BENNEDIC RAINER

"Permintaan terakhir Brian adalah dia ingin memberikan kornea matanya untukmu, Ayunda!" Ucap Bunda Laksmi seraya menyeka airmata yang sejak tadi terus brderai di kedua pipinya.

"Tolong terimalah, dan jangan menolak permintaan Brian yang terakhir ini. Brian sangat mencintaimu, Ayunda!" imbuh Bunda Laksmi lagi kembali sesenggukan.

Bunda Laksmi dan ayah Yuda yang merupakan orangtua dari Brian sudah seperti orangtua bagi ayunda sejak kepergian Mama Flo dan Papa Ken.

Ayunda segera memeluk kedua orang tua Brian tersebut dan ikut menangis sesenggukan.

Dan sejak hari itu, Ayunda kembali bisa melihat indahnya dunia berkat kornea mata pemberian dari Brian.

Jadi bagaimana Ayunda bisa dengan mudah melupakan mendiang calon suaminya itu, jika ada hal berharga yang Brian tinggalkan dan melekat dalam tubuh Ayunda hingga kini?

"Ay!" Tegur Opa Ronny seraya menepuk pundak cucunya tersebut.

"Eh, iya, Pa!" Ayunda sontak tergagap karena kaget.

"Sudah dibilang jangan melamun pagi-pagi, kenapa melamun terus?"

"Siapa yang melamun, Pa! Ayunda sedang mikir nanti sore mau masak apa untuk makan malamnya anak-anak," kilah Ayunda yang sudah selesai memotong-motong kacang panjang dan kini gadis itu lanjut mencucinya di bawah air mengalir.

"Masih jam lima pagi. Sudah mikir soal makan malam saja," kekeh Opa Ronny yang juga sudah selesai mengupas bawang.

"Ya, biar nanti bisa langsung belanja sekalian, Pa!" Jawab Ayunda memberikan alasan.

Ayunda sudah mulai menyalakan kompor dan memasak untuk sarapan. Sementara Opa Ronny sudah meninggalkan dapur dan memeriksa anak-anak panti yang biasanya sudah mulai bangun.

****

Kediaman Rainer

Jam baru menunjukkan pukul tujuh pagi saat Ben yang sudah rapi menuruni tangga seraya bersiul gembira.

"Ben, mau kemana? Kok sudah rapi pagi-pagi?" Tanya Mama Airin heran.

Tidak biasanya anak laki-lakinya ini bangun pagi. Apalagi Ben yang sekarang pekerjaannya mengurus Rainer's Resto selalu santai dan berangkat agak siang ke resto.

"Mau ada keperluan sebentar, Ma!" Jawab Ben yang sudah menghampiri Mama Airin dan merangkul mamanya tersebut dengan mesra.

"Ben!" Tegur Papa Theo yang sepertinya cemburu melihat Ben merangkul mesra Mama Airin.

Tapi bukan Ben namanya jika langsung mempan ditegur oleh Papa Theo.

Ben malah srmakin mengeratkan dekapannya pada Mama Airin dan menyandarkan kepalanya di pundak mama kandungnya tersebut.

"Lepaskan Mamamu! Kau mau membuatnya sesak nafas?" Dengkus Papa Theo seraya memisahkan Ben dari Mama Airin. Anak laki-laki Papa Theo itu kuat juga merangkul Mama Airin.

"Papa lebay!" Ben ganti mencium pipi Mama Airin.

"Bennedic!" Gertak Papa Theo dengan suara yang sudah naik tujuh oktaf.

"Jangan berlebihan, Mas!" Mama Airin memegang lengan Papa Theo dan berusaha meredam emosi sang suami.

"Cari pacar sana! Atau istri sekalian, biar bisa kamu peluk-peluk atau kamu cium-cium!" Perintah Papa Theo pada Ben dengan nada bersungut-sungut.

"Oh, iya! Untung Papa ngingetin. Ben baru mau pedekate ini," jawab Ben seraya merapikan kausnya.

"Pedekate sama siapa?" Tanya Mama Airin menyelidik.

"Ada deh, Ma! Nanti kalau dianya sudah mau sama Ben, langsung Ben ajak ke rumah. Ben kenalin sama Mama!" Janji Ben yang kembali mendekap Mama Airin.

"Papa nggak dikenalin?" Tanya Papa Theo yang harus kembali melepaskan Ben yang kembali bergelayut di leher Mama Airin.

Meskipun Ben adalah anaknya, tapi Papa Theo tetap saja cemburu setiap kali putranya ini bergelayut pada sang istri. Apalagi Ben yang sekarang sudah tumbuh menjadi seorang pria dewasa dan bukan lagi bocah lima tahun, membuat papa Theo seakan memiliki saingan baru.

"Udah kenal juga. Ngapain harus dikenalin la-" Ben cepat-cepat menutup bibirnya dengan telapak tangan.

Papa Theo mengerutkan kedua alisnya penuh curiga serta tanda tanya.

"Apa ini ada hubungannya dengan kau yang sering berkunjung ke Halley Development belakangan ini?" Tanya Papa Theo menyelidik penuh curiga.

