PreFix We are Friends

Pukul 15.30 aku baru keluar dari gerbang sekolah setelah sebelumnya aku piket kelas terlebih dahulu bersama Dina dan teman teman lainnya.

"Duluan ya." kata Dina seraya menaiki motor yang dikendarai oleh Reno, pacarnya.

"Iya sana, pegangan yang kuat biar gak jatuh haha." ucapku mengingatkan dengan nada gurauan yang dibalas dengan acungan jempol dari Reno.

Setelah Dina dan Reno menghilang dari pandanganku, aku melangkahkan kaki ku menuju Alun alun kota. Kulihat sekelilingku selama kaki ku melangkah menuju arah utara alun alun menuju ke sebuah gerobak dagangan yang selama ini menarik perhatianku.

'Bukan gerobaknya sih, tapi orangnya. Hihi.'

Aku tersenyum kecil mendengar pengakuan kata hatiku sendiri. Ku lirik kiri kananku, takut ada yang memperhatikan ku senyum senyum sendiri. Aku bisa di anggap gila oleh orang yang melihatnya.

Setelah menyebrangi jalan, ku percepat lagi langkah kaki ku agar bisa cepat tiba di lapak dagangan miliknya yang kebetulah di pinggir jalan 'Ya namanya juga kaki lima lis.' kata hatiku kembali bersua mengingatkan.

"Permisi mas?" tanyaku sopan kepadanya yang kulihat sedang sibuk menggoreng bakwan di wajan besar.

"Ya mau beli apa?" tanya nya tanpa menoleh kepadaku, ia ternyata masih sibuk dengan kegiatan menggorengnya.

"Campur boleh." jawabku mendekat kearahnya. Ku lihat dia menengok ke arahku.

"Ck kau lagi." balasnya dengan muka masam. Aku pun cemberut melihatnya.

"Emangnya kenapa? Kan mau beli." selorohku sambil menepuk bahunya, 'Sok akrab!'

"Ganggu." jawabnya singkat.

"Yang lain juga ganggu." Aku mencoba tak mengalah sembari melihat orang orang di sekitarku yang hendak membeli gorengan kepada Dika.

"Tapi mereka gak secerewet kamu." jawabnya lagi ketus.

"Biarin. Pembeli kan ratu, jadi harus dilayani dengan baik."

"Dan kamu adalah ratu paling menyebalkan yang pernah ku temui." ucapnya sarkastik.

"Makasih yang mulia raja." Aku terkekeh mendengar perkataanku sendiri yang tidak direspon olehnya. 'Geli juga haha.'

"Berapa?" ucapnya mengacuhkan perkataanku namun mencoba melayani pesananku.

"10 deh. Aku duduk ya." Aku pun duduk di kursi panjang yang disediakan di belakang. Kulihat dirinya yang cekatan bergerak kesana kemari dalam bekerja, terlihat betapa mahirnya ia dalam memotong dan mengolah bahan. Hingga lama lama aku terhanyut dalam lamunan akan dia.

"Hm sayang sekali." ucapku lirih.

"Apanya yang sayang?" tanya Dika yang berdiri tepat di depanku sambil menyodorkan plastik putih yang berisi gorengan sesuai pesananku.

"Eh?" Aku tersadar dari lamunanku.

"Nih. Mana uangnya?" tanyanya tidak sabar sambil menyodorkan keresek tadi kepadaku dan menagih pembayarannya.

"Sebentar." Aku merogoh uang di dalam tas dan dompetku. Namun selembar kertas pun tak jua kutemukan. 'Duh, dimana ya? kok gak ada? apa tadi dipake jajan?'

"Ehm..Kalau gorengannya dikembalikan gimana?" Aku resah karena baru ku ingat bahwa uangnya tadi aku belikan bakso di kantin!

"Eh? Gak terima pengembalian barang." ucapnya menolak.

"Tapi uangnya gak ada." Aku usahakan wajahku se memelas mungkin meminta keringanan padanya.

"Terus kenapa beli kalau gak ada uang!?" Ia berucap sedikit membentak. Aku tak suka! Kenapa ia kasar sekali. Aku ingin menangis, tapi sebisa mungkin aku tahan.

"Aku gak ingat kalau uangnya udah habis. Aku juga gak tahu gimana pulangnya nanti." ucapanku mulai terbata bata menahan tangis karena semua uangku sudah habis dibelikan saat di kantin sekolah tadi.

"Aku.. Besok deh bayarnya ya.. Dik..." ucapku mencoba bernegosiasi dengan Dika. Tak lupa wajah memelas ku tampilkan agar Dika mau memberikan rasa empatinya terhadapku.

"Gak usah sok akrab deh. Udah, gak usah bayar bayar." katanya berbalik badan menghampiri gerobaknya kembali. Aku tahu dia marah.

"Sekalian gak usah kesini lagi." lanjutnya dingin.

