Kejadian tempo hari sungguh membuat fikiran Anastasya tak tenang. Keluarganya terancam hidup kelaparan, lalu apakah ia akan memilih diam saja? Entahlah.
Di sekolah pun Anastasya lebih banyak diam, dan menjauh dari teman-temannya. Hanya tinggal menunggu beberapa hari lagi, saat kelulusan diumumkan. Dan itu justru membuat Anastasya diliputi kegalauan.
Anastasya kini memilih duduk di area taman sekolah seorang diri. Entah apa yang sedang gadis itu fikirkan, hingga hal tersebut tak luput dari pandangan kedua gadis yang berada tak jauh darinya.
Rini dan Nina. Kedua gafis yang merupakan sahabat dari Anastasya itu berjalan mendekat. Menghampiri, kemudian duduk diantara gadis tersebut.
"Ana, kau sedang apa? Kenapa akhir-akhir ini kau terkesan menjauhi kami?" Rini mengusah bahu Anastasya lembut. Serta menatap sahabatnya itu lekat.
"Iya, Ana. Ada apa? Ceritakan pada kami." Nina menambahkan.
Anastasya berfikir sejenak sebelum berucap. Ini masalah fatal dalam keluarganya. Di mana menyangkut harga diri sang paman sebagai kepala keluarga, jika diceritakan.
"Em, tidak. Aku hanya sedang memikirkan tentang pekerjaan yang pas setelah kita lulus nanti. Apakah berjualan di pasar, atau buruh penanam padi seperti bibi."
Mendengar jawaban Anaatasya kedua gadis itu pun terdiam. Akan tetapi, beberapa detik kemudian Rini justru terbahak.
"Ya tuhan Ana, yang benar saja kau ingin menjadi buruh penanam padi seperti bibimu. Kau ini masih muda, cantik pula. Apa kau yakin untuk bermain lumpur setiap hari. Kalau aku sih jijik." Rini tampak bergidik ngeri hanya dengan membayangkannya saja. Maklumlah, diantara ketiganya, Rinilah yang paling berada. Ayahnya menjabat sebagai kepala desa, sedangkan ibunya hanya menjadi ibu rumah tangga biasa yang tak harus banting tulang seperti ibu-ibu lain di desanya.
Berbeda dari Rini, Nina justru memberikan pandangan yang berbeda.
"Rini, apa maksudmu. Kita memang hidup di kampung dan sudah terbiasa dengan lumpur. Jadi, bukankan tidak ada yang salah dari semua ucapan Ana. Toh kelak kita pun akan menjadi petani sama seperti orang tua kita. Kalau kamu jijik sih wajar, orang tuamu kan Kaya, dan pasti masa depanmu akan lebih baik dari kami."
Rini hanya bisa tersenyum kecut. Ia tak bisa membalas ucapan sahabanyatnya. Lagi pula, memang begitulah adanya.
"Sudahlah, tidak perlu berdebat, lagi pula itu hanya rancangan masa depanku saja. Ingat, masih rancangan," ucap Anastasya penuh penekanan.
"Apa kalian tak punya keinginan untuk bekerja di kota?" Rini melempar tanya kearah dua sahabatnya.
Anastasya dan Nina hanya saling melempar pandang, namun tak menjawab.
"Pamanku bekerja di kota, seminggu sekali ia pasti pulang kekampung. Dia sering sekali membawa orang-orang kampung untuk dipekerjakan di kota. Nah, andaikan ada lowongan pekerjaan bagus dengan gaji lumayan besar, apa kalian berminat?" tawar Rini pada kedua sahabatnya.
Terdengar jika Nina menghela nafas dalam.
"Jika kami berminat pun, tidak mungkin orang tua kami akan memberi izin."
Nina memang tak seberuntung Rini. Hidupnya juga memprihatikan seperti Anastasya.
"Ah, itu si terserah kalian. Aku hanya menawarkan saja. Lagi pula tidak ada salahnya kan jika bekerja di kota. Ya, hitung-hitung cuci mata, plus dapat duit." Rini bahkan tergelak selepas berucap.
Sementara itu, Anastasya dan Nina hanya terdiam tak memberi respon. Akan tetapi, dilubuk hati terdalam mereka rupanya menginginkan hal serupa. Bekerja dikota, menghasilkan pundi-pundi rupiah demi merubah hidup keluarga menjadi lebih baik.
