Sandy sangat terkejut mendapati foto Sally telah menghilang kakinya. Sandy bahkan melempar foto tersebut karena kaget.
Deg... deg.... deg....
Rasa takut menguasai diri Sandy. Namun rasa penasaran dalam dirinya mengalahkan rasa takut yang Ia rasakan.
Sandy perlahan mengambil foto yang tadi Ia lempar. Tangannya gemetar saat memegang foto tersebut.
Apa yang Ia lihat tidak salah. Memang benar Sally berdiri hanya dengan satu kaki. Ia ingat betul kalau fotonya aman di dalam dompet, tak terkena air sama sekali. Jadi memang bukan karena tintanya memudar. Lalu karena apa?
Suara langkah kaki Linda terdengar menuruni tangga. Cepat-cepat Sandy memasukkan foto Sally ke dalam dompetnya kembali.
"Loh kupikir kamu duduk di ruang tamu? Kenapa masih disini?" tanya Linda.
"Er... Aku tadi... Habis cuci tangan. Iya... Tadi agak kotor tanganku. Karena rumah kamu besar banget, aku tahunya cuci tangan di washtafel aja." jawab Sandy. Meski awalnya agak gugup namun kebohongannya tertutup dengan sempurna.
"Yaudah ayo kita nonton film yuk. Aku udah beli DVD terbaru. Kita nonton sama-sama ya." Linda menggandeng tangan Sandy dan mengajaknya menonton DVD.
Film yang Linda setel udah sering Sandy tonton. DVD bajakan lebih update bukan dibanding DVD Ori yang Linda beli?
Sandy merasa bosan. Ia menonton hanya demi menyenangkan hati Linda saja. Sebenarnya, Sandy justru memikirkan hal lain.
Di lain tempat, Shanum yang sedang membantu Bundanya membuat kue tiba-tiba merasa sesuatu yang aneh menimpanya. Ia merasa dadanya agak sesak.
Shanum yang sedang berdiri sambil menghias kue pun sampai berjongkok sambil memegang dadanya. Tidak sakit, hanya agak sesak saja.
Dan ada yang aneh terjadi. Tanpa merasa sedih, tiba-tiba air mata menetes keluar dari bola mata Shanum yang indah.
Ada apa ini? batin Shanum.
"Loh kamu kok malah jongkok begitu, Num? Kamu kenapa? Kamu sakit?" Bunda yang melihat keadaan Shanum langsung khawatir. Ia pun memeriksa kening Shanum apakah demam atau tidak.
"Kok kamu nangis? Apa yang sakit? Kamu enggak demam loh padahal." tanya Bunda penuh kekhawatiran.
Shanum menggeleng. "Aku enggak apa-apa Bunda. Cuma tiba-tiba dadaku agak sesak dan tanpa kusadari aku menangis."
"Apa perlu kita ke dokter? Kita periksa saja ya." Bunda membantu Shanum bangun dan mendudukkannya di kursi makan tempat Shanum biasa menghias kue.
"Shanum baik-baik saja, Bun. Beneran deh. Shanum hanya heran aja bisa tiba-tiba melow kayak gini. Apa ini sebuah firasat ya Bun?" tanya Shanum yang kini memegang dadanya yang sudah tidak sesak lagi.
"Bunda takut kamu punya asma, Num. Memang sebaiknya diperiksa biar enggak khawatir Bunda." Bunda menuangkan segelas air putih yang langsung diminum Shanum.
"Nanti saja diperiksanya Bun. Kalau Shanum kayak gini lagi. Mungkin kelamaan berdiri kali Shanum. Bunda tau kan kalau lagi menghias kue suka asyik sendiri." kata Shanum beralasan.
"Yaudah terserah kamu. Bilang ya sama Bunda kalau kamu ngalamin kayak gini lagi." Shanum mengangguk, mengiyakan perkataan Bundanya.
Tanpa Bunda tau, Shanum masih merasa tak tenang. Entah sebuah firasat atau apa namanya. "Semoga bukan hal yang buruk." doa Shanum.
****
"Wah kerja kelompok kita kompak ya. Udah hampir selesai." ujar Satria saat mereka berkumpul di cafe milik Sandy beberapa hari kemudian.
"Iyalah. Ngapain ngerjain begini aja sampai lama? Nantinya juga makalah kita bakalan jadi bungkus kacang!" ketus Sandy.
"Yah jangan begitu dong. Siapa tau bisa bermanfaat buat orang lain." protes Siska.
"Cih! Sebelum bisnis kayak gini kan gue suka ngumpulin koran bekas terus dijual ke tukang sayur deket rumah Ibu gue. Banyak tuh disana makalah kayak begini. Buang-buang kertas tau enggak! Sayang pohon ditebangin kalau ujung-ujungnya cuma jadi pembungkus cabe dan bawang di pasar." kata Sandy.
"Ah masa sih? Serius lo ngumpulin duit dari koran bekas? Gila ya. Hebat banget lo sampai bisa sukses kayak sekarang." puji Siska.
