Asmara Anastasya
"Ibu, Ayah, aku ingin ikut kalian. Kenapa kalian tega meninggalkanku." Tangis pilu gadis kecil berusia sepuluh tahun itu, menyisakan sesak di dada bagi siapa pun yang melihatnya.
Anastasya meraung dan sesekali menggaruk kedua gundukan tanah merah bernisankan nama kedua orang tuanya.
"Kenapa ibu dan ayah tega meninggalkanku. Apa aku nakal, dan tidak penurut hingga ayah dan ibu memilih pergi tak membawaku."
Gadis itu kini menatap kearah Ayu, bibinya.
"Bibi, ayo katakan pada Ibu jika aku akan berubah menjadi anak yang baik." rengek Anastasya menarik ujung lengan pakaian Ayu cukup keras. Tetapi sang bibi hanya diam, dengan menahan tangis.
Gadis itu pun kini berpindah pada sang paman.
"Ayo paman, katakan pada Ayah jika aku akan berubah menjadi anak yang penurut. Ayo katakan paman." Setengah berteriak, Anastasya nyaris frustrasi dan menjambak surainya sebab sang paman pun tak menjawab ucapnya barang sekata pun. Semua pelayat hanya diam. Yang ada hanyalah isak tangis beserta rintik hujan yang mengiring pemakaman kedua orang tua Anastasya.
"Kenapa paman dan bibi hanya diam? Kenapa kalian tidak bisa membujuk ayah dan ibuku untuk bangun lagi?" Anastasya kembali meraung, dia memukul dada sang paman dan menangis di sana. Hati pria itu pun serasa hancur.
Sebenarnya Anastasya sudah cukup tau dengan apa yang sudah terjadi. Hanya saja, fikirnya seolah menolak dan enggan menerima kematian kedua orang tuanya.
Ali mendekap tubuh sang keponakan erat. Membiarkan gadis kecil itu menumpahkan rasa sesak. Satu persatu pelayat memilih undur diri. Hingga menyisakan mereka bertiga yang masih bergelung akan rasa duka.
Ali sendiri tak menyangka jika angkot yang membawa kedua kakaknya itu harus mengalami kecelakaan yang memakan korban jiwa. Dan parahnya, kedua kakaknya turut menjadi korban dalam kejadiaan naas tersebut.
Semua tak mampu dicegah. Sama halnya dengan takdir yang tak mampu diubah. Semua sudah atas izin sang maha kuasa. Tanpa mampu ditolak.
Ali mengendurkan dekapan. Ia menarik lembut tubuh Anastasya, guna menjangkau wajah sembabnya.
"Ana, ayo kita pulang," ajak sang paman. "Kau terlihat sangat lelah," sambungnya pria lagi.
Ayu pun mendekat kearah suami dan keponakannya. Mereka masih pasangan pengantin baru yang baru saja menikah beberapa bulan lalu.
"Ayo ana. Kita pulang yuk. Lihat, pakaianmu basah. Kau bisa sakit nanti," bujuk Ayu.
Masih terisak, Anastasya menatap dirinya sendiri. Gamis berwarna putih dengan jilbab warna senada itu terlihat kotor dipenuhi tanah merah yang bercampur dengan air hujan. Tubuhnya pun terasa dingin dan mulai menggigil. Akan tetapi ia menatap kembali kearah makam kedua orang tuanya. Rasanya begitu berat untuk pergi.
"Bibi akan mengantarmu jika besok kau ingin datang kemari." Seolah tau apa yang ada dibenak sang keponakan, lagi-lagi Ayu harus pintar mengolah kata, dan berusaha agar tak menyakiti hati gadis kecil itu.
Ucapan sang bibi, layaknya obat penenang. Anastasya pun mengangguk, kemudian menggandeng tangan sepasang suami istri itu untuk beranjak pergi.
*****
Menatap seluruh ruangan rumah, Anastasya kecil kembali meraung seakan kehilangan akal. Semua sudut rumah seperti mengingatkannya pada kedua orang tua yang sudah tiada.
Ali dan Ayu kembali dibuat kelabakan. Dalam hati kedua insan itu pun ingin jua ikut menjerit. Bukan hanya Anastasya yang kehilangan sosok orang tua, tetapi mereka pun juga kehilangan sosok Kakak sebagai satu-satunya sanak saudara.
Ayu kembali merengkuh tubuh kurus Anastasya dalam pelukan. Membiarkan sang keponakan menangis sepuasnya tanpa berniat mencegah. Ayu tahu benar seperti apa rasanya kehilangan. Terlebih diusia Anastasya yang sangat muda dan masih membutuhkan kasih sayang orang tuanya.