*****
Rupanya apa yang difikirkan Ali terbukti kebenarannya. Seluruh padinya gagal panen terserang hama. Benar-benar tak ada yang tersisa hingga membuat pria itu nyaris putus asa.
Anastasya berlari memasuki rumah dengan senyum terpancar di wajah cantiknya. Ia tampak menggengam lembaran kertas di tangan yang terbungkus oleh map.
"Paman, Bibi, adik-adik," panggil Anastasya setengah berteriak.
Sunyi, tak ada jawaban.
Gadis itu pun menyibak pandang, dan mencari kesegala penjuru ruangan, akan tetapi tak ada siapa pun yang terlihat. Anastasya kini melangkah kearah dapur, dan lamat-lamat ia mendengar suara dan juga tangisan. Ia pun lebih mendekan guna memastikan.
"Ibu, kami lapar."
"Sabar nak, tunggu sebentar ya."
Suara itulah yang ditangkap oleh Anastasya. Dan tak berselang lama terdengar tangis bocah yang kian menambah perih batinnya.
Mereka pastilah keempat anak sang paman yang merengek meminta makan. Map yang berisikan lembaran ijaza yang ia gengam pun terjatuh kelantai.
Ya tuhan, tidak mungkin selamanya aku hanya diam.
******
Anastasya mengayuh sepedanya menuju rumah Rini. Sejujurnya ia ragu, namun ucapan Rini tempo hari cukup membuatnya tergiur. Terlebih Ali pun masih belum mengetahui tentang keinginannya tersebut.
Suasana rumah paling mewah di kampungnya itu cukup ramai. Rupanya beberapa keluarga Rini tampak tengah berkumpul. Rini yang menyadari kehadiran sang sahabat pun menyambut dan mempersilahkannya untuk duduk di teras rumah, berpisah dengan keluarga Rini lainnya.
"Ana, tumben sekali kau datang. Apa ada sesuatu yang kau butuhkan?"
Anastasya mengangguk samar.
"I-itu, tawaranmu yang tempo hari apakah masih berlaku?"
Rini mengernyitkan dahi, dia nampak bingung.
"Tawaran? Tawaran yang mana ya?"
Anastasya menghela nafas dalam. Rupanya Rini sudah lupa.
"Itu, pekerjaan di kota," jawab Anastasya ragu-ragu.
Rini tampak tersenyum tipis.
"O, itu. Apa kau berminat? Kebetulan paman baru saja kembali dari kota, dan dia bilang sedang mencari beberapa orang untuk dipekerjakan disebuah pusat perbelanjaan sebagai cleaning service. Apa kau berminat?"
Tanpa berfikir lama, Anastasya pun meng-iyakan. Rini bergegas memanggil sang paman, dan terciptalah obrolan panjang lebar Antara Anastasya dan pria paruh baya itu.
******
Langkah Anastasya cukup berat saat menjejaki halaman rumah. Ada sejejak keraguan di sana. Pembicaraan panjang lebar dengan paman Rini, sudah menemui kesepakatan. Di mana Ia sudah bersedia untuk bekerja di kota sebagai tenaga pembersih dengan gaji yang cukup besar. Akan tetapi, bagaimana dengan sang paman. Apakah pria itu akan mebgizinkan atau menolaknya mentah-mentah.
"Ana, kau dari mana saja, nak," tanya Ali yang rupanya tengah duduk di kursi ruang tamu.
Gadis itu terkesiap. Tak menyangka jika sang paman berada tak jauh darinya.
"Em, Ana baru saja mengunjungi Rini di rumahnya paman." Berkata jujur, saat tak lagi ada alasan untuk berbohong.
Terlihat jika Ali mengerutkan dahinya dengan pandangan menelisik kearah sang keponakan.
"Tidak biasanya kau berkunjung kerumah teman kayamu itu, Ana. Apa jangan-jangan, ada hal penting yang kau sembunyikan dari paman?"
Anastasya hanya menelan salivanya berat. Tak mengira jika pamannya akan curiga secepat ini. Ia memang sangat jarang untuk menemui Rini di rumahnya, selain enggan Anastasya juga cukup sadar akan siapa dirinya.
Gadis itu pun tertunduk dan mulai meremas kedua tangan yang saling bertautan.