"Apa Abang Liam melapor pada Papa?"

"Ck! Ember sekali!" Gumam Ben menggerutu sendiri.

"Kau ngapain ke Halley Development? Bukankah tempat kerjamu di Rainer's Resto?" Gantian Mama Airin yang bertanya menyelidik pada Ben.

Sudah seperti maling ayam yang sedang dihakimi saja!

"Cuma main, Ma!" Jawab Ben seraya garuk-garuk kepala.

Papa Theo menuding ke arah Ben.

"Dia masih single, Pa!" Sergah Ben cepat seolah paham dengan kecurigaan sang Papa.

"Dia seusia dengan Liam! Itu artinya, dia empat tahun lebih tua daripada kamu, Ben!" Tukas Papa Theo mengingatkan.

"Iya, trus? Papa juga lebih tua lima belas tahun ketimbang Mama!" Sahut Ben yang langsung berhadiah toyoran di kepala dari Papa Theo.

Lima belas tahun darimananya?

Cuma sepuluh tahun juga.

"Kalian sedang membicarakan siapa sebenarnya?" Tanya Mama Airin bingung karena Papa Theo dan Ben yang sejak tadi menyebut dia dia.

Dia siapa?

"Sekretarisnya Liam," jawab Papa Theo yang langsung membuat Ben meringis.

"Namanya Ayunda, Ma!" Sambung Ben menjelaskan pada sang Mama.

"Kamu suka sama Ayunda, begitu?" Tanya Mama Airin memastikan.

"Cinta kan tak mengenal umur, Ma!" Jawab Ben sok diplomatis.

"Papa yakin kalau Ayunda tidak akan mau dengan bocah manja sepertimu!" Papa Theo kembali menoyor kepala Ben.

"Ben bukan lagi bocah, Pa! Ben pria dewasa sekarang!" Ucap Ben dengan nada sombong.

Papa Theo hanya berdecak sekaligus mencibir.

"Udah! Ben jadi telat mau jemput Ayunda," Ben melihat jam yang melingkar di tangannya dan bergegas mencium punggung tangan mam Airin lalu lanjut ke punggung tangan Papa Theo.

Pemuda dua puluh dua tahun tersebut lanjut keluar menuju ke garasi untuk mengambil motornya dan segera memacunya ke arah panti asuhan tempat Ayunda tinggal.

****

Tepat pukul delapan kurang lima belas menit, Ben sudah tiba di depan panti asuhan. Ayunda kebetulan baru saja keluar dan berpamitan pada Opa Ronny. Wanita itu sudah berjalan menuju gerbang dan raut wajahnya berubah tak senang saat melihat Ben yang sudah nangkring di atas motornya di depan pagar.

"Pagi!" Sapa Ben pada Ayunda yang hanya memutar bola matanya.

"Aku antar ke kantor!" Tawar Ben memasang senyuman anehnya. Namun Ayunda hanya cuek.

Wanita itu terus mengayunkan kakinya ke pangkalan ojek yang berjarak sekitar tiga ratus meter dari panti asuhan.

"Ay!" Panggi Ben yang sudah mengikuti langkah Ayunda seraya menuntun motornya.

"Motor kamu rusak? Bengkel ke arah sana," Ayunda menunjuk ke arah yang berlawanan dengan arah ia berjalan.

"Nggak, kok! Motor aku baik-baik saja, bensinnya juga penuh," jawab Ben sedikit pamer.

"Trus kenapa nggak dinaikin?" Tanya Ayunda tanpa menatap ke arah Ben dan tetap fokus menatap ke arah jalan di depannya serta ke pangkalan ojek yang sudah mulai terlihat.

"Kamu nggak mau naik soalnya," jawab Ben seraya mengendikkan bahu.

"Ayo aku antar, Ay! Daripada membonceng mas mas ojek mending membonceng motor aku. Panas nggak kehujanan, hujan nggak kepanasan," rayu Ben pantang menyerah.

Ayunda hanya berdecak dan tetap mengayunkan langkahnya menuju ke pangkalan ojek. Sudah hampir dampai dan Ayunda segera melambaikan tangan ke arah salah satu tukang ojek yang mangkal.

"Ay!" Ben bergumam kecewa karena Ayunda lagi-lagi menolak untuk ia antar ke kantor.

"Aku duluan. Bye!" Pamit Ayunda sebelum naik ke atas motor tukang ojek. Dan motor tersebut segera melaju dengan cepat meninggalkan Ben yang hanya bisa mendengus kecewa.

.

.

.

Terima kasih yang sudah mampir.

Dukung othor dengan like dan komen di bab ini.

Terpopuler

Comments

susi 2020

susi 2020

😘😘😘

2023-02-19

0

susi 2020

susi 2020

🙄🤔

2023-02-19

0

𓆉︎ᵐᵈˡ🍾⃝ᴀͩiᷞsͧyᷠaͣh⒋ⷨ͢⚤👙

𓆉︎ᵐᵈˡ🍾⃝ᴀͩiᷞsͧyᷠaͣh⒋ⷨ͢⚤👙

mampir

2023-02-05

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!