EPISODE 4

Tidak mungkin aku tiba disini tanpa alasan.

Mereka (para Redhuman) juga pasti berpikir demikian. Walaupun orang bernama Mateo telah menjelaskan alasannya, tapi itu belum cukup.

Misteri.

Beberapa hal masih menjadi rahasia, yang mungkin tidak boleh di ketahui orang asing. Tapi, tidak ada salahnya jika aku mencoba bergerak dan mencari sendiri.

Malam ini, aku berada di perpustakaan istana. Luasnya sebesar ruang pesta dengan lemari/rak buku yang berjumlah 50. Rak buku itu sebesar 2 gawang sepakbola yang di susun ke atas. Dan setiap rak memiliki lebih dari 300 buku.

"permisi... apa anda tau dimana letak buku sejarah?" tanyaku pada seorang wanita.

Saat wanita itu menoleh, aku sedikit merasa lega dan juga bodoh. Karena aku bertanya pada salah satu Redhuman yang pastinya dia tidak tau apapun jawabannya.

"apa yang kau cari?" tanya dia.

Aku sedikit mengingat namanya saat itu. Namanya adalah Kara, wanita yang memiliki rambut unik berwarna ungu di atas bahu dan bola mata berwarna hitam.

"maafkan aku. Mungkin kamu juga tidak tau. Aku akan bertanya pada yang lain" jawabku.

"tidak... Aku tau dimana letaknya. Tapi, untuk apa kau mencarinya? Aku harap kau tidak mencari sepenggal keju di pabrik sabun" ucap Kara.

Keningku mengernyit.

"apa maksudmu?"

"kau bisa melihat sekelilingmu. Perpustakaan ini sangat luas sampai kau bisa berlarian di dalamnya. Tapi, apa yang kau cari tidak akan pernah kau dapatkan" jawabnya.

Aku terdiam sejenak untuk mencerna kalimatnya.

"baiklah... aku mengerti" ucapku.

Aku pun langsung pergi meninggalkannya dan berjalan ke sudut yang lain. Aku berusaha untuk mencari sendiri sesuatu yang ku butuhkan itu.

"kamu mengerti ucapannya barusan?" tanya seorang wanita di sebelahku.

Aku menoleh padanya.

"dia menggunakan kalimat dengan istilah yang bagus"

Wanita di hadapanku saat ini, memiliki warna rambut kecoklatan sebahu, dan mata berwarna sama.

"namaku Kin" ucapnya sambil mengulurkan tangan.

"Arla" jawabku, menyambut uluran tangannya.

"aku mendengar percakapan kalian. Aku bisa menunjukkan letak buku itu kalau kamu mau" ucap Kin.

"itu bagus. Bisa kamu tunjukkan padaku sekarang?" tanyaku.

Kin mengangguk dan berjalan, aku pun mengikutinya. Setelah tiba di rak buku, aku melihat rak itu di penuhi oleh buku-buku tebal yang terlihat usang, namun bersih.

"aku rasa dia benar. Aku tidak akan bisa menemukan keju di pabrik sabun" ucapku mengeluh setelah membaca hampir setengah buku.

Kin menatap padaku dengan ekspresi bingung. Saat ini kami sedang duduk di salah satu meja yang tersedia untuk membaca buku.

"aku membutuhkan keju untuk memenuhi rasa penasaran. Tapi, aku hanya melihat sabun dimana-mana. Bentuk mereka akan terlihat sama jika di perhatikan dari jauh, tapi jika mendekat dan mencium aroma serta menyicipi rasanya, kedua benda itu sangat berbeda" ucapku seolah menjawab tatapan Kin.

Kin mengangguk seakan mengerti.

"kamu benar. Di tempat ini, semuanya di palsukan. Kisah dan sejarah yang tertulis di buku ini, seolah hanya di karang oleh satu orang saja. Apa mereka tidak ingin ada yang mengetahui sejarah negeri ini dengan benar?"

"mungkin hal itu di lakukan untuk menjaga sesuatu. Buku itu pasti ada, tapi mereka tidak menyimpannya di tempat ini" tanyaku.

Kin hanya diam dan mungkin sedang memikirkan sesuatu. Aku pun langsung berdiri dan mengembalikan buku yang ku ambil ke tempatnya semula.

"senang berbicara denganmu. Mungkin lain kali kita bisa bertemu lagi" ucapku.

"aku juga" jawab Kin.

Aku meninggalkannya yang masih duduk terpaut dengan buku di hadapannya. Aku yakin dia adalah wanita yang cerdas, karena dia bisa mengerti kalimat kiasan tanpa perlu dijelaskan.

