Edward Whitman saat ini berada di ruangannya sambil mengerjakan pekerjaannya. Ia berkutat dengan berbagai dokumen yang memenuhi meja kerjanya. Sesekali ia memijit pangkal hidungnya dan menyandarkan tubuhnya untuk sedikit relax.
"Fi, buatkan aku secangkir kopi," pinta Edward kepada sekretarisnya Fiona melalui intercom.
Tak lama berselang, Fiona masuk membawakan secangkir kopi untuk Edward.
"Ini kopinya Mr."
"Terima kasih, Fi."
Fiona sedikit membungkuk lalu keluar dari ruangan.
"Pekerjaan ini sungguh terlalu banyak, kepalaku serasa mau pecah. Aku bekerja keras disini, sementara ia hanya bersenang senang," keluh Edward.
Saat Edward hendak menyesap kopinya, pintu ruangannya diketuk. Asisten pribadinya, Mike, masuk ke dalam ruangan bersama dengan ayahnya, Pierre Whitman.
"Ada apa Daddy kemari?" tanya Edward.
"Apa Daddy tidak boleh melihat cara kerjamu?" tanya Pierre sambil melihat lihat isi meja Edward.
"Daddy tidak mempercayaiku?"
"Daddy mempercayaimu, Daddy hanya ingin melihat."
Pierre kemudian duduk di salah satu sofa di ruangan tersebut dan mengangkat salah satu kakinya dan menumpunya di kaki yang lain.
"Katakan pada Daddy, sudah berapa orang yang kamu pecat?"
"Apa maksud Daddy?" tanya Edward.
"Bukankah kamu memecat Luis, Aaron, David, dan terakhir kamu juga baru saja memecat Evan Farawell."
"Aku tidak melakukannya, Dad. Siapa yang mengatakan semua itu pada Daddy?"
"Kamu tidak perlu tahu. Daddy hanya bertanya, mengapa kamu memecat Evan?" tanya Pierre.
"Aku tidak memecatnya, Mr. Evan sendiri yang mengajukan pengunduran diri kepadaku. Bahkan aku masih memiliki surat pengajuannya," Edward mencari surat tersebut di antara berkas berkas di atas mejanya.
"Sudah tidak perlu kamu cari, karena kamu tidak akan menemukannya."
"Aku benar benar tidak memecatnya, Dad!"
"Daddy tidak ingin melihat kamu memecat semua orang yang Daddy percayai di perusahaan ini. Mereka sudah bekerja sejak lama dan mereka sangat loyal kepada perusahaan," Pierre bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan ruangan Edward.
"Sial!" gumam Edward mengepalkan tangannya saat ayahnya sudah pergi.
*****
"Apa kalian sudah melakukan semuanya?" tanya Elbert sore itu.
"Sudah," jawab Vincent.
"Saya sudah meminta Mr. Hans untuk memeriksa kondisi semua komputer milik kita. Kemungkinan yang terkena paling parah adalah komputer milik anda, Mr.Elbert," ucap Jeremy.
"Milikku?" tanya Elbert kebingungan.
"Ya, karena ternyata sumber virus itu dari komputer anda. Kalau komputer milik kami sepertinya masih bisa diselamatkan data datanya."
"Dan ini laporan mengenai semua dokumen yang ada. Tidak ada yang hilang sama sekali. Vincent juga membantu saya memeriksanya," ucap Cynthia diikuti anggukan Vincent.
"Vin, apa kamu melihat ada yang aneh?" tanya Elbert.
"Tidak. Saya sudah memeriksa seluruh ruangan, tak ada yang aneh. Hanya beberapa berkas yang terkesan sedikit berantakan dan pintu depan yang tidak terkunci," jawab Vincent.
"Baiklah kalau begitu. Kalian kembalilah bekerja. Oya Jer, kapan Hans bisa menyelesaikan perbaikan komputer kalian?" tanya Elbert.
"Besok sore ia akan mengantarkan kembali semua komputer dan membantu kami memasangnya. Jadi lusa kita sudah bisa bekerja seperti biasanya."
"Okay. Kalau begitu aku kembali ke ruanganku dulu. Kalian kembalilah bekerja."
Elbert masuk ke dalam ruangannya. Ia duduk di kursi kerjanya. Ia membuka laptopnya dan mulai membuka file yang memang sedang ia kerjakan. Namun, pikirannya masih melanglang memikirkan mengenai beberapa kejadian terakhir yang menimpa dirinya.
Saat ia sedang termenung, ponselnya berbunyi, tertera nama Peter disana.
"Halo."
"Peter, apa kabarmu?"
Peter tak langsung menjawab, ada jeda kesunyian pada sambungan telepon tersebut, hingga Elbert harus mengulangi pertanyaannya.
