Happy reading ....
*
Suasana tempat itu terasa sepi meski berada tak jauh dari jalan raya. Lalu lalang kendaraan terdengar samar oleh seorang pengunjung yang sedang khusyuk melapalkan doa.
Setelah menyelesaikan doa, Arjuna menaburkan bunga di atas pusara yang bertuliskan nama ibu dan neneknya. Mengunjungi makam orang terkasih, selalu mampu mengobati hati Arjuna di kala sedih.
"Bu ... Juna sudah memutuskan menerima hak sebagai putra ayah. Semoga ibu merestuinya. Juna akan berusaha keras membuat kakek bangga sekaligus menyesali sikapnya yang sudah memandang rendah kita. Juna juga ingin memperjuangkan Natasha, Bu. Suatu hari nanti, Juna akan mengajaknya ke sini," ucap Juna sembari mengusap pelan nisan ibunya.
Dengan menggunakan taksi, Arjuna kembali ke penthouse. Banyak hal yang akan ia pelajari termasuk latar belakang perusahaan kakeknya.
Arjuna terlahir dengan kecerdasan di atas rata-rata. Ia sempat mendapatkan beasiswa kuliah di universitas negeri yang berada di luar kota. Namun kondisi nenek yang sering sakit, membuat Arjuna mengubur dalam cita-cita, dan memilih bekerja serabutan sambil mengurus neneknya.
Arjuna menatap lekat beberapa foto yang terpampang di layar monitor laptopnya. Dalam salah satu foto, ia dapat melihat sosok ayahnya di masa muda. Juga foto anggota keluarga besar Abdullah Al-Fatih yang lain.
"Ahmed, sebelum ayahku meninggal, apa beliau sakit?" tanya Arjuna pelan dengan tatapan masih tertuju ke layar monitor.
"Iya, Tuan Muda. Tuan Zaid didiagnosa menderita kanker esofagus," jawab Ahmed.
"Kanker esofagus?" Arjuna menoleh pada Ahmed dengan kening yang berkerut.
"Tuan Zaid tidak tertolong, secara psikis beliau juga tidak ada semangat hidup. Sebelum meninggal, pada Tuan Besar beliau mengatakan bahwa istrinya sedang mengandung saat meninggalkan rumah mereka," tutur Ahmed dengan suara berat.
"Jadi maksudmu, ibuku meninggalkan keluarga itu tanpa sepengetahuan ayah? Dan apa kau tahu, mengapa ayahku tidak menyusul ibuku kesini dan memintanya kembali? Aku yakin, ibuku tidak mungkin melakukannya tanpa alasan yang kuat."
"Ibu anda pergi atas permintaan Tuan Besar. Almarhum Tuan Zaid saat itu dihadapkan pada dilema, Tuan Muda. Kondisi almarhumah Nyonya Besar sedang kritis dan beliau harus memilih antara ibu atau istri. Mohon untuk tidak membenci beliau. Setelah kepergian ibu anda, Tuan Zaid menenggelamkan diri dalam kesibukan sampai beliau sakit."
Arjuna terpaku mendengar penuturan Ahmed. Rasa haru menyeruak di hatinya.
"Kakekku mempunyai banyak cucu, lalu mengapa dia mencariku? Bukankah itu seperti menjilat ludahnya sendiri?"
"Karena hanya anda yang menyandang nama beliau. Tuan Besar hanya ingin keturunan Tuan Zaid yang duduk di kursi kekuasaan Al-Fatih."
Arjuna cukup mengerti, selain sebagai anak tertua, almarhum ayahnya merupakan putra satu-satunya. Ia memiliki empat saudari yang artinya tidak satu pun cucu Abdullah menyandang nama Al-Fatih.
"Apa mereka mengetahui keberadaanku?"
"Tidak, Tuan Muda. Mohon maaf saya menyampaikan ini ... selama tiga bulan dari sekarang, bekerja keraslah untuk membuktikan diri anda pantas berada di posisi itu."
"Kenapa?" tanya Arjuna datar.
"Ketahuilah, para paman dan sepupu anda tidak semuanya benar-benar baik. Diantara mereka ada yang serakah, iri, dan pastinya hanya mementingkan kepentingan pribadi, bukan kepentingan perusahaan. Saya mohon, jangan biarkan perusahaan jatuh ke tangan salah satu dari mereka. Jangan biarkan kerja keras Tuan Zaid sia-sia." Ujarnya dengan kepala yang tertunduk.
Arjuna tertegun. Penuturan Ahmed semakin menguatkan tekadnya.
***
Hari mulai petang saat mobil yang dikemudikan Natasha menepi di garasi kediaman Adipura. Natasha melirik pada motor jadul milik Arjuna yang terparkir sejajar dengan dua motor yang diperuntukkan bagi pelayan.
Miris, Arjuna adalah suaminya, menantu keluarga ini, akan tetapi jangankan sebuah mobil mewah, bahkan motor pelayan pun lebih baik daripada motor Arjuna.
