Bimo menuju ke kursi kemudi. Dia berfikir untuk menyalakan minibus dan membawa minibus itu turun ke dataran lebih rendah. Mungkin saja bila berada di dataran lebih rendah, suhunya tidak akan sedingin saat ini. Sehingga bila esok hari, dia bisa segera balik ke tempat itu untuk menikmati golden sunrise yang dia inginkan.
Tapi saat dia berusaha menekan gas, minibus itu seperti berat untuk berjalan. Bimo pun turun untuk mengecek, mungkin saja ada batu yang menghalangi.
“Shit… Bannya bocor. Hm…” umpatnya pelan. Kedua ban bagian belakang bocor. Di belakang bagasi memang ada ban cadangan saat dilihat. Tapi cuma satu. Jadi percuma saja bila dia menggantinya jika hanya sebelah saja.
Akhirnya Bimo masuk kembali ke dalam minibus itu. Dia berjalan mendekati dimana Ajeng sedang tidur.
Bed yang ada di dalam minibus itu berukuran cukup besar. Sebetulnya muat bila dipakai berdua. Tapi bila Ajeng terbangun dan tahu kalau dia tidur di atas bed yang sama dengan dirinya, sudah pasti Ajeng bisa menganggap kalau dia menidurinya. Padahal bila dia pergi bersama dengan teman-temannya menaiki gunung, itu adalah hal yang biasa bila hanya sekedar berbagi bed. Tapi mengingat Ajeng mengatakan kalau ini adalah pertama kalinya dia tidur di dataran tinggi pegunungan, pasti Ajeng akan salah paham.
“Huft… Very cold…” Bimo semakin tidak kuat saja dengan suhu di tempat itu. Akhirnya dia mengecek apakah di dalam minibus itu ada heater atau alat penghangat untuk mobil. Tapi ternyata tidak. Minibus itu hanya memiliki AC.
Akhirnya Bimo memilih untuk membuka botol red wine yang dia punya. Kandungan alkohol pada red wine akan lebih membantu menghangatkan suhu tubuhnya dari dalam. Selain itu dia berharap agar bisa cepat tidur karena sebetulnya bila tengah malam dirinya terbangun, dia akan susah untuk kembali melanjutkan tidur.
“Ah…” Bimo merasa lebih baik setelah meneguk satu gelas red wine.
Dia berlanjut menuangkan… meneguk… dan menuangkan sampai botol itu kosong.
“HE’ÉG… Huft…”
Karena kepalanya sudah cukup berat, Bimo mengikuti nalurinya. Dia melangkah mendekati bed dimana Ajeng sedang tidur. Pantatnya mulai bergeser dan bergeser sampai bersenggolan dengan punggung Ajeng. Entah karena sudah terlalu pusing atau karena rasa dingin yang terus menusuk ke pori-pori tubuhnya, Bimo mulai memeluk punggung Ajeng yang membelakanginya. Suhu badan Ajeng yang masih cukup hangat karena demam, membuat Bimo nyaman memeluk perempuan itu. Apalagi aroma tubuh perempuan itu sampai menusuk ke hidungnya. Sangat nyaman. Bimo semakin merapatkan tubuhnya dan menelusupkan wajahnya di leher Ajeng. Semakin nyaman dan membuatnya bisa terlelap.
Keesokan harinya sekitar pukul 3:24, Ajeng merasa tubuhnya kedinginan. Suhu hangat karena demam di tubuhnya sudah pulih. Kini dia merasakan tubuhnya itu menggigil karena rasa dingin. Ajeg berusaha menggerakkan tangannya untuk membetulkan selimut. Tapi dia merasa ada yang menghalangi pergerakannya. Dia cukup syok saat mengetahui ada Bimo yang tengah memeluknya.
“Bim… Bim… Kok kamu ada di sini sih?” Tangan Ajeng mulai mengepuk-epuk tangan Bimo yang melingkar di perutnya. Ajeng berusaha membalikan tubuhnya untuk membangunkan laki-laki itu.
Plak!
Ajeng sedikit mengepuk muka Bimo agar laki-laki itu segera membuka mata. Tapi hasilnya nihil.
