Teriknya mentara tak lagi dihiraukan gadis yang mengenakan kemeja motif garis-garis yang sudah pudar warnanya itu. Langkahnya mulai tertatih saat berkilo meter jalanan ia susuri dengan berjalan kaki.
Lembaran uang memang masih tersimpan di dalam tas pakaian, hanya saja ia sayang menggunakannya. Baginya, selama kakinya masih kuat melangkah, maka ia pun akan tetap berjalan.
Kini, lembaran uang yang dimiliki begitu berharga. Disaat ia tak memiliki tempat tinggal juga pekerjaan.
Sebuah pohon rindang dengan kursi dibawahnya, membuat gadis cantik itu menghentikan langkah. Semilir angin dan letihnya tubuh, memaksa Anastasya untuk beristirahat sejenak dan melepas lelah.
Huft
Anastasya mendaratkan tubuh dan juga tas pakaian di atas kursi kayu itu. Ia melirik sekilas kearah kantong tas, di mana sebotol air mineral tersimpan di sana.
"Masih ada," gumam Anastasya seraya meraih botol berwarna bening dengan air yang masih tersisa seperempat isi.
Glek...
Anastasya meminumnya dengan tiga kali tegukan.
"Alhamdulilah." Setidaknya mampu membasahi tenggorokannya yang mengering.
Dibuangnya botol tersebut kedalam tong sampah. Gadis itu mulai mendongak dan menyisir pandang kearah sekeliling.
Aku di mana.
Sudah cukup jauh ia berjalan. Berbeda dari tempak kerjanya semula, tempat ia duduk kali ini terbilang lebih ramai dengan dikelilingi gedung nan tinggi menjulang.
Terdapat butik, pusat perbelanjaan dan bahkan Mall yang berjarak cukup dekat. Anastasya menatap kagum. Ia memang berasal dari kampung, dan baru kali ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berdecak kagum.
"Apakah ini pusat kota, hingga terlihat seramai ini," gumam Anastasya seorang diri.
Setelah cukup lama memandangi sekitar dengan bola mata berbinar penuh kekaguman, gadis bersurai hitam legam itu lekas menepuk kedua pipinya cukup keras.
"Sadarlah Ana. Sudah cukup cuci matanya dan sekarang lanjutkan kembali hidupmu."
Gadis itu kembali menelan saliva. Beberapa teguk air mineral nyatanya masih tak sempurna menyiram tenggorokan yang kering kerontan. Ia masih merasa kehausan.
Menghela nafas berat, Anastasya memandang sekeliling. Berusaha mencari kios kecil atau semacamnya yang letak tak terlalu jauh dan cukup muda untuk dijangkau.
Lengkung tipisnya pun mengembang sempurna. Dari jarak cukup dekat ia bisa melihat warung makan kecil di pinggir jalan, yang pasti bisa menghilangkan rasa haus juga laparnya.
Digiringnya langkah kaki itu menuju kedai mungil namun tetap terlihat bersih itu. Dari luar Anastasya bisa melihat berbagai lauk dan sayur masak yang disimpan di dalam etalase.
"Permisi, bu," sapa Anastasya pada seseorang perempuan paruh baya yang diyakini sebagai pemilik kedai.
"Iya neng. Mau makan?" tanya perempuan paruh baya itu ramah.
Anastasya mendaratkan tubuhnya di kursi kosong, dan menaruh tas pakaiannya di lantai begitu saja.
"Iya bu."
Penjual itu pun bergerak cepat mengambil piring dan mengisinya dengan nasi.
"Mau pakai apa Neng?" Perempuan paruh baya itu berdiri di depan etalase. Memandang kearah Anastasya dengan menunjuk beberapa lauk yang tampak menggugah selera.
Gadis itu menelan saliva, cukup tergiur dengan pemandangan dihadapan yang membuat air liurnya serasa menetes. Bibirnya nyaris mengucap beberapa lauk yang diinginkan, akan tetapi sekelebat bayangan adik-adiknya di kampung yang kelaparan, membuatnya mengurungkan niat.
"Tahu, tempe, sama cah kangkung Bu," jawab Anastasnya.
Perempuan paruh baya itu pun tersenyum tipis. Membubuhkan beberapa lauk dan sayur yang diinginkan, dan memberikannya pada gadis cantik itu.
"Minumnya?"
"Teh hangat saja bu."
Lagi-lagi pemilik kedai itu tersenyum.
Anastasya mulai menikmati makanannya dengan lahap. Selepas menyajikan teh, pemilik kedai itu tak pergi dan memilih menarik sebuah kursi tak jauh dari Anastasya lantas mendudukinya.
"Kau dari mana?"
Anastasya mendongak, menatap kesekitar yang sepi dan tak ada orang lain selain dirinya dan pemilik kedai.
"Ibu bertanya pada saya?" Gadis itu menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, ibu bertanya padamu. Kau dari mana? Dan kau juga membawa banyak pakaian." Perempuan paruh baya itu melirik kearah tas pakaian yang tergeletak di lantai.
"Saya sedang mencari pekerjaan juga tempat tinggal Bu. Tapi saya masih bingung."
"Bingung kenapa?"
Gadis itu menghela nafas. Ia bingung hatus memulainya dari mana.
"Saya hanya lulusan SMA. Sedangkan banyak lowongan kerja yang memantok standar pekerjanya minimal lulus perguruan tinggi. Saya yang hanya lulusan SMA bisa apa bu." Getir. Itulah yang dirasakan Anastasya dengan hidupnya.
"Kamu baru datang dari desa?" tanya pemilik kedai itu lagi.
Gadis itu menggeleng.
"Dua bulan ini saya bekerja sebagaicleaning service di pusat perbelanjaan. Tetapi tempat itu terbakar tadi malam, dan mau tak mau kami harus kehilangan tempat tinggal."
Pemilik kedai itu menautkan sepasang alisnya. Sepertinya tengah mengingat sesuatu.
"Pusat perbelanjaan yang berada di jalan XX?" tanya pemilik kedai.
"Iya bu, benar."
"Ya Tuhan." Perempuan itu menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Wajah terlihat cemas dan menatap Anastasya iba.
"Ibu tau tentang kebakaran semalam?"
"Jelas ibu tau," jawab perempuan itu lirih. "Hampir semua pembeli di kedai membicarakan kebakaran besar yang memakan korban jiwa itu," papar perempuan berbadan tambun dengan berbalut jilbab instan di kepalanya itu.
"Hampir semua surat kabar juga memuatnya dalam berita utama. Kau lihat." Pemilik kedai menunjuk gedung tinggi menjulang yang tak jauh dari bangunan kecilnya. "Itu kantor gedung stasiun Tv. Sedangkan di sebelahnya, agensi model dan juga majalah ternama ibu kota. Ibu kerap mencuri dengar dari beberapa orang yang mengopi di kedai. Tak jarang mereka kerap membahas bahan pemberitaan yang ditulis di tempat ini."
Anastasya kesusahan menelan makanan yang sudah di dalam mulut. Bagaimana pun, kejadian itu cukup membuatnya trauma dan mengingatkan kembali pada Almarhum Tiara.
Pemilik kedai itu terperangah. Ia merasa tak nyaman saat tiba-tiba gadis di hadapannya itu tertunduk dengan netra berkaca-kaca.
"Ma-maaf. Rupanya ucapanku sudah membuatmu sedih." Ia pun mendekat dan mengusap bahu Anastasya lembut.
"Tak apa bu." Gadis itu tak lagi berselera menghabiskan makanannya. Rasa lapar teramat sangat beberapa waktu lalu, menghilang seketika bersama bayangan wajah Tiara yang terbujur kaku tak lagi bernyawa.
"Lalu setelah ini kau akan kemana?"
"Entahlah. Saya tak punya tempat tujuan." Terasa sesak. Bahkan untuk membaringkan tubuhnya yang lelah punya tempat.
"Ibu punya penawaran. Bagaimana kalau kamu bekerja di kedai ini. Ya walau pun gajinya tak terlalu besar, bahkan lebih kecil dari gajimu di pusat perbelanjaan yang terbakar itu. Bagaimana?" Pemilik kedai tersenyum tulus. Jika untuk menagani kedai seorang diri, dirinya tentu masih mampu. Akan tetapi, gadis yang berada dihadapannya ini seperti lebih membutuhkan pekerjaan dan ukuran tangan darinya.
Anastasya terkesiap, lantas mendongak menatap wajah pemilik kedai tersebut.
"Apa Ibu benar-benar sedang membutuhkan pekerja?" tanya Anastasya tak percaya.
"Ya. Aku menawarkannya padamu, Apa kamu mau?"
Spontan gadis cantik itu pun mengangguk.
"Iya bu. Tentu saya akan menerimanya dengan senang hati."
"Seperti kataku tadi. Aku tidak bisa memberi gaji besar. Kau lihatkan, kedaiku hanya kedai kecil dan tak memiliki banyak pembeli."
Benar saja. Sedari tadi mereka berbincang, tak nampak satu pelanggan pun yang singgah. Baik untuk makan, atau pun sekedar minum.
"Itu tak masalah bu. Asalkan Ibu memberi saya makan dan juga tempat untuk tidur." Setidaknya hanya itulah harapan Anastasya.
"Baik. Kau akan tinggal di kedai ini bersamaku. Untuk masalah perut, tenang saja. Pilih makanan apa pun yang kau suka dikedai ini. Aku tidak akan melarangmu."
Anastasya kini mampu bernafas lega. Ia sudah menemukan pekerjaan beserta tempat tinggal. Ya walau pun dengan bayaran minim, namun setidaknya ia masih bisa makan dan melanjutkan hidup, itu sudah lebih cukup dari apa pun
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Fitriyani
Bener" terharu 😭
2021-08-20
0
yesi yuniar
benar2 terharu thor... 😭😭😭
mungkin dari sini awal mula anastasya menjadi model
2021-08-20
0