"Pagi, Sayang. Pagi sekali kamu bangun," sapa Mira ketika melihat calon menantunya sudah sibuk di dapur bersama asisten rumah tangga.
"Pagi, Ma. Terbiasa di asrama, Ma. Aku sudah siapkan sarapan dan teh hangat di meja makan."
"Ya, Sayang. Coba kamu bangunkan Mas Bian mu. Ajak dia turun dan makan sama-sama"
"Eeh," ucap Lia kaget. Dia menatap wajah calon mama mertuanya. Meyakinkan lagi apa yang dia dengar tadi.
"Sudah, tidak apa-apa. Kamarnya diatas. Sebelah kanan." Lia berjalan menaiki tangga, dia sungkan membangunkan laki-laki lain yang belum jadi siapa-siapanya. Namun demi menghormati permintaan calon ibu mertuanya Lia berangkat juga menuju kamar Bian.
Lia mengetuk pintunya. Tidak ada respon dari dalam. Lagi, sunyi dari dalam. Tak ada jawaban. "Mungkin Mas Bian masih tidur," pikirnya. Gadis muda itu berniat pergi dan meninggalkan kamar. Tiba-tiba pintu terbuka dan Bian muncul di belakangnya dengan wajah lusuh.
"Ada apa? Kamu berisik sekali!" bentak Bian.
"Maaf, Mas. Mama memanggil mu untuk turun dan sarapan bersama."
"Sarapan?" Kali ini Bian terkejut. Tak biasanya mereka sarapan bersama, terlebih sejak papanya meninggal dunia. "Sebentar lagi aku turun."
Brak!
Bian menutup pintu kamar dengan kasar. Lia menghela nafas panjangnya. Dia kembali turun kebawah menuju ruang makan.
"Mana Mas Bian mu, Sayang?" tanya Mira.
"Katanya sebentar lagi dia turun, Ma." Lia menyusun peralatan makan diatas meja, piring, gelas, sendok dan garpunya disusun rapi. Bian turun dari kamarnya dengan sudah berpakaian rapi. Membasuh wajahnya agar tidak terlihat lusuh. "Pagi, Ma," sapanya.
"Pagi, Sayang. Sini duduk kita sarapan sama-sama." Mira meletakkan sebuah piring dihadapan Bian.
"Tumben pakai sarapan?" celoteh Bian acuh.
"Lia sudah membuatkannya. Duduklah!" Bian melirik pada Lia. Perempuan muda itu mengambilkan sepiring nasi goreng plus telor ceploknya. Dia meletakkan piring itu didepan Mira. Lalu dia mengambilkan Bian serupa, dan meletakkannya di depan Bian. Mengisi air minum mereka. Barulah setelah itu dia mengisi piring dan gelasnya sendiri.
"Masakan mu enak sekali, sayang. Bagaimana Bian, enak bukan?" tanya Mira.
"Hmm," jawab bian singkat.
******
"Sudah Sayang, tidak usah dikerjakan. Ada asisten rumah tangga nanti yang mengerjakannya." Mira mencegah Lia yang hendak membersihkan rumah. Dia sudah rapi dan membersihkan diri. Karena terbiasa bekerja, tinggal dirumah besar seperti ini yang punya asisten rumah tangga membuat dia kikuk.
"Ya, sudah kamu temani Mas Bian mu saja, biar kalian cepat akrab. Biar chemistry- nya lebih terjalin." Mira tersenyum pada calon menantunya. Idenya mucul untuk mengakrabkan mereka berdua.
"Tapi, Ma. Nanti Mas Bian terganggu dengan keberadaanku," sanggah Lia sopan.
"Sudah tenang saja. Kamu yang sabar ya menghadapi Mas Bian mu." Aulia hanya tersenyum. Dia menuju balkon atas. Disana Bian sedang asik dengan ponselnya. Bian hanya melirik melihat kedatangan Lia yang mendekatinya.
"Ada apa?" tanya Bian, lagi-lagi tak ramah.
"Mas Bian sedang apa?" Aulia mencoba membuka obrolan, walaupun dia tahu calon suaminya akan bersikap ketus padanya.
"Bukan urusanmu." Tepat seperti apa yang dia pikirkan sebelumnya. Bian hanya membentak gadis muda itu. Lia tersenyum, dia berdiri di sebelahnya. Memandang ke arah halaman belakang dari atas balkon kamar.