Natasha melenggang masuk ke dalam rumah sambil menenteng rantang makanan. Ia bahkan tak ada niat untuk sekedar menyapa Inge yang sedang menikmati teh.
"Arjuna!" panggilanya.
"Hei, Kau! Katakan pada Arjuna, aku memanggilnya," titah Natasha pada seorang pelayan sambil menyodorkan rantang makanan.
"Mas Juna sedang keluar, Non," sahut pelayan yang menerima rantang itu.
"Apa? Baru saja aku melihat motornya di garasi. Lalu kemana dia, sejak kapan?"
"Mas Juna tidak ada sejak pagi."
Natasha mengernyitkan keningnya melihat pelayan itu sedang menilik rantang yang baru saja ia berikan.
"Kenapa?" tanya Natasha heran.
"Maaf, Non. Sepertinya ini bukan rantang yang ada di sini."
"Oh ya? Terus rantang siapa dong?" Pelayan itu menggeleng pelan.
Natasha meneruskan langkah dengan ekspresi bingung. Ia juga menebak-nebak kemana perginya pria itu.
Sampai malam tiba, Arjuna belum datang juga. Di kamarnya, Natasha merasa gelisah. Ada perasaan bersalah di hatinya mengingat kejadian siang tadi. Sialnya, ia bahkan tak memiliki nomer ponsel Arjuna.
Tok ... tok.
"Non Tasha, ditunggu makan malam oleh Tuan," panggil seorang pelayan.
Natasha keluar dari kamar dan menuruni tangga menuju ruang makan. Gerakan matanya tak bisa menutupi bahwa ia sedang mencari sosok Arjuna.
"Aku tidak melihat Arjuna," ucap Kania.
"Dia belum pulang, atau mungkin tidak akan pulang," sahut Inge.
"Dia pasti merasa malu atas apa yang terjadi siang tadi," imbuh Kania.
"Memangnya apa yang dia lakukan?" tanya Inge penasaran.
"Dia ingin terlihat memiliki selera tinggi dengan memesan Ohmi beef steak, tapi dia ...."
"Diamlah! Apa ibumu tidak mengajarkan bagaimana etika di meja makan?" tanya Natasha dengan nada tinggi.
"Kau-."
"Arjuna sudah membayar pesanan siang tadi dengan uangnya sendiri. Jadi berhentilah menggunjing di depan makanan. Kau merusak selera makanku," imbuh Natasha ketus.
"Apa? Membayarnya sendiri? Apa kalian percaya itu?" tanya Kania dengan raut mengejek sambil menahan tawa. Tidak hanya Kania, Joshua, dan Inge, Adipura juga melakukan hal yang sama.
"Aku percaya. Bisa jadi saat ini dia bekerja sampai larut untuk membayar tagihannya. Atau mungkin dia akan bekerja selama sebulan di restoran itu tanpa digaji," sahut Joshua dengan senyum yang mengejek.
Natasha merasa geram dengan sikap mereka. Ia pun beranjak dari kursi dan meninggalkan ruangan tersebut. Natasha bahkan tidak perduli saat Adipura memintanya untuk tetap duduk dan melanjutkan makan malam. Dalam benaknya ia mulai bertanya-tanya, benarkah Arjuna sedang bekerja untuk membayar tagihan restoran?
***
Waktu terus berlalu, Natasha semakin gelisah karena Arjuna belum juga kelihatan batang hidungnya. Saat ini, banyak hal yang ingin ia lakukan. Mulai dari menanyakannya pada pihak restoran melalui telepon, hiingga berpikir mendatangi restoran itu dan meminta Arjuna untuk pulang.
"Haruskah aku melakukan itu?" gumamnya pada diri sendiri.
Natasha beranjak menuju balkon kamar yang pintunya dibiarkan terbuka. Ia berniat untuk mendinginkan isi kepalanya sebentar. Kening Natasha berkerut melihat mobil Joshua meninggalkan halaman rumah. Pikirnya mau kemana Joshua selarut ini?
Belum hilang rasa penasaran Natasha, keningnya kembali berkerut melihat sebuah mobil berhenti tak jauh dari pintu gerbang utama. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat seorang pria turun dari mobil itu.
Awalnya Natasha tak ingin memperhatikan lebih teliti, namun sosok pria itu sama persis dengan sosok pria yang sedang ia tunggu. Natasha semakin yakin melihat langkah pria itu menuju pintu samping rumah utama.
Dengan langkah cepat, Natasha keluar dari kamarnya. Setengah berlari ia munuruni tangga. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Natasha memutar badan dan berlari cepat kembali ke dalam kamarnya.
Tak lama .... Ceklek. Ada yang membuka pintu kamar Natasha, lalu menutupnya. Terdengar langkah menuju arah lemari pakaian Arjuna, kemudian langkah itu terdengar mendekati tempat tidur.
Ke-kenapa Arjuna mendekat ke sini? Apa dia sudah gila? pekik Natasha dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Imam Sutoto Suro
top deh lanjut thor
2024-01-30
3
Gunawan Jaya
mantab
2023-09-30
1
betsyeba Djo
bikin penasaran nih
2023-07-24
0