“Bim? Ini kenapa kamu jadi tidur di sini? Bukannya tadi kamu bilang mau tidur di luar? Uh! Bangun Bim!” Ajeng terus mencoba mendorong tubuh Bimo. Tapi tangan laki-laki itu seperti tidak mau meregangkan pelukannya. Dia justru semakin mendorong kepala Ajeng agar terbenam di lehernya.
“Aku kedinginan, Jeng… Biar kita seperti ini sampai pagi... Anggap saja aku sedang memelukmu,” ucapnya pelan. Suaranya sedikit serak karena baru terbangun dari tidur.
“Tapi kan—”
Brug! Bimo mulai mengapit kaki Ajeng. Dia tidak suka bila permintaannya dibantah.
“Aku gak akan ngapa-ngapain kamu. Biar aku juga menghangatkan badanmu… Saat ini suhu mencapai -2ᴼ celcius,” jelasnya lagi.
Semakin didengarkan semakin aneh saja penjelasan laki-laki yang sedang memejamkan matanya itu. Tidak sengaja, setelah beberapa detik Ajeng menyadari ada botol red wine dan gelas berada di tas meja. Ajeng berfikir mungkin saja ucapan Bimo melantur seperti itu karena efek alkohol dari red wine.
“Bim! Kamu mabuk ya?” Ajeng sedikit memekik sampai membuat Bimo kaget dan membuka matanya. Laki-laki itu menunduk memperhatikan wajah Ajeng. Jaraknya sangat dekat. Keduanya bisa saling merasakan hembusan nafas yang saling bertabrakan.
“Kamu kalau mau deket-deket jangan waktu mabuk! Takutnya cuma khilaf dan kamu nyesal nantinya.” Ajeng semakin menggerutu. Dia tidak mau hanya dijadikan bahan pelampiasan. Meskipun Ajeng sadar kalau wajah laki-laki yang memeluknya saat ini memang menggoda imannya. “Kalau kamu mau tidur di sini, biar aku yang pergi.”
Ajeng semakin mendorong tubuh Bimo. Dia tidak mau dibodohi oleh Bimo. Tapi laki-laki itu seperti tidak membiarkan Ajeng untuk pergi darinya. Dia semakin merapatkan tubuh Ajeng dan menindihnya.
“Bim? Kamu?” Dada Ajeng berdegup dua kali lebih kencang. Sikap Bimo yang aneh itu membuatnya takut. Tapi karena rasa dingin yang menusuk ke kulitnya, membuat Ajeng kesusahan untuk melawan.
“Aku memang sempat minum. But I’m not drunk,” desah Bimo. Matanya mulai memperhatikan mata Ajeng. Ini membuat Ajeng semakin tidak nyaman. Ajeng memalingkan pandangannya dengan terus menjauhi Bimo. Tapi hal yang tidak diduga justru membuat Ajeng semakin tersentak kaget.
“Mmmm…… Bim?” Ajeng tersentak saat laki-laki itu menempelkan bibirnya.
“Aku sadar melakukan ini. I will never regret to do this (Aku gak akan menyesal melakukan ini).”
Antara percaya dan tidak percaya, Ajeng cukup syok mendengar kalimat Bimo itu. Laki-laki yang sempat menghiburnya di saat patah hati dulu tengah memberikannya kehangatan. Dia melumati bibirnya dengan lembut. Menelusup dan m3r3m4s- r3m4s telinganya. Lidah Bimo mulai menari-nari memainkan lidahnya yang masih kaku karena syok mendapatkan perlakuan itu. Dia terus m3lum4t… me3lum4t… dan menghisap menyesap dalam-dalam dan menghentakan bagian yang mulai menegang ke tengah intim dari perempuan itu.
Ajeng cukup takut menghadapi gairah laki-laki yang tengah memuncak itu. Dia bukannya tidak ada pengalaman berciuman. Tapi barang laki-laki itu semakin lama semakin terasa besar menggeliyat mendorong intimnya.
“Mmm Bppp Ah…”
Bimo semakin tidak bisa mengendalikan dirinya. Dia terus m3lum4t, mengunci bibir perempuan itu, membuat Ajeng kualahan.