Selepas lelah menangis, rupanya gadis kecil itu terlelap dalam pelukan sang bibi. Ali pun membopong tubuh kurus Anastasya dan memindahkannya keranjang dengan hati-hati.
Dari ambang pintu Ali dan Ayu menatap Anastasya yang terlelap dengan perasaan campur aduk. Kedua orang tua Anastasya sudah tiada, dan artinya merekalah yang akan menggantikan seluruh peran juga tanggung jawab.
Ali menarik lembut tangan sang istri untuk sama-sama duduk di kursi ruang tamu. Keduanya tampak menghela nafas dalam.
"Dek, kau tau jika Kakakku sudah meninggal, dan Anastasya sudah kehilangan kedua orang tuanya."
Ayu pun mengangguk, mendengar ucapan sang suami.
"Apa kau akan menolak jika menganggap dan membesarkan Anastasya seperti anak kandungku sendiri." Ali menatap lekat kearah wajah teduh sang istri. Ia sejujurnya takut, jika wanita itu menolak keinginannya.
Setelah terdiam sesaat, Ayu pun tersenyum tipis lantas mengangguk.
"Aku tidak menolak, mas. Lagi pula, kita adalah keluarga satu-satunya yang Ana miliki."
Ali tersenyum haru, ia menatap kearah gadis yang baru beberapa bulan ini ia nikahi. Bukan hanya wajahnya yang cantik, tetapi juga hatinya.
"Apa kamu benar-benar tak menolak dek, dan akan menganggap Ana seperti anak kita?" tanya Ali meyakinkan.
Ayu pun mengangguk tanpa ragu.
"Iya, benar." Tiba-tiba, Ayu menyentuh perut ratanya. "Dan supaya Ana, bisa menjadi Kakak anak kita nanti," sambung Ayu diselingi senyum tipis.
Ali yang mendengar jawaban sang istri dan juga gerakan tangannya mengusap perut, tak elak membuat hatinya bertanya-tanya.
"Dek, apa maksudmu?"
Ayu tersenyum lebar, hingga menampakkan jajar gigi putih rapinya.
"Aku hamil mas," jawab Ayu dengan wajah berbinar.
Ali terkesiap, hingga beberapa saat senyum haru pun terulas di bibirnya.
"Apa benar itu dek?" Ali menggengam tangan sang istri erat, begitu pun pandangan keduanya yang terkunci.
Lagi, Ayu mengangguk tanpa ragu.
"Iya mas, dan sekarang usianya masih empat minggu."
Mendengar ucapan sang istri, Ali pun mendekap tubuh Ayu tanpa mengucap sepatah kata. Meski dirundung duka, ternyata tuhan juga memberinya kebahagiaan.
Cukup lama sepasang suami istri itu saling mendekap, meluapkan rasa bahagia. Hingga Ali mengingat satu hal, yang membuatnya mengurai dekapan. Wajah pria itu berubah murah, seolah ada fikiran yang mengganjal.
"Mas, ada apa?"
Ali menghela nafas dalam, namun tak merubah raut wajahnya yang masih terlihat muram.
"Dek, selama ini kita masih tinggal mengontrak. Dan Ana masih memiliki rumah ini dari peninggalan kedua orang tuanya. Lalu seperti apa kehidupan kita kedepannya, dek. Apa Ana mau untuk tinggal bersama kita di kontrakan?" Ali nampak ragu.
Begitu pun dengan Ayu, gadis itu menggeleng samar. Tak tahu jalan keluarnya.
"Paman, bibi, bagaimana kalau rumah ini dijual saja."
Suara yang timbul dari arah belakang, membuat pasangan itu terkesiap dan lekas berbalim badan.
Tubuh keduanya menegang saat nampak gadis kecil yang tengah berdiri di ambang pintu kamar dengan penampilan awut-awutan.
Ya tuhan, Ana. Apa sudah sejak lama dia berdiri di tempat itu dan mendengar pembicaraan kami?
Bersambung...
Hai.. Hai..
Ketemu lagi sama otor remahan renginang di sini😆😆😆
Jika ada yang minta buat banyakin partnya Anastasya, Nah disini Raisha bakalan nulis novel yang khusus memuat kehiduan Anastasya dari kecil dan insyaallah sampe jadi emak.
Ga bisa menjanjikan banyak hal. Dan mungkin di novel ini akan slow update, atau ga janjiin buat bisa up tiap hari.
Terimakasih😍😍
Semoga suka, dan jangan lupa tinggalin jejak dan dukungannya biar otor semangat update😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Zainab ddi
ceritanya menarik
2022-10-05
0
Fitriyani
semangat kak raisha
2021-08-07
0
Putri bayan
senangaddd thorrr
2021-08-07
0