Aku sedih mendengar kalimat tak berprikepembelian itu. Aku kan cuma mau beli, cuma ya ada modus modus nya sedikit.

"Makasih." ucapku lirih meninggalkan dirinya yang tetap mengacuhkanku.

Pukul 5 sore aku sampai di rumah setelah turun dari bus dengan uang yang dipinjamkan oleh Dina saat aku sedang berkeluyuran di tengah alun alun dengan wajah yang menyedihkan. 'Syukur syukur aku ketemu Dina tadi.'

Ku taruh sepatu di rak depan rumah kemudian membuka pintu mengucapkan salam.

"Bawa apaan Lis?" tanya mama yang sedang duduk menonton TV.

"Gorengan." jawabku lesu kemudian meletakkan keresek berisi gorengan di meja tempat mama duduk.

Aku beranjak ke kamar untuk membersihkan diri. Ketika sedang menyisir rambut, aku teringat kejadian tadi sore dengan Dika.

"Ma... besok uang jajannya tambahin sepuluh ribu ya." teriakku masih dari dalam kamar.

"Buat apa? Emang gak cukup uang jajan yang biasa mama kasih?"

"Buat bayar gorengan." jawabku jujur.

"Kamu bawa makanan hasil hutang? Bisa bisanya, malu maluin ih." jawab mama mengejek, namun dapat ku tebak mama sedang membuka keresek berisi gorengan itu untuk dimakan.

"Ih mama kan uangnya habis, terus gak bisa dibalikin lagi gorengannya." jawabku masih kesal karena mengingat perlakuan Dika, sang penjual yang jauh dari kata ramah itu.

"Ck kamu ya, kalau mau jajan liat dulu dompet. Nanti mama kasih." Mamaku akhirnya berbaik hati memberikan uang jajan lebih untuk membayar jajananku yang belum ku bayar itu.

"Iya ma."

Keesokan harinya setelah pulang sekolah aku kembali menghampiri Dika yang sedang berjualan. Terlihat wajah ketusnya nampak saat melihat aku kembali ke tempat dagangnya.

"Nih." Tanpa basa basi aku menyodorkan uang sepuluh ribu untuk gorengan kemarin yang belum ku bayar.

"Kamu gak bakal lupa apa yang aku omongin kemarin." ucapnya tak menerima uang yang ku asongkan kepadanya.

"Kenapa kamu begini? Aku cuma mau kenal sama kamu, aku gak bahaya in kamu, aku gak berbuat jahat. Kenapa kamu bertindak seolah olah aku ini berbahaya." sungutku yang sudah tak bisa menerima keketusannya.

'Cowok kok ketus banget.'

"Karena kamu gak pantes buat kenal atau berhubungan denganku" jelasnya sedikit kasar agar aku berhenti mendekatinya. Aku tahu dia risih, tapi entah kenapa aku ingin lebih mengenalnya dan dekat dengan dirinya.

"Kenapa?" tanyaku lirih.

"Bang nitip dagangan ya." pinta Dika kepada pedagang minuman di sebelahnya sambil berjalan menjauhiku, mengacuhkan aku dan meninggalkanku sendiri di depan gerobaknya.

Aku yang merasa hal ini belum selesai memilih mengikutinya dan membawa kembali uang yang tadi di biarkan tersimpan di atas meja olehnya.

"Kamu mau kemana?" tanyaku yang masih mengikuti di belakangnya.

"Pulanglah." perintahnya sambil berhenti berjalan tanpa menoleh ke arahku kemudian melangkah lagi memasuki gang sempit perkomplekan cina.

"Gak." ucapku tegas sambil menyamakan langkahnya.

Dika terus berjalan tanpa menengok ke arahku hingga akhirnya betis ku tergores oleh besi karat dari bangunan di sisi kananku karena aku berjalan terlalu menyisi. Ku lihat betis ku yang sedikit mengeluarkan darah dan perih, lalu ku tiup tiup untuk menghilangkan sedikit rasa perihnya.

Saat aku melihat ke depan, aku tak dapat melihat Dika lagi di sana. Entah kemana dia. Aku pun bingung harus kemana dan komplek disini sangatlah sepi.

Ku teruskan langkahku ke depan mencari warung terdekat untuk membersihkan lukaku sekalian membeli plester.

Akhirnya di pertigaan gang sempit ini aku menemukan warung kecil yang di sebelahnya terdapat masjid kecil, atau mungkin bisa disebut mushola.

'Ah bisa sekalian sholat.' pikirku.

Aku berjalan menuju mushola tersebut dengan jalan sedikit pincang. Aku harus segera sampai agar bisa membersihkan luka ku ini, aku takut bisa berinfeksi parah.

"Kenapa?" Aku mendengar seseorang bertanya kepadaku saat aku akan memijakan kaki di lantai mushola. Kudongakkan kepalaku yang tadi sedang melihat luka ku.

