"Ngapain kamu disini? Ayo, pulang!" Lia terkejut melihat Bian sudah ada dihadapannya.
"Mas Bian?" Lia masih mematung terkejut melihat kedatangan tunangannya.
"Pulang!" titah Bian.
"Tapi Mas, aku ada janji dengan temanku." Aulia memohon untuk bisa tetap di sana karena sebuah janji. Baginya itu adalah sebuah janji penting. Namun Bian yang sudah terlanjur emosi tak fokus pada calon istrinya itu. "Ooo ... dengan laki-laki itu? Aku tak perduli apa hubunganmu dengannya. Yang jelas jangan coba-coba lagi pergi tanpa izin dariku. Aku tak tahan mendengar mama mengoceh karena kamu tak ada dirumah."
"Maaf, Mas ... " Lia mohon sekali lagi.
"Ayo, pulang!" Tanpa mendengarkan perkataan Aulia lagi, Bian menarik tangan gadis muda itu.
"Mas, Bian!" Bian menghentikan langkahnya. Dia menoleh pada Lia dengan pandangan kesal. "Ada apa lagi?"
"Ada hal penting yang harus aku bicarakan dengan Bang Didi. Sebentar saja, Mas." Dari pintu masuk kafe seorang laki-laki masuk kedalam dan menghampiri Lia.
"Hi, Dek. Apa kabarmu?" sapa Didi ramah. "Maaf ya, Dek. Kamu jadi menunggu lama." Didi tersenyum ramah lalu menyalami Aulia.
"Tidak kok, Bang. Aku juga baru sampai."Didi melirik ke arah Bian yang memandangnya dengan tatapan tidak suka. Aulia paham dengan aroma yang terjadi di antara mereka. Perasaan tak suka, canggung dan tak nyaman di antara Didi dan Bian. Alih-alih mencairkan suasa Lia mencoba membuka pembicaraan.
"Mas Bian, kenalkan. Ini Bang Didi. Sahabat Bang Akmal, almarhum kakakku," ucapnya.
"O, jadi kamu yang tadi menelepon ku?" todong Didi tak ramah.
"Menelepon?" tanya Lia sambil menatap kedua orang itu.
"Kalau mau bicara, bicara lah. Tapi aku akan tetap disini mengawasi kalian." Bian duduk dikursi. Membuka layar ponselnya. Lia dan Didi duduk berhadapan. Lia duduk bersisian dengan Bian yang berpura-pura acuh.
"Dek," panggil Didi. "Kamu yakin dengan keputusanmu itu. Ini bukan masalah sepele loh. Aset mu itu tidak sedikit. Perlakuan mereka ini tidak bisa dibenarkan secara hukum apapun."
"Biarkan saja, Bang. Aku tidak memperdulikan semua itu. Kehilangan mereka sudah membuatku trauma berkepanjangan. Aku tak mau berdebat masalah itu. Jika mereka ingin silakan saja." Pasrah itulah yang di lakukan lia.
"Kamu ikhlaskan semuanya? Gila kamu, Dek. Kamu dan Akmal benar-benar sedarah. Sifat kalian sama. Aku sebenarnya tidak setuju dengan keputusanmu. Tapi aku tak bisa berbuat banyak." Didi menghela nafas panjang mendengar keputusan dari Aulia. Dia tak bisa berbuat apapun karena itu adalah hak mutlak Aulia sebagai ahli waris.
"Terima kasih, Bang. Bang Didi terlalu banyak membantuku. Aku tak bisa membalas kebaikan Abang."
"Bukan begitu, Dek. Kamu sudah aku anggap adik sendiri. Aku khawatir dengan hidupmu kelak. Aku akan menikah bulan depan dan aku akan pindah ke Moskow. Bagaimana dengan mu disini, Dek," ucap Didi. Persahabatan dia dan Akmal memang sangat erat. Didi menganggap Lia seperti adiknya sendiri. Maklumlah, dia sendiri anak tunggal. Laki-laki mapan itu mendekat ke arah Lia dengan sedikit berbisik. "Apa kamu yakin laki-laki itu bisa membahagiakan mu?"
"Eh?" Lia terkejut mendengar pertanyaan mendadak dari laki-laki yang ada di hadapannya. Didi melirik pada Bian yang masih tetap tak perduli dengan pembicaraan mereka berdua. Lia tersenyum dan mengangguk perlahan. Didi hanya menarik nafas panjang. Dia berpamitan pada Lia dan Bian.
"Jaga diri baik-baik ya, Dek," pamitnya.
"Ya, Bang," jawab Aulia sambil tersenyum.
"Hei, kamu. Ingat ucapanku. Aku percayakan Aulia padamu. Tapi kalau sampai kamu menyakitinya, dari ujung duniapun akan aku cari kamu." Lagi, Bian tak memperdulikan mereka. Didi pergi menaiki mobilnya lalu menghilang dikeramaian kota.