"Ya namanya juga hidup. Harus berpikir maju ke depan." kata Sandy sok berfilosofi. "Mana nih uang taruhannya? Lumayan 100 ribu buat makan bakso ha...ha...ha...!" Sandy menagih janji taruhan bola dengan Satria.
"Masih butuh nih 100 ribu? Lo kan udah kaya!" ujar Satria sambil memasang wajah memelas.
"Siapa suruh lo taruhan sama gue? Kalau taruhan sama gue tuh siap-siap aja kalah!" ujar Sandy dengan sombongnya. Iyalah kalah, Sandy kan hobby bola wajar saja kalau Ia hapal siapa pemenang pertandingan bola yang sudah lalu.
"Nih!" dengan muka cemberut Satria memberikan uang 100 ribu pada Sandy.
"Next kita taruhan lagi ya!" ajak Sandy lagi.
"Oke. Lain kali gue enggak akan kalah!" tekad Satria.
"Kita lihat aja nanti!" Sandy kembali tersenyum. "Kalau gini caranya cepet kaya gue. Lumayan ah buat nambahin modal!" batin Sandy.
"Lo kenapa Num? Gue liatin lo diem aja dari tadi? Lo sakit?" tanya Satria. Sandy dan Siska pun menoleh ke arah Shanum yang memang hari ini terlihat lebih pendiam.
"Enggak apa-apa. Gue baik-baik aja kok." jawab Shanum.
"Belum makan kali lo! Mau makan apaan? Biar gue pesenin di depan!" kata Sandy agak ketus namun sebenarnya niat dia baik.
Shanum menggelengkan kepalanya. "Gue enggak apa-apa. Beneran. Enggak laper juga. Gue cuma merasa kayak ada firasat jelek aja. Enggak tenang gitu. Kayak ada sesuatu yang akan hilang dari hidup gue."
Deg... Sandy menatap Shanum dengan tajam. "Sejak kapan lo ngerasa kayak gitu?"
"Em... Sejak malam sepulang dari kerja kelompok disini waktu itu. Gue enggak tau apa yang terjadi, tiba-tiba pas gue bikin kue perasaan gue enggak enak banget. Dan tanpa gue sadari ternyata gue ngeluarin air mata. Aneh banget enggak sih?" curhat Shanum. Ia merasa tak enak bercerita pada Bunda, mungkin temannya punya solusi. Bunda terlalu khawatir Shanum kenapa-napa, dan Shanum tak mau itu.
Sandy terdiam. Sandy mulai berpikir dan menghubungkan semuanya. Kaki Sally yang menghilang dalam foto dan Shanum yang tiba-tiba menangis tanpa sebab dengan perasaan yang tak enak tiba-tiba muncul. Apa ini memang ada hubungannya?
"Cuekkin aja, Num. Mungkin pengaruh hormon kali. " kata Siska asal.
"Hormon apaan bikin kayak gitu?" ledek Satria.
"Yeh.... Bisa aja tau. Kalau orang hamil aja karena pengaruh hormon tiba-tiba bisa nangis. Eh tapi kan Shanum enggak lagi hamil ya. Iya kan Num?" tanya Siska tak percayaan.
"Enak aja lo kalo ngomong! Gue enggak hamil! Jangan ngaco!" Shanum memukul kepala Siska dengan selembar kertas. Biar otak errornya enggak konslet.
Kini gantian Sandy yang terdiam. Omongan Siska enggak sepenuhnya salah. Pasti ada hubungan dengan ini semua. Sandy harus mencari tahu apa itu. Mencari Black juga Ia tak tahu bagaimana caranya. Padahal hanya Black yang bisa menjawab pertanyaan Sandy.
Esoknya Sandy ke perpustakaan. Mencari cowok berpakaian serba hitam. Berharap Black ada di perpus. Ternyata di perpus tak ada.
Sandy pun mengarahkan motornya ke tempat Ia terbangun dulu. Pos kamling di perkampungan yang kini sudah banyak berubah.
Pos kamling itu masih ada, namun hanya bapak-bapak saja yang ada disana. Kemana Ia harus mencari Black?
Sandy pun pulang ke rumah Ibunya. Tak lupa Ia memeluk erat Ibunya. Berkat Sandy yang memaksa Ibu untuk periksa ke dokter, Ibu jadi tahu apa penyakitnya dan lebih sehat. Setidaknya Sandy bisa lebih lama merasakan kasih sayang Ibu. Tak sia-sia Ia kembali ke tahun milenium ini.
Tapi apakah benar apa yang sudah ditakdirkan dalam garis takdir bisa dirubah?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Fandek
smoga lekas sadar Sandy
inget anakmu Sally donggg
2021-10-09
2
secangkirkopi
takdir ada yang bisa dirubah ada yang g bisa dirubah, tapi soal kematian bagaimana pun cara menghindarinya akan tetap menghampiri
2021-10-05
2
🙃😉
wahhhhh makin penasaran...
2021-09-23
3