“Aku sadar melakukan ini, Ajeng. Jangan takut. Aku cuma ingin menciummu, gak akan lebih dari itu,” desahnya juga terengah-engah saat membiarkan Ajeng menarik nafas panjang.
“Tapi kita—”
“Should I say I love you?”
Tanpa mendengar ucapan Ajeng lagi, Bimo mulai melanjutkan ciuman yang menurutnya belum terselesaikan. Dia terus mencium... dan menghentak bagian sensitive Ajeng membuat tubuh Ajeng semakin bergetar.
Semakin lama, Bimo semakin menyadari kalau Ajeng semakin tidak melakukan perlawanan. Bimo juga merasa lidah Ajeng mulai ikut menari bermain bersama lidahnya.
Pikiran Bimo mulai melayang, dia teringat dengan anjuran dokter pribadinya. Hasil dari terapinya itu harus dicoba. Harus dicoba untuk mengetahui hasil usaha dari berobatnya selama ini.
“Ajeng, bolehkah—aku melakukannya?”
Pertanyaan ini membuat tubuh Ajeng semakin memanas. Dia tahu apa maksud dari pertanyaan itu. Laki-laki yang sedang menindihnya saat ini menginginkan tubuhnya. Tapi bukankah itu terlalu cepat?
“Em, tapi dingin banget. Aku gak akan kuat untuk telanjang,” mencoba berunding karena sejujurnya Ajeng masih takut untuk melakukannya.
Tapi gairah Bimo saat ini memang sedang memuncak. Selain perempuan yang ada di bawah kungkungannya saat ini memang cantik, Bimo juga sudah lama tidak melakuaknnya. Dia merasa seperti menjilat ludahnya karena awalnya hanya mengatakan ingin berciuman saja. Tapi karena semakin lama semakin dituruti, gairahnya itu semakin meningkat.
Tanpa permisi lagi, Bimo mulai menggulung t-shirt Ajeng sampai di atas dada. Tangannya mulai meraba ke belakang dan mencari pengait untuk dilepaskan.
“Bim? Jangan… dingin…” Semakin menggigil menahan rasa antara dingin dan gelisah.
Bimo mulai menarik selimut dan bersembunyi di balik selimut untuk melancarkan hasrat yang sudah tidak bisa dibendung. Kedua tangannya mulai meremas bagian kenyal yang sempat dia lihat sebelumnya.
Pikiran Ajeng semakin kacau saat dia merasa bibir Bimo mulai mengulum pucuk d4d4nya bergantian. Laki-laki itu terus memainkan dengan lidah dan tangannya membuat tubuh Ajeng menggelinjang.
“Ah Bim… Éh…” Ajeng semakin menggeliyat saat dia merasa Bimo menyesap dalam-dalam salah satu buah d4d4nya.
Bimo semakin tidak tahan bermain di bawah selimut. Dia mulai menyibak selimut itu membuat Ajeng kaget dan menyilangkan tangannya.
“Bim, jangan sekarang. Aku—” suaranya terhenti saat melihat Bimo mulai bertelanjang dada.
“Love you Ajeng…” Ajeng semakin dibuat mematung mendengar kalimat barusan.
Bimo mulai melepas kaos Ajeng yang masih menyangkut di dada. Tatapannya semakin membuat bagian pus4r Ajeng tergelitik. Tangan itu mulai merangkup bagian yang menggantung dan mengguncangkan perlahan. Bimo kembali menjilati… m3r3m4s r3m4s dan menyesap sampai pucuk itu membulat karena rangs4ngan yang terus diberikan.
“Mmp… Hah…” Ajeng mulai meremas bahu Bimo. Dua jari Bimo itu mulai merayap-rayap masuk ke intimnya. Karena rasa aneh yang belum pernah dia rasakan, Ajeng mengapitkan kedua pahanya.
“Biarkan aku melakukannya, Ajeng. I will do it slowly…” (Aku akan melakukannya dengan perlahan)
*****
Bersambung…
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
nyonya
pura2 ciumann biasa lama2 terobos dasar bimo
2023-07-06
1
Katherina Ajawaila
Bimo menang banyak
2022-04-18
0
✨viloki✨
Wohoooooo
2022-03-23
0