Istana ini dinamai Southcastle karena keberadaannya berada di wilayah selatan. Saat ini pemilik sekaligus kepala keluarganya adalah pria paruh baya bernama Duke Mateo. Istana ini memiliki luas 40.000 m² dengan 1 gedung utama dan 3 gedung pendamping.

Katanya, istana ini adalah tempat teraman dan merupakan benteng pertahanan dari serangan hutan gelap_tempatku membuka mata. Tapi, ternyata tidak seaman perkataan mereka dan sesuai perkiraanku.

Ya, itu benar. Karena saat ini di hadapanku. Seorang pria tergeletak dengan dada yang tertusuk pedang dan berlumuran darah. Aku yakin, dia pasti sudah tewas.

Aku tidak berteriak.

Aku hanya menatap tubuh itu dengan lurus. Membaca kejadian yang mungkin saja terjadi, tapi seseorang yang datang ke arahku, berteriak dengan kencang.

Seluruh orang, benar-benar berkumpul saat ini. Pria yang tergeletak di hadapanku, berada di depan gedung perpustakaan dengan jarak 20 langkah.

"dia tewas" ucap seseorang yang memeriksa kondisi mayat itu.

...***...

"tidak ada gunanya anda menanyakan hal yang sama berulang kali pada saya, sudah saya katakan saya tidak tau" jawabku meyakinkan.

Setelah melihat pemandangan tidak menyenangkan di hadapanku, yaitu sebuah jasad tak bernyawa, aku tiba disini. Ruangan berukuran 45m², dengan berbagai macam furnitur unik dengan warna Sarcoline yang lebih dominan. Aku tidak pernah melihat hal seindah ini sebelumnya. Tapi, aku tidak menikmatinya karena tekanan dari orang di hadapanku.

"aku tau, tapi kamu pasti melihat seseorang saat itu" jawabnya.

Pria dengan setelan baju berkelas, rambut coklat pekat yang tertata rapi, wajah yang lembut dan tatapan yang tajam, serta suara yang berat. Orang-orang memanggilnya pemimpin pasukan istana utama atau panglima perang. Namanya adalah Erik.

"saya tau apa yang anda pikirkan. Darah yang masih mengalir deras dan pedang yang baru saja tertembus. 20 detik. Hanya dalam dua puluh detik orang itu membunuhnya tanpa suara dan tanpa jejak. Saat itu, saya memang baru keluar, tapi saya tidak melihat apapun dan siapapun" jawabku.

Erik terdiam menatapku. Dia tetap tidak percaya dengan ucapanku.

"bagaimana kamu bisa menyimpulkan kematiannya baru terjadi 20 detik yang lalu?" tanya Erik.

"saya bisa memperkirakan sesuatu dengan cepat" jawabku.

Aku duduk di hadapannya, di atas sofa mewah yang di desain indah dan nyaman. Teh dan kudapan di sediakan di atas meja dalam perbincangan yang aneh ini.

"kamu menjawabnya dengan cepat. Aku juga tidak melihat rasa takut di matamu. Karena itu aku bertanya padamu untuk memastikan sesuatu. Atau mungkin, kamu yang membunuhnya?" tanya Erik.

"saya berharap bisa melakukannya. Tapi, sayangnya tidak. Jika saya adalah seorang pembunuh, saya tidak akan menjadikan orang itu sebagai korban yang pertama" jawabku.

Erik menarik pelan nafasnya dan berdiri.

"baiklah, kamu boleh pergi" ucapnya.

Aku tersenyum padanya dan segera meninggalkan ruangan itu. Teh dan kudapan yang di hidangkan, sama sekali tidak tersentuh olehku.

...***...

"benar bukan kamu yang membunuhnya?" tanya Tifa

Aku tiba di kamarku dan langsung mendapatkan pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya.

"bagaimana menurutmu?" tanyaku.

"kalau memang kamu pelakunya, mungkin aku akan menjadi korban pertama" jawabnya.

"tidak juga. Jika aku pembunuhnya, kamu akan ku jadikan korban kesekian. Karena jika aku membunuhmu lebih dulu, orang-orang akan lebih mudah mencurigaiku" ucapku.

Tifa terdiam dan menatap padaku. Tapi, tidak ada rasa takut di dalam tatapannya yang lurus.

"jadi maksudmu, jika pembunuh itu adalah salah seorang dari Redhuman, dia akan membunuh teman sekamarnya setelah itu?" tanya Tifa.