"Paman, aku ingin bekerja di kota. Apakah paman mengijinkan?" Masih tertunduk, gadis itu bahkan tak berani hanya untuk sekedar mengangkat kepala.
"Ana, apa maksudmu?"
Anastasya coba menjelaskan semuanya pada Paman, meski takut-takut. Seluruhnya, mulai dari pertemuan dengan paman Rini hingga terbentuklah sebuah kesepakatan.
"Tidak Ana. Paman tidak akan mengizinkan," tegas Ali.
Gadis itu terdiam. Ia bisa menebak jika sang paman memang tak akan mengizinkan.
"Tapi paman, Ana mohon."
"Tidak Ana. Seperti janjiku yang akan terus menjagamu. Begitu pulalah dengan keinginanku untuk membuat kita tetap bersama. Kita memang hidup berkekurangan Ana, tetapi setidaknya dengan tetap berada di rumah ini, paman masih bisa untuk tetap menjaga dan melindungimu."
Ayu yang mendengar adanya perdebatan, tiba-tiba muncul dari arah dapur.
"Mas, Ana, ada apa ini?" Ayu menatap bingung kearah suami dan keponakannya.
Ali menghela nafas dalam.
"Ana meminta izin untuk bekerja di kota."
Ayu terkesiap, kini pandangannya tertuju pada Anastasya yang masih menunduk.
"Ana, benarkah itu?"
Gadis itu pun mengangguk.
"Benar Bibi."
Gurat kecemasan tergambar di wajah lelah Ayu. Seperti hal sang suami yang tak pernah mau hidup merantau, bisa dipastikan jika Ali pun tak akan mengizinkan kepergian keponakannya itu.
Ayu pun tak mampu berkata-kata.
"Kita akan tetap hidup bersama dikampung, walau sesulit apa pun keadaannya. Jadi lupakanlah keinginanmu untuk bisa bekerja di kota, Ana." Ali berucap penuh ketegasan, meski ia sendiri sadar akan keterbatasan yang tak mampu membahagiakan sang keponakan layaknya gadis seusianya.
Anastasya yang sudah terisak itu mendongak. Dan menubruk sang paman kemudian bersimpuh di kakinya.
"Paman, Ana mohon. Izinkanlah Ana untuk bekerja." Terisak pilu, Anastasya merengkuh kedua kaki sang paman erat. Berharap jika pria pengganti sang Ayah itu akan luluh.
Ayu dan Ali tersentak. Ini kali pertama Anastasya meminta selama bertahun-tahun hidup bersama. Gadis polos dan pendiam itu memang tak memiliki banyak keinginan. Hingga sepasang suami istri itu pun dilema dan dibuat tak berdaya.
Ali membawa tangannya untuk mengusap puncak kepala Anastasya dengan sayang. Melihat gadis yatim piatu itu menangis, sunghuh membuat hatinya teriris.
Kini pandangan Ali tertuju pada Ayu yang juga hanya diam. Ia pun tak mampu berkata, seolah lidahnya terasa kelu.
"Tolong izinkan Ana paman."
Ali tersentak. Ia mendorong tubuh sang keponakan lembut untuk menjangkau wajahnya. Terlihat jelas bulir bening yang sudah membasahi wajah ayu gadis tersebut, dan itu membuat Ali tak tega.
"Baiklah, Ana. Paman akan mengizinkan."
Ali mengusap sisa air kesedihan di pipi Anastasya. Tangis gadis itu mulai mereda, hanya menyisakan isak lirih yang nyaris tak tetdengar.
"Benarkah paman?"
Ali pun mengangguk.
"Tetapi, paman hanya meminta agar kau bisa menjaga dirimu sendiri, saat tak ada kami bersamamu."
Anastasya kembali terisak. Begitu pun dengan Ayu dan Ali.
"Kami memang sudah diamanat untuk menjagamu, tetapi kami pun tak mampu menahan disaat kau berusaha mencari kebahagiaanmu sendiri, Ana. Maaf jika selama ini paman dan bibi tak bisa menjaga dan menghidupimu dengan layak."
Anastasya kian terisak. Ia memeluk tubuh kurus Ali dengan deraian air mata. Ayu pun melakukan hal sama, Ia pun ikut berbaur dan menangis disana. Hingga tangis menangis itu pun tak lagi terhindar.
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Nartyana Gunawan
jadi terharu aq kak
2021-09-07
0
Fitriyani
lanjut kak
2021-08-11
0