Initial Statement

Alisha POV

Sholat maghrib yang di imami oleh Dika telah selesai, aku melanjutkan dengan sedikit berdzikir dan berdo'a untuk semua keinginanku. Karena semua keinginan tak akan tercapai jika tidak ada do'a didalamnya.

Selesainya, aku melihat Dika membereskan sajadah dan kain sarung yang tadi ia kenakan. Aku pun ikut membereskan alat sholatku dan keluar mencari mama yang ternyata sedang duduk di meja makan bersama Om Agung.

Di rumah, biasanya aku hanya berdua dengan mama, sebab ayahku sedang mengadakan proyek di luar pulau yang mengharuskannya pulang beberapa bulan sekali. Bukan sekali dua kali ayah melakukan pekerjaannya di luar pulau. Hal itu membuatku sudah terbiasa ditinggal oleh ayahku karena jarang waktu kami untuk bersama.

"Lish makan dulu, Dika juga, Ayo." Ajak mama yang kemudian menata piring untuk kami. Aku mengajak Dika menghampiri meja makan dan duduk berdampingan.

Kulihat diam diam Om Agung yang memasang wajah kaku nya melihat Dika kemudian ke arahku. Aku pun mengalihkan pandangan saat Om Agung melihatku.

Mama membuka pembicaraan saat ia akan mengambil makanannya agar suasana tak terlalu tegang. "Ayo ambil makanannya Dik, gak usah sungkan sungkan."

"Iya tante. Terima kasih, maaf merepotkan." ucap dika merasa tak enak hati.

"Enggak apa apa, tante seneng meja makan ini penuh, soalnya Papa Alish kerjanya jauh, jadi jarang pulang. Apalagi nih si Agung sekarang makin jarang kesini sibuk di Polda ngurus anak buahnya." jelas mama sambil menyantap makanannya yang ditanggapi senyum tipis oleh Dika.

Aku mulai menyantap makananku, begitu juga dengan Dika. Aku melihatnya sangat antusias saat ia mencoba suapan pertamanya.

"Masakannya enak tante." puji Dika tulus, tampaknya ia benar benar menyukai makanan buatan mama.

"Masakan Alish juga enak, ya kan Lish?" tanya mama dengan nada menggoda.

"Ih apaan sih ma, kan alish juga belajar dari mama." Aku menepis semua perkataannya, karena nyatanya memang masakan mama paling enak.

"Ekhm. Kamu satu sekolah dengan Alish?" tanya Om Agung menghentikan pembicaraan tadi.

"Tidak om, saya tidak sekolah." jawab Dika jujur tanpa ada keraguan sedikitpun. Aku menatap kepada Dika dengan khawatir, takut kalau om tahu Dika tidak sekolah dan bekerja sebagai tukang gorengan akan menghentikan pertemanan kami yang masih tumbuh beberapa jam. Karena sekali lagi, om ku itu sangat protektif kepadaku melebihi ibuku.

"Kuliah atau kerja?" Tanya om lebih ingin tahu.

"Saya kerja." jawab Dika tenang, beda sekali dengan aku yang sedikit gelisah.

"Dimana?" tanya Om Agung yang ingin mengetahui dimana lokasi pekerjaan Dika. Pertanyaa umum yang sering dilontarkan dari pihak wanita saat dirinya dekat dengan laki laki.

"Saya jualan gorengan di alun alun depan Distrik Cina."

"Oh, jadi gorengan kemarin beli dari Dika Lish?" Mama bertanya yang kemudian di jawab anggukkan kepala olehku.

"Kenal Alish dari mana?" Pertanyaan om Agung berlanjut.

"Waktu itu-.."

"Sudah nanti jawabnya, sekarang makanannya habisin dulu." Putus mama memotong perkataan Dika.

Akhirnya pembicaraan itu terhenti digantikan dengan dentingan sendok dan piring dari masing masing.

Setelah makan malam selesai kami duduk berkumpul di ruang tengah sambil menonton tv.

"Bisa kamu jelasin lagi jawaban kamu tadi?" Tanya Om Agung ingin mengintrogasi Dika kembali.

"Ehm om, Alish cuma pengen temenan sama Dika, kenapa jadi kayak ngintrogasi gini sih. Gimana kalau Dika risih dan gak suka?" Aku menyela Dika yang ingin bicara.

"Lagian Dika baik kok." Tambahku untuk meyakinkan om ku tentang Dika.

"Emang udah berapa lama kalian kenal?" Pertanyaan om kali ini membuatku gelagapan. Pasalnya kami baru saja kenal.

"Ehm tiga hari om." Dika yang menjawab.

"Baru tiga hari juga." jawab Om Agung meremehkan, aku memejamkan mata seraya mengatur nafas agar tetap tenang. Entah kenapa pembicaraan kali ini sedikit membuatku kesal.