"mungkin. Tapi menurutku, pelakunya bukan salah seorang dari kita. Dia membunuh dengan rapi dan tanpa celah. Dia pasti bukan sekedar pembunuh biasa. Bahkan untuk seorang pemimpin pasukan pun, akan sulit untuk melakukannya" jawabku.

"pemimpin pasukan?"

"ya... Aku di bawa dan di interogasi olehnya. Tapi, dia tampak berpikir tentang bagaimana pembunuh itu melakukannya. Aku yakin, pembunuh itu bukan orang biasa" jelasku.

Tifa meletakkan tangan di bawah dagunya dan mencoba berpikir dengan baik.

"kita butuh informasi yang konkret untuk mengetahuinya"

"aku akan mencari tau" ucapku.

"kamu harus lebih berhati-hati. Orang-orang sedang membicarakanmu saat ini, karena kejadian di depan perpustakaan" saran Tifa.

Aku mengangguk pelan dan paham, karena sudah memprediksi dari awal apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi, berpura-pura tidak tau di hadapan banyak orang pasti melelahkan.

Malam semakin larut, cahaya bulan tidak terlihat, hanya ribuan bintang yang berserakan di atas langit. Aku tidak tau apakah bintang-bintang itu adalah benda yang sama yang ku lihat di dunia sebelumnya atau malah benda lain yang tidak ku ketahui.

"apa yang kau lihat di atas sana, sama seperti yang kau lihat di duniamu. Kalian menyebutnya apa? Bumi? Earth? земля? terra?" tanya seseorang padaku.

Di atas lantai tertinggi istana selatan, di ujung teras yang jarang di ketahui orang. Disini lah dia memintaku datang untuk menemuinya. Pria bertubuh tinggi dan berbadan tegap, wajah yang tertutup oleh topeng di bagian wajah, dan pakaian yang terbalut jubah dengan tudung hitam.

"kau seperti bisa membaca pikiranku. Kau juga mengetahui keberadaanku" ucapku.

"apa kau takut?" dia bertanya.

Dia tidak telihat seperti manusia, tapi aku tidak bisa mengatakan kalau dia bukan manusia. Aura hitam yang membuat orang lain tertekan, seakan bisa terlihat olehku. Tapi...

"tidak. Aku tidak takut padamu" jawabku.

Dia mendekat dan berdiri di hadapanku. Aku tidak tau dari mana dia datang, tapi aku lebih penasaran dengan wajahnya yang berada di balik topeng itu.

"aku bisa mencium bau darah dari tubuhmu. Sudah berapa orang yang kau bunuh malam ini?" tanyaku.

Suaranya yang berat dan tegas tidak keluar dari mulutnya, dia hanya terdiam di hadapanku. Sampai aku bisa mendengar hembusan angin yang membuat ranting dan daun bergesekan.

"aku melihatmu membunuh pria itu. Aku juga tau kau menyadarinya, karena itu aku menunggumu disini. Karena saksi, harus di bunuh agar tidak banyak bicara. Tapi, sepertinya kau memintaku untuk mengucapkan kalimat terakhir sebelum kematianku" ucapku.

Dia membawa pedang di tangannya. Pedang yang sama yang di gunakannya untuk membunuh pria di depan perpusatakaan. Aku tidak tau, bagaimana dia mengambil kembali pedang itu.

"lakukanlah. Aku tidak punya permintaan terakhir. Aku juga tidak akan meminta belas kasihanmu" ucapku sekali lagi.

Aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi aku tau saat ini dia sedang menatap tajam padaku.

"harapan terakhirmu adalah kematian?" akhirnya dia buka suara dan bertanya.

"tidak. Aku tidak memiliki harapan apapun" jawabku.

Anehnya, dia tidak melakukan apapun dan hanya terdiam, seakan menatapku.

"matamu itu..." ucapnya pelan.

Tangannya menyentuh pelipisku dan menyingkap rambutku ke belakang telinga. Aku memejamkan mata karena berpikir dia akan menyakitiku. Tapi aku salah.

Setelah beberapa lama, aku merasakan keheningan dan kekosongan. Saat aku membuka mata, sosok itu sudah tidak ada di hadapanku.

Akhirnya, aku mengeluarkan nafas lega dengan perlahan. Aku membohongi diriku sendiri kalau aku tidak takut padanya. Tapi aku pandai bersikap seolah tidak takut pada apapun, sama seperti saat aku menyembunyikan rasa takut ketika menghadapi lawan di arena balapan.

...***...

Terpopuler

Comments

Mami Yo

Mami Yo

oho..siapa dia?...😂😂😂

2021-09-01

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 80 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!