"Pete? Apa kamu baik baik saja?"
"To ... tolong aku."
Wajah Elbert berubah seketika, ia langsung meraih kunci mobilnya.
"Vin, ikut aku!" pinta Elbert.
Vincent langsung mengikuti atasannya tersebut.
"Apa ada kasus penting?" tanya Vincent.
Elbert tidak menjawab, ia segera menyalakan mesin mobil dan mulai menjalankannya. Vincent bisa melihat raut kecemasan di wajah atasannya tersebut. Akhirnya ia tidak lagi banyak bertanya.
Elbert tidak tahu dimana Peter berada, tapi ia langsung menuju ke rumah Peter yang berjarak sekitar 10 menit jika mengendarai mobil.
Sesampainya di depan rumah Peter, Elbert langsung turun dari mobilnya, Vincent pun mengikuti. Ia mengetuk pintu rumah Peter, namun tidak terdengar suara sama sekali.
Namun tiba tiba ia mencium bau, ya seperti bau gas yang bocor, sangat menyengat.
"Vin, kamu telepon pemadam kebakaran dan ambulance sekarang," ujar Elbert dan Vincent pun mengangguk.
Elbert langsung berusaha mendobrak pintu rumah tersebut. Beberapa kali ia mencoba, akhirnya ia berhasil mendobrak pintu masuk dan langsung mencium bau gas yang begitu menyengat.
"Peter? Peter?" panggil Elbert, namun tak ada sahutan.
Elbert berusaha membuka jendela dan pintu pintu di rumah itu agar bau segera keluar. Ia sendiri terus menutup hidungnya.
Elbert tidak kuat menahan bau gas tersebut, ia langsung berlaru keluar untuk sekedar mencari oksigen. Baru saja ia mengeluarkan kepalanya, pemadam kebakaran sampai di tempat tersebut begitu juga dengan ambulance.
"Mr, ayo di luar saja. Mereka akan membantu mencari temanmu," ucap Vincent.
Elbert memberitahu setiap petugas pemadam kebakaran bahwa temannta masih berada di dalam dan berharap mereka segera menemukannya.
Tak lama, 2 petugas pemadam kebakaran berhasil membawa keluar Peter dan langsung membawanya ke ambulance. Sebagian lainnya menyemprotkan air ke rumah tersebut untuk sedikit menghilangkan bau gas dan menghindarkan terjadinya kebakaran ataupun percikan api.
Elbert yang melihat Peter dibawa pun turut ikut serta di dalam ambulance.
"Vin, kamu jaga disini dan segera kabari saya. Saya akan ikut dengan ambulance itu," ucap Elbert.
"Baik Mr."
Ambulance tersebut langsung berjalan membelah Kota New York menuju salah satu rumah sakit yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah Peter.
Dengan cekatan mereka memasang masker oksigen pada Peter untuk membantu pernapasannya. Sementara Elbert memegang tangan Peter untuk menguatkannya.
Sesampainya di rumah sakit, Peter dibawa ke ICU untuk mendapatkan perawatan karena paru parunya masih dipenuhi dengan gas. Ia memerlukan penanganan. Kesadaran Peter pun belum kembali akibat banyaknya ia menghirup gas tersebut.
"Sadarlah Pete (baca : Pit, panggilan Peter)," gumam Elbert sambil terus mondar mandir di depan ruang ICU.
Elbert tidak bisa menghubungi siapapun karena memang setahu dirinya, Peter sudah tidak memiliki sanak saudara. Ia pun berinisiatif tetap berada di samping Peter, karena ia sudah menganggap Peter sebagai kakaknya.
Seorang Dokter keluar dari ruang ICU,
"Dok, bagaimana keadaan pasien yang baru saja masuk?" tanya Elbert kuatir.
"Anda keluarganya?"
"Bukan, saya temannya. Peter sudah tidak memiliki keluarga."
"Saat ini kami sedang mengeluarkan semua gas di dalam paru parunya dengan dorongan oksigen. Kami akan segera meng-update lagi setelah selesai. Saya permisi dulu sebentar Mr," ucap sang Dokter.
Elbert menekan kepala dengan kedua tangannya. Ia benar benar pusing saat ini, juga kuatir tentang keadaan Peter.
"Apa yang sebenarnya terjadi disini?" gumam Elbert.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Mr.VANO
seru,bagus cerita ny,,,,berasa nonton bioskop
2023-03-14
1
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
jngn jngn iyaa nih si Edward pelakunya
mungkin sja Edward yg gelap kan uang kantor
dan krna ga mau kthuan dia nyingkirin semua🤭
2023-01-06
0
Nuraishah❤💚
seru... kayak lihat di tv ajah...
2022-11-26
1