Boy masih memainkan jari-jari kecilnya diatas keyboard ketika Patrick bertandang ke kamarnya usai menjemput Belinda. Patrick melihat Boy sedang memakai headset di telinganya.
"Nak, apa yang sedang kau lakukan?"
"Hai, Paman. Kau sudah kembali?"
"Yeah. Kenapa tersenyum? Apa ada hal yang terjadi?" Patrick bertanya karena melihat senyum seringai dari wajah Boy. Semakin dilihat, Boy mirip dengan seseorang yang Patrick kenal.
"Paman tahu, aku berhasil menaruh alat penyadap di tas jinjing milik dokter Zara." jelas Boy santai.
"What?!" Patrick tercengang.
"Aku rasa aku mulai menemukan titik terangnya, Paman."
Patrick mencoba mencerna tiap kata yang diucapkan Boy.
"Ternyata benar jika Dokter Zara yang sudah menyembunyikan Profesor Gerald. Dia sudah mengakuinya, Paman."
Patrick bergeming. Ia tidak menyangka jika Boy akan seberani ini untuk melakukan penyadapan.
"Lalu, aku juga mendengar hal lain tentang Nyonya Helena." lanjut Boy.
"Eh?"
"Apa Paman mengenal Nyonya Helena? Dia adalah ibu dari dokter Roy. Sebenarnya apa yang dia inginkan? Kenapa dia ingin mencari tahu tentang aku?"
"Boy, kumohon jangan bertindak sendiri. Kau ada dalam pengawasan Paman. Jika terjadi sesuatu padamu, FBI akan menyalahkan Paman."
"Maaf, Paman. Aku hanya berusaha melakukan tugasku."
Patrick tak tega jika harus memarahi anak sekecil Boy. Kini ia harus lebih waspada karena Boy mulai mengetahui semuanya.
......***......
Hari itu, Boy kembali pergi ke rumah sakit Avicenna bersama Kenzo dan Riana. Zara amat senang bisa bertemu kembali dengan Boy. Anak kecil ini sangat membuat Zara penasaran dengan segudang kemampuannya.
Zara bicara empat mata dengan Boy. Kemudian Zara menyerahkan sebuah amplop pada Boy.
"Apa ini, dokter?" tanya Boy polos.
"Itu adalah surat perintah untuk melakukan proses autopsi dari pihak kepolisian. Dan kau terpilih untuk mendampingi dokter Roy dalam melakukan autopsi."
"Hah?!" Boy tercengang sekaligus senang.
"Yeay!!! Aku akan bekerja bersama dokter Roy..." Boy berteriak gembira.
Dari kejauhan Kenzo memperhatikan gerak gerik Zara dan Boy. Ia mendapat perintah dari Patrick untuk mengawasi Boy lebih intens.
Boy segera menuju ke ruang autopsi diantar oleh Zara dan juga Kenzo. Boy menyapa Roy seperti biasa. Ia memang sangat antusias jika harus berhubungan dengan Roy.
"Halo, dokter. Senang rasanya bisa bekerja bersama dengan dokter." ungkap Boy.
"Hmm." Roy hanya menjawab dengan dehaman.
"Kau sudah siap, Nak?" tanya Roy.
"Tentu, dokter." jawab Boy bersemangat.
Mereka berdua memakai masker dan sarung tangan terlebih dahulu sebelum memulai bekerja. Roy menatap Boy dengan tatapan tak biasa.
"Dengar, bocah. Aku tidak tahu dari mana kau dapatkan kemampuan itu. Tapi yang jelas, kau tidak akan bisa menyaingi pamorku sebagai dokter forensik terbaik disini. Dan entah kenapa kita harus dipasangkan untuk jadi rekan kerja. Aku bahkan tidak tahu sepak terjangmu di dunia medis ini." Roy mencibir Boy. Pria ini memang selalu tak mau kalah dalam hal apapun.
"Terserah dokter saja. Aku bahkan sudah punya banyak pengalaman di bidang ini. Dokter saja yang tidak tahu." Balas Boy tak mau kalah.
"Cih, dasar bocah. Sudah cepat bekerja. Jangan banyak bicara."
"Siapa juga yang banyak bicara? Bukankah dokter yang sedari tadi terus bicara?" Rasanya Roy ingin membungkam mulut kecil Boy yang berani melawannya bicara.
Sementara itu diluar ruangan, Kenzo masih setia melihat cara kerja Roy dan Boy. Hingga akhirnya Zara menginterupsi dan bicara dengan Kenzo.
"Dokter Kenzo, apa aku boleh bertanya sesuatu?"
"Iya, ada apa dokter?"
"Sebenarnya siapa orang tua kandung Boy?"
"Eh? Kenapa dokter bertanya?"
"Kenapa kau dan dokter Riana tercatat menjadi wali untuk Boy? Siapa sebenarnya ibu kandung Boy?"
Kenzo mulai tahu kemana arah pembicaraan Zara berlabuh.