"Eh? Kamu sholat?" tanyaku bingung kepada Dika yang berdiri di depanku. Aku pikir dia-.

"Itu kewajibanku." jawabnya acuh kemudian mengambil sendal untuk dipakainya kembali.

Aku menghela nafas melihatnya, biarlah, mending bersihin dulu lukanya terus sholat, terus pulang!

Aku langkahkan kaki ku menaiki lantai mushola dengan pelan. Ku simpan tas ku di dalam mushola dan keluar lagi mencari tempat wudhu.

Aku meringis sesekali ketika air tersebut menyentuh luka ku. 'Perih.'

Setelah selesai sholat ashar aku memakai kembali sepatu ku dan menghampiri warung untuk membeli plester.

"Permisi." ucapku memberi tahu kepada pemilik warung bahwa ada pembeli.

Aku tidak melihat dan mendengar sahutan pemilik warung tersebut. Tapi warung tersebut masih buka.

Aku memutuskan menunggu sambil duduk di kursi panjang depan warung itu sambil memainkan ponselku.

Tak lama kemudian aku melihat dia keluar dari warung tersebut sambil membawa baskom dan keresek putih. 'Dika.'

"Ehm yang punya warung kemana ya?" tanyaku kepadanya yang kini duduk di sebelahku.

"Ada lagi sholat." jawab Dika cuek dengan tangan yang mengeluarkan benda benda dari dalam kresek yang dibawanya.

"Oh. Aku mau beli plester dua, boleh di ambilin gak? Aku pikir kamu kenal pemilik warung ini."

"Gak usah. Mana lukanya?" Dika menanyakan keberadaan lukaku.

Aku memperlihatkan kaki kiriku yang sedikit masih mengeluarkan darah. Dia mengangkat sedikit kaki ku ke pangkuannya dan mengompres luka ku dengan air dingin di baskom. Aku kembali meringis saat rasa perih hadir di betisku yang terluka.

Ia dengan telaten membersihkan lukaku tanpa banyak bicara. Ku pandangi wajah seriusnya yang sesekali mengkerut mencoba sepelan mungkin membersihkan lukaku membuatku tersenyum melihat raut wajah yang menurutku imut tersebut.

"Kenapa senyum?" tanya nya sambil membuka kain kasa dan membungkus lukaku dengan kain kasa itu setelah ditetesi obat merah.

"Sakit."

"Kamu aneh."

"Hm. Kamu tinggal di daerah sini? Aku boleh main ke rumah kamu? Kamu tinggal sama siapa?"

Aku terus saja mengoceh berharap Dika yang sedang mengobati lukaku itu meresponnya, namun hanya gumaman tak jelas Dika lontarkan membuatku akhirnya menyerah dan kembali diam.

"Aku minta maaf." ucapku setelah beberapa saat tadi terdiam. Dika menolehkan kepalanya melihatku, mimik wajahnya menunjukan pertanyaan kenapa aku berkata seperti itu. Namun aku hanya mengedikkan bahu enggan menjelaskan.

Karena aku rasa aku sudah sadar dan keterlaluan telah mengganggunya terus menerus sehingga ia kelihatan risih akan kedatanganku.

"Oh iya, Ini uang yang kemarin, terima ya. Sanksinya aku gak bakal ganggu kamu lagi. Aku pulang ya, makasih obatnya."

Aku beranjak dari posisi dudukku dan membawa tasku untuk ku gendong.

Aku hendak melangkah pergi dari warung tersebut, namun telapak tanganku digenggam oleh Dika. Aku terkejut dan menoleh dengan wajah bertanya.

"Aku antar." ucap Dika yang tiba tiba menawarkan untuk mengantarkanku pulang.

"Hah?" Aku masih terdiam di posisi semula dengan mulut terbuka. Kulihat dia memandang datar ke arahku dan berdiri, masih dengan menggenggam tanganku.

"Aku antar kamu pulang." putusnya kini dengan senyuman pelitnya, sangat tipis sekali sehingga aku sulit menebak apakah dia sedang tersenyum atau tidak.

Aku yang masih mencerna ucapannya hanya mengangguk nganggukkan kepala hingga sesaat kemudian aku tersadar.

"Kamu... Beneran?" tanyaku memastikan. 'Kenapa dia tiba tiba menawariku diantarkan pulang?'

"Ya."

"Oo-ke" ucapku tergagap namun senang sambil mengayun ngayunkan tangan Dika yang masih memegang lenganku.

Terpopuler

Comments

RO_che

RO_che

kereen ni.. beda dari yang lainn... nextt thor

2020-06-24

2

meilinatina

meilinatina

Lanjuuutttt

2020-06-23

1

TereLea(♥ω♥ ) ~♪

TereLea(♥ω♥ ) ~♪

lanjut 😁👍

2020-04-14

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!