Ponsel Lia bergetar. Lia melihat layar ponselnya. Sampai ketiga kalinya ponsel itu berbunyi Lia tak jua menggubrisnya. Bian melirik pada layar ponsel Lia yang ada di sampingnya.
"Kenapa tidak diangkat?" tanya Bian sambil melirik. Sepertinya pikiran Lia sedang tidak ada disitu. Dia tak mendengar ucapan Bian.
"Hei, aku bicara padamu!" ucap Bian agak keras. Lia terkejut. Di ujung matanya ada sebulir airmata yang hampir menetes namun ditahannya. Dia berusaha tersenyum.
"Siapa yang menelepon? Kenapa tidak kamu angkat?"
"Teman, Mas. Maaf, aku tinggal dulu." Perempuan muda itu menuruni tangga menuju kamarnya dilantai bawah. Sampai sore dia tidak kunjung keluar kamar.
******
Mira yang baru saja pulang dari toko meubelnya mencari calon menantunya ke atas kekamar Bian.
"Apa Lia tidak bersamamu, Bian?" tanya Mira.
"Tidak."
"Dimana dia?" rona wajah mamanya menjadi cemas.
"Tidak tahu." Jawaban singkat Bian membuat Mira kesal. "Cari dia Bian, dikamarnya tidak ada."
"Dia bukan anak kecil lagi, Ma. Biarkan saja nanti juga pulang sendiri." Bian kesal sekali harus mengurusi anak kecil seperti Lia yang bukan seleranya.
"Pokoknya Mama tidak mau tahu. Kamu harus cari dia sampai ketemu," titah Mira.
"Kenapa harus Bian sih, Ma?" Bian membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Kamu kan calon suaminya. Kamu harus memperhatikan dia. Jangan sampai dia ada apa-apa. Cari dia sampai dapat." Dengan langkah malas Bian turun dari tempat tidurnya. Harus cari kemana sih ini anak? Bikin aku repot saja, gerutu Bian dalam hati. Dia menuju kamar tamu, dia melihat kamar itu kosong. Ponsel Lia tergeletak diatas tempat tidur.
"Mas Bian cari siapa?" tanya Ujang si tukang kebun saat Bian mencari kehalaman belakang.
"Kamu lihat Lia?"
"Neng Lia tadi buru-buru pergi setelah menerima telepon, dia bilang mau bertemu dengan temannya sebentar." Ucapan Ujang membuay kedua alisnya bertemu di tengah dahi.
"Kemana?" tanyanya lagi.
"Dia tidak bilang."
"Ya, sudah." Bian melihat ada tiga panggilan tak terjawab dari ponsel Lia. Dia menelepon nomor yang tertera itu. Seseorang mengangkatnya dari ujung sana.
"Halo." Suara seorang laki-laki diujung sana. Bian mengerutkan keningnya. "Kamu tahu dimana, Lia?" tanya Bian tak ramah.
"Lia? Kamu siapa?" laki-laki itu balik bertanya. Bian mulai kesal. "Tidak penting aku siapa. Dimana Lia?"
"Apa aku harus memberi tahu kamu?" Kali ini Bian mendapat lawan. Laki-laki itu bersikap tak ramah juga padanya.
"Harus. Aku harus menemukan Lia sekarang juga." Nada suara bian makin meninggi.
"Apa hubunganmu dengan Lia?"
"Penting kamu tahu apa hubunganku dengan Lia. Beritahu saja dimana dia sekarang!" Emosi Bian makin meninggi. Dia tak sabar ingin mendapatkan jawabannya. Namun lagi-lagi ketus yang di dapatkannya
"Apa perdulimu!" laki-laki itu pun mulai memanas.
"Cepat katakan. Bukannya kamu yang dari tadi menelepon Lia. Katakan dimana Dia. Lia adalah tunanganku."
"Apa? Tunangan? Jangan bercanda." Orang tersebut mematikan telepon nya. Bian kesal setengah mati. Dia memaki-maki laki-laki tadi. Dia mencoba membuka ponsel Lia, untung saja ponsel itu tidak di password. Bian mengambil kunci mobilnya lalu melajukan mobilnya dengan kecang menuju pusat kota.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Vonny Suhardiman
thor cewenya kho lecil banget sih
2021-04-30
1
Zaniar Niar
lia anak yg di besar kan di lingkungan panti ,di usia 14 tahun berani juga ,apalg keluar rumah dan bertemu cowok....
2021-03-19
1
Nhi..Queen..syaa
duh si Lia masih SMP aja udah berani' ketemuan sama laki2 tnp izin pula
2021-02-27
3