"Dokter, yang harus dokter lakukan adalah mendampingi Boy dalam menggali potensi dalam dirinya. Bukan menggali kehidupan pribadi Boy."
"Kau!!!" Zara menunjuk Kenzo. "Bagaimana bisa kau dijadikan asistenku?"
"Entahlah. Tanyakan saja pada direksi rumah sakit!"
Karena kesal menghadapi Kenzo, Zara pun memilih undur diri dari sana. Kenzo hanya tersenyum penuh kemenangan.
"Ternyata benar jika dokter Zara sedang mencari tahu asal usul Boy. Makin lama masalah ini makin runcing. Zara tidak akan berhenti hingga ia mendapatkan identitas Belinda." batin Kenzo.
......***......
Dua jam berkutat dengan mayat korban pembunuhan membuat Roy mulai merasakan lelah. Ia memegangi dadanya yang terasa sakit.
Boy melihat ada gelagat aneh pada Roy.
"Dokter! Apa dokter baik-baik saja?"
"Yeah. Aku baik-baik saja. Kau lanjutkan saja pekerjaanmu." Roy segera menyingkir dari meja autopsi. Ia melepas masker dan sarung tangannya.
Boy hanya memandangi kepergian Roy. Tak lama seorang dokter pria mendatangi Boy.
"Dimana Roy?" tanya seorang dokter bernama Maliq.
"Dokter Roy sudah keluar dari sini. Ada apa, Dokter?"
"Roy tidak boleh terlalu lelah bekerja. Jantungnya bermasalah. Nak, apa kau bisa menyelesaikan pekerjaan ini tanpa bantuan Roy?"
"Iya, dokter. Aku bisa."
"Terima kasih, Nak. Aku akan memeriksa kondisi Roy."
Boy menganggukkan kepala dan melihat Maliq terburu-buru mengejar Roy.
Sejenak Boy terdiam. Ia memikirkan kondisi Roy yang ternyata tidak dalam keadaan baik-baik saja.
"Jadi, selama ini Papa sakit? Aku akan mencari tahu lebih lanjut soal ini. Dan aku akan membantumu, Papa. Kau tenang saja." gumam Boy dalam hati.
Maliq masuk ke ruangan Roy dan melihat Roy memegangi dadanya.
"Astaga, Roy! Sudah kubilang kau jangan kelelahan bekerja."
"Tidak apa, Maliq. Aku hanya perlu meminum obatku, 'kan?"
"Tidak sesederhana itu, Roy. Kau juga jangan terlalu banyak pikiran. Jika kau begini semua orang akan tahu kondisimu yang sebenarnya."
"Tidak, Maliq. Jangan sampai ada yang tahu mengenai hal ini. Kau adalah dokter terbaik dan juga sahabatku. Aku percaya kau bisa membuat hidupku lebih lama bertahan."
"Roy!!!" Maliq merasa iba melihat kondisi Roy.
Usai meminum obatnya, kondisi Roy mulai membaik. Ia kembali menemui Boy yang sedang bicara dengan Danial, si kepala polisi.
"Terima kasih banyak, Nak Boy. Rekomendasi dari FBI memang tidaklah salah."
"Sama-sama, Paman. Aku hanya berusaha semampuku saja."
Dari jarak yang tidak terlalu dekat, Roy menguping pembicaraan Boy dan Danial. Boy berhasil membuat analisis tentang profil si pembunuh. Memang cukup sulit jika hanya mengandalkan proses autopsi saja. Tugas selanjutnya adalah milik kepolisian untuk menentukan manakah tersangka yang paling cocok dengan kriteria yang dijabarkan Boy.
"Jadi, anak itu direkomemdasikan oleh FBI? Bagaimana bisa? Kenapa lembaga seperti FBI menempatkan Boy disini? Sangat tidak masuk akal! Apa yang sebenarnya terjadi disini?" Roy masih berkutat dengan pikirannya sendiri.
"Dokter Roy!" Panggil Boy.
"Eh?"
"Bagaimana kondisi dokter? Apa sudah lebih baik?"
"Yeah, begitulah. Kau sudah selesai, huh? Kerjamu lumayan juga."
Boy memutar bola matanya malas. "Bukankah aku mirip denganmu, Papa?" lagi-lagi Boy hanya membatin meskipun ia sudah sangat yakin jika Roy adalah ayah kandungnya. Kini ia makin yakin untuk bertanya pada ibunya, Belinda. Dan Boy harap, Belinda bersedia jujur.
#bersambung...
*genks, sambil menunggu cerita Boy ini UP, yg suka roman dewasa bisa mampir ke Raanjhana yak
Mumpung hari senin, kali aja ada yang mau kasi VOTE untuk Boy 😁😁
Terima Kasih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments
Titik pujiningdyah
jempolku menari-nari sampai disini dlu
2022-01-01
2
OktaVina23
Haii kak aku sudah mampir 😊
semoga bisa saling mendukung
2021-12-21
1
Nisa
mantap thor
2021-12-10
0