Tentu saja ini bukan mimpi. Ajeng bisa merasakan sentuhan kulit Bimo. Detak jantung laki-laki itu juga terasa menempel di dadanya. Degupan jantung Ajeng pun tidak kalah bergemuruh. Baru kali ini dia dipeluk oleh laki-laki berwajah kharismatik dengan penuh perhatian.
“Biar aku yang nyetir ya?” Bimo membujuk dengan terus merangkup kedua pipi Ajeng.
“Tapi kan saya guide kamu. Jangan ah, Bim. Biar saya aja. Selanjutnya saya akan lebih hati-hati lag---”
BRUGGG!!!
Mobil Itu tiba-tiba tergoncang menerima serangan dari belakang. Tanpa sengaja wajah kedua orang di mobil itu yang masih saling berhadapan berbenturan. Lebih tepatnya bibir Ajeng yang sedang berbicara tadi merangkup bibir Bimo. Jantung Ajeng semakin melompat-lompat karena dia benar-benar tidak sengaja. Ajeng tidak bermaksud sedikit pun untuk melahap bibir Bimo.
“Aduh… Sorry Bim. Sorry… Aku gak ada maksud buat nyium kamu. Aku gak sengaja.” Ajeng menjadi salah tingkah. Kedua ibu jari tangannya refleks mengusap bibir Bimo. “Gak sakit kan? Gak ke-gi-gitkan?”
Laki-laki itu justru tersenyum. Membuat Ajeng semakin malu. Entah senyuman mengejek atau senyuman SUKA… dengan kejadian itu?
“Aku gak pa pa. I’m fine. Bibir aku juga gak berdarah…” Bimo menggerakkan lidahnya untuk mengecek area yang sempat Ajeng lahap. “Em, Kayaknya kita harus cek keluar. Aku rasa ada yang nabrak kita dari belakang.”
Keduanya segera keluar dari minibus. Ternyata memang benar dugaan Bimo. Ada motor tua yang tidak sengaja menabrak bagian belakang minibus.
“Pak? Buk…?” Ajeng berjalan sedikit cepat menghampiri kedua orang tua yang tertimpa motor.
Motor tua yang mungkin keluaran tahun 70an itu pasti cukup berat dirasakan kedua pasangan tua itu. Sandal japit yang dipakai laki-laki itu juga terlihat rusak sampai robek.
“Duh pak… Piye iki pak? Motor e dewe rusak. Durung meneh kudu dandake mobil sing ditabrak. Mesti larang nyepetke mobil kui, pak… (Haduh, pak… Gimana ini pak? Motor kita rusak. Belum lagi harus betulin mobil yang kita tabrak. Pasti mahal harga untuk menyepet cat mobil itu, pak…)” wanita paruh baya itu menggerutu dengan berusaha mendorong motor yang menimpa kakinya. Dirinya lebih memikirkan tentang masalah motornya dan mobil yang tertabrak.
“Ibuk ki piye toh? Malah motor karo mobil sing dipikir? Awake dewe ki dipikir sik… diopeni sik, buk. Ckckck… IbuUk ibuk… (Ibuk ni gimana sih sih? Justru motor sama mobil yang dipikirin? Badan kita, kita dipikir dulu… dirawat dulu, buk.),” timpal laki-laki paruh baya itu. Dia berusaha juga menyingkirkan motor yang menimpa badannya.
Sesampainya di belakang mobil, Bimo membantu kedua pasangan itu dengan menyingkirkan motor. Dia menyetandarkan motor tua itu dan berlanjut membantu Ajeng yang sedang mengecek laki-laki dan wanita tadi.
“Gimana Jeng? Apa lukanya parah?” tanya Bimo ikut berjongkok.
“Gak parah sih, cuma dikit lecet. Tapi gak tahu juga kalau mungkin ada luka dalam,” jawab Ajeng membuat wajah wanita tua di depannya panik. “Sini buk, saya bantuin buat berdiri. Ibu coba buat jalan. Rasain, ada yang sakit ga?” pinta Ajeng.
Sementara Ajeng membantu wanita tua, Bimo membantu laki-laki itu. Keduanya nampak normal.
“Untung gak ono sing (gak ada yang) patah ya, pak. Bapak gak pa pa kan?”
“He’em. Cuma lecet-lecet. Tiga atau empat hari mesti juga sembuh,” balas suaminya.
Kedua pasangan tua itu kini menatap Ajeng dan Bimo. Mereka tampak bingung