"Dari pada om, baru ketemu sehari udah nembak Kak Raya." kataku mencibir mengingat akan ulahnya yang menyatakan cintanya di depan gedung tempat Kak Raya bekerja.

Kata Om Agung sih, biar rekan kerja laki laki Kak Raya itu bisa melihatnya dan tahu bahwa Kak Raya itu sudah menjadi milik om ku itu.

Untung saja diterima, bagaimana kalau ditolak? Yang pastinya om ku akan sangat malu.

"Ya itu kan om, kamu beda lagi. Om laki laki, udah dewasa, punya penghasilan, mau apa aja boleh, nikah lusa nya juga ayok kalau Raya mau, tapi kamu tahu sendiri kan, kalau Raya mau fokus kerja dulu." Ucap om membela diri.

"Tuh kan, selalu aja gitu. Om kemana aja pas smp? Gak ingat apa dikasur om banyak banget coretan nama cewek. Masa Alish cuma mau temenan sama Dika ribet amat."

"Oh ud-.."

"Udah Gung. Biarin Alish sama Dika temenan. Pacaran juga boleh asal jangan berlebihan, kakak percaya Dika anak baik." ujar mama membuat Om Agung kalah telak. Aku menjulurkan lidahku ke arahnya meledek dirinya yang kini terdiam, karena aku tahu bahwa Om Agung selalu mengikuti perkataan mamaku dan segan terhadapnya.

"Sudah isya, sholat yuk. Kamu gak boleh kemalaman pulangnya." Ajakku menyeret Dika untuk mengambil air wudhu dan sholat. Sekalian untuk menghindar dari mama dan Om Agung yang ingin berdebat.

Setelah sholat, Dika berpamitan kepada mama dan om Agung yang masih di ruang tengah tadi untuk pulang.

Aku menyempatkan berlari ke kamar untuk membawa jaketku dan kembali ke luar mengantar Dika ke halaman rumah.

"Nih pake." titahku yang menyodorkan jaket hitam punyaku. Dika hanya melihatnya dengan Alis terangkat.

"Punya siapa?" Dika bertanya sambil membawa sepedanya.

"Punya aku lah masa om Agung." jawabku seraya menyampirkannya di bahu Dika yang lebih tinggi di atasku.

"Oh, kirain pacar kamu."

"Kamu ngejek aku?" tanyaku dengan tangan melipat di dada.

Dika menggelengkan kepala dan mengambil sepedanya untuk segera dinaiki. "Enggak."

"Kamu tau kan om ku itu, ngeselin banget." Aku berdecak dan mengerlingkan mata mengingat kejadian tadi.

"Dia cuma peduli sama kamu."

"Tapi kan.."

"Udah, yang penting mama kamu bolehin kan? Yaudah sana cari."

Aku mengerucutkan bibir cemberut, kenapa bisa bisanya Dika menyuruhku seperti itu?! "Tapi kan mama setujunya sama kamu."

"Yaudah." jawabnya cuek terdengar tak peduli membuatku jengkel.

"Yaudah apa?" Ucapku kesal sebelum aku menyadari kata kata barusan. E**h?

"Kamu bilang apa tadi Dik?" tanyaku ingin memastikan. Dika tidak menjawab, malah bersiap untuk mengayuh pedal sepedanya.

Aku menahan kaos yang dikenakannya dan mengambil jaket yang masih tersampir di bahunya agar ia memakainya sebelum pergi.

"Eh Dika, pake ini. Nanti masuk angin." Aku mengingatkannya kembali dan dia akhirnya menerimanya.

"Pake. Pasti dingin." kataku saat melihat Dika sedang memakai jaketnya.

Dika hanya menjawab dengan gumam an dan merapikan jaket yang kini terpasang di tubuhnya.

"Ehm, Dik. Yang tadi apa ya?" tanya ku pelan pelan, masih penasaran maksud dari perkataan spontan Dika tadi.

"Yang mana?" Dika berbalik tanya dengan raut wajah sedang berpikir.

"Yang barusan." jawabku gemas karena Doka tak kunjung mengerti.

"Nih udah dipake." jawabnya sambil menunjuk jaket yang telah ia pakai. Berpikir bahwa maksud pembicaraan tadi tentang jaketku.

"Ih apaan sih, gak jelas tau." aku malah kesal sendiri karena aku sulit mengatakannya.

"Udah ya, duluan lish." Pamit Dika buru buru yang sebelumnya telah mengacak ngacak poni ku lalu pergi dengan sepedanya sangat kencang. Aku melongo, berdiam diri di tempat mengingat perlakuannya barusan. 'Dia beneran Dika?'

Terpopuler

Comments

Oki Indriani

Oki Indriani

semnagat terus ya kak

2020-06-27

0

TereLea(♥ω♥ ) ~♪

TereLea(♥ω♥ ) ~♪

Next 😍

2020-04-14

0

Sekar Arum🌴🍬

Sekar Arum🌴🍬

next

2020-04-12

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!