******
"Mas Bian," panggil Aulia di dalam mobil. Bian hanya sedikit menoleh pada calon istrinya itu. "Terima kasih ya, sudah menemani aku hari ini."
"Siapa laki-laki tadi? Sombong sekali dia!" kesal Bian.
"Bang Didi sudah seperti keluarga sendiri. Dia sahabat baik Bang Akmal sejak sekolah dasar."
"Aku sudah tahu itu. Tadi kamu sudah bilang!"
"Dia yang membantuku saat keluarga kami kecelakaan. Abi, Umi dan Abang semuanya meninggal dunia. Dan aku koma dirumah sakit selama lima hari. Sampai sekarang aku tak bisa melupakan kejadian itu"
"Kalau orang sudah meninggal ya meninggal saja, tidak perlu di tangisi berlebihan. Memangnya dengan kamu menangis mereka bisa hidup kembali? Jangan merengek seperti anak kecil. Tidak ada gunanya!" Lia menatap pada laki-laki yang duduk disampingnya. Airmatanya mengalir. Kata-kata Bian sangat kasar dan menyingung perasaannya.
"Kenapa? Kamu tak terima dengan ucapanku?" Kali ini seringai Bian membuat Lia terluka. Airmatanya mengalir deras.
"Itu terlalu kasar Mas. Tidak bisakah kamu menaruh rasa empati pada orang lain"
"Aku tidak perduli dengan perasaan orang lain. Bagiku semua sama saja. Teman yang baik saat kamu ada masalah adalah minum." Dengan cueknya Bian menyatakan hal itu. Kebiasaan mabuk dan sex bebasnya pada Aulia. Semua itu berada di luar perkiraan gadis muda itu.
"Minum? Kamu suka mabuk Mas?"
"Ya, aku suka minum dan mabuk. Aku juga suka bersenang-senang dengan perempuan menikmati keindahan tubuh perempuan cantik. Aku tak perduli apa kata orang!" tawa Bian membuat bulu kuduk merinding saat itu.
"Astaga, kamu ... berzina?" Aulia menatap pada Bian yang tetap tak perduli dengan rasa kaget calon istrinya itu. "Kenapa? Itu mengganggu mu?"
"Itu dosa Mas Bian" Bian tak memperdulikan apa yang diucapkan Lia dia terus saja melajukan kendaraannya dengan kencang. Dari arah depan ada sebuah mobil pickup, Bian memutar stir mobilnya kekanan. Lia histeris disebelahnya. Kedua mobil itu saling berhadapan.
Ketika jarak hampir mendekat Bian kembali memutar stir mobil kekiri dan terus menambah kecepatannya, sampai akhirnya mereka berhenti di lapangan kosong. Lia turun dari mobil dengan tubuh yang gemetaran. Dia terduduk ditanah. Nafasnya menderu kencang. Dadanya terasa sesak dan airmatanya mengalir deras.
"Bangun!" perintah Bian sambil melemparkan sebotol air mineral. Lia masih sesegukan, dia meminum air itu buat menenangkan dirinya. Dia menyandarkan dirinya dibadan mobil. "Ayo, Pulang! Bosan aku melihat anak cengeng sepertimu."
Mereka kembali menaiki mobil menuju rumah kediaman keluarga Ibramsyah. Mereka sampai pukul tujuh malam. Lia sudah tertidur dimobil saat mereka tiba. Mira sedikit berlari menghampiri mobil Bian. "Syukurlah kalian sudah pulang, Mama khawatir sekali. Mana Lia?" tanyanya.
"Itu di dalam. Dia tertidur. Tadi kami main-main sebentar," ketus Bian.
"Tidur? Ya ampun, dia pasti lelah. Kalian main sampai malam begini. Bawa dia kekamar Bian?!"
"Hah!" Manik mata Bian menolak titah mamanya. "Bawa? Maksudnya aku harus menggendongnya? No, Mama!! Biarkan saja dia dimobil." Bian hendak berjalan masuk kerumah, namun Mira menarik tangan putra tunggalnya itu. Meminta dengan tegas agar Bian membawa Lia ke kamar.
"Bian! Kamu ini apa tidak kasihan. Bawa dia kekamar, biar dia bisa istirahat dengan nyaman" Dengan ogah-ogahan Bian membuka pintu mobil dan membopong tubuh Aulia lalu membawanya kekamar. Merebahkannya diatas tempat tidur.
"Umi," igau Lia. Bian menatap pada perempuan muda itu. Ada secuil bulir air diujung matanya. Bian mendekat dan mengusap airmata yang merembes dari kedua mata Lia yang tertidur. Cantik juga perempuan ini, batinnya. Lalu cepat-cepat dia menampik pikirannya dan pergi.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
AGR
👍👍👍👍👍
2021-12-06
0
Galih Dwitirta
q dah byangin nasib bocil sholeha ini...ngenes amat idupnya
2021-08-03
0
Mita Ramlan
brengseknya bian
2021-06-23
2