"Kapan kau akan berangkat?" tanya Ali pada Anastasya yang tengah sibuk menata pakaian dalam sebuah tas ransel. Pria berusia tiga puluh lima tahun itu sendiri tengah berdiri diambang pintu kamar sang keponakan. Masih terlihat gurat kecemasan di wajahnya.
Gadis itu menoleh dan tersenyum kearah sang paman.
"Besok pagi paman."
"Secepat itu?" Ali kian merasa cemas.
"Iya, paman. Besok pagi paman Rini akan kembali kekota, dan aku akan ikut bersamanya. Lagi pula jika aku berangkat sendiri, takut bila tersesat."
Terdengar Ali menghela nafas dalam.
"Ana," panggil Ali terdengar lirih.
"Iya paman."
"Apa kau sudah yakin dengan keputusanmu?" tiba-tiba, Ali merasa ragu dengan izin yang sempat ia berikan pada Anastasya. Hidup seorang diri di kota, membuatnya teramat khawatir. Terlebih jika keponakannya itu masih gadis dan berwajah rupawan.
Anastasya menghentikan aktifitasnya, bangkit kemudian mendekat kearah Ali yang masih berdiri di ambang pintu. Gadis itu tau akan kegundahan yang tengah dirasakan sang paman. Akan tetapi, mau seperti apa lagi. Hanya dengan bekerjalah ia bisa meraih harapan yang selama ini diimpikan. Menghasilkan pundi-pundi rupiah, dan membantu perekonomian keluarga sang paman agar lebih baik.
Anastasya mengusap kedua bahu Ali lembut.
"Ana yakin paman. Ana tidak pernah seyakin ini."
"Tapi, Ana..," ucap Ali menggantung.
"Paman jangan khawatir, Ana pasti akan menjaga diri dengan baik."
Ali menatap hampa sang keponakan. Hingga ia pun mengingat satu hal.
"Ana, tunggu sebentar." Ali bergegas menuju kamarnya, dan beberapa lama ia muncul kembali dengan sebuah amplop tergengam di tangan.
"Ana, ambillah." Ali mengulurkan tanggan, kemudian memberikan amplop tersebut pada Anastasya. "Paman masih menyimpan sisa uang hasil penjualan rumah dan tanah milikmu. Bawa itu sebagai bekal hidupmu selama di kota."
Anastasya menautkan alis. Ia menatap amplob cukup tebal itu dan membukanya.
Uang.
"Paman, kenapa uang ini masih ada. Bukankah tanah itu sudah terjual sangat lama?" Anastasya bahkan tak mengira jika uang itu masih tersisa.
"Benar Ana. Tetapi selama ini paman selalu menyimpannya dan hanya digunakan untuk membiayai sekolahmu."
Ana benar-benar tersentuh. Ia pun berhambur memeluk Ali dan menangis di bahunya. Vukup lama keduanya mengurai dekapan. Anastasya membuka kembali amplop berwarna putih itu, dan menarik separuh lembaran uang di dalamnya.
"Ini terlalu banyak, yang separuh sebaiknya untuk paman dan bibi saja."
Ali voba menolak dengan menepis tangan Anastasya.
"Tidak Ana. Ini uangmu, paman tidak membutuhkannya," tolak Ali.
Paman, dalam keadaan tak punya apa pun kau masih mengatakan jika tak membutuhkannya.
Tetapi gadis itu tak ingin mendengar penolakan. Ia lekas menyelipkan uang tersebut kedalam kantung pakaia lelaki itu dan menolak saat ingin dikembalikannya lagi.
*****
Tangis menangis pun tak terhindar lagi. Pelukan dan ciuman bertubi-tubi di daratkan Ayu pada keponakan terkasih. Begitu pun dengan Ali. Keempat bocah kecil itu pun juga terlihat menangis, seakan tak ingin jika Anastasya terpisah jauh dengan mereka. Meski berat, Anastasya mulai melangkah dan bersiap meninggalkan rumah dan keluarga tercinta.
Gadis itu pergi bersama paman Rini dengan menggunakan mobil. Cukup lama mereka menempuh perjalanan hingga sampai kota.
"Nanti kau akan bertemu dengan seseorang. Dia temanku dan salah satu senior di tempatmu kelak bekerja," ucap pria paruh baya yang tengah sibuk memutar kemudi. Sementara Anastasya duduk di sampingnya.
Gadis itu pun mengangguk.
"Iya paman."
Kendaraan pun menepi disebuah ruko kosong. Tampak seorang perempuan paruh baya yang sepertinya tengah menunggu seseorang.
"Hai," sapa Paman Rini pada perempuan paruh baya itu selepas menuruni kuda besi miliknya. Anastasya pun mengikuti, membuka pintu dan berdiri di belakang tubuh pria tersebut.
Perempuan paruh baya itu pun mengangguk, lantas mengulum sebuah senyuman manis.
"Apakah gadis ini orangnya, pak?" tanya perempuan paruh baya itu pada paman Rini.
Pria itu pun mengangguk, lantas mendorong tubuh Anastasya yang berdiri di belakangnya untuk maju beberapa langkah, mensejajarinya.
"Benar, bu. Gadis inilah yang akan bekerja pada anda. Namanya Anastasya."
Perempuan paruh baya itu pun mengulurkan tangan, kemudian di sambut oleh Anastasya.
"Saya Ana Bu."
"Jangan panggil ibu, panggil saja bibi. Saya Bibi Arum." Keduanya pun saling melempar senyum.
"Ana, paman permisi dulu. Jaga dirimu baik-baik. Maaf, selepas ini mungkin paman tidak bisa lagi menemuimu."
Gadis itu mengangguk samar, faham jika pria paruh baya itu hanya bertugas untuk mengantarnya saja.
"Ana mengerti paman."
Tak berselang lama, pria paruh baya itu pun pamit meninggalkan Anastasya dan juga Arum. Untuk sejenak gadis itu terdiam, menatap kendaraan paman Rini yang mulai menghilang diperempatan jalan.
"Ana, mari ikut bibi," ajak Arum pada Anastasya. Dengan berjalan kaki perempuan paruh baya itu membawa Anastasya menuju sebuah bangunan yang berjarak lima puluh meter dari jalan raya.
"Nah Ana. Ditempat kerja kita memberikan fasilitas rumah susun ini sebagai tempat tinggal. Memang tidak mewah, tetapi setidaknya bisa menjadi tempat berteduh untuk perantauan seperti kita." Arum menunjukan sebuah rumah susun yang tak jauh dari hadapan.
"Jadi Bibi Arum ini orang perantauan juga?" tanya Anastasya setengah tak percaya.
"Iya Ana. Sama sepertimu."
Mereka mulai memasuki bangunan berlantai tiga itu. Arum membimbing langkah, sedangkan Anastasya mengekor di belakang dengan membawa tas miliknya yang hanya berisikan pakaian lusuh.
Arum berhenti disebuah ruangan yang pintunya masih tertutup rapat. Ia lantas merogah sesuatu di dalam kantung pakaian dan mencari sesuatu di dalamnya. Terlihat jika Arum menemukan sevuah kunci, lantas membuka pintu bercat coklat itu segera.
"Ana, di sinilah kamarmu. Jangan takut, semua penghuni rusun ini adalah kaum perempuan dan juga karyawan ditempat kau akan bekerja. Beristirahatlah, dan besok pagi kau baru akan mulai bekerja." Arum menjelaskan pada Anastasya.
"Terimakasih bi."
"Jika lapar, kau bisa mencari penjual makanan di daerah sini. Dan jika butuh bantuan apa pun, kau bisa meminta tolong pada temanmu yang lain."
Anastasya mengangguk sebagai jawaban.
"Baiklah, bibi pulang dulu." Arum sudah hendak membalikan badan saat Antasya memanggilnya.
"Apa bibi tidak tinggal di tempat ini juga?"
Arum tersenyum tipis. "Tidak Ana, bibi punya rumah sendiri. Besok bibi akan menunjukannya padamu. Sekarang istirahatlah dan bibi akan pulang."
Anastasya pun melepaskan kepergiaan Arum. Ia menarik tas ransel miliknya memasuki kamar. Ada perasaan hangat dan nyaman kala memasuki kamar berukuran 4x4 tersebut. Meski hanya tersedia kasur lipat dan lemari pakaian, namun ruangan itu cukup bersih dan tak pengap.
Anastasya merebahkan tubuhnya diatas kasur. Ia merasa cukup lelah selepas beberapa jam menempuh perjalanan dari desa sampai kekota. Hingga ia memutuskan untuk lebih dulu beristirahat sebelum membersihkan diri.
Tuhan, terimakasih. Kau memberiku tempat berlindung yang layak dan nyaman untuk ditempati. Alhamdulilah
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Fitriyani
semangat Anastasya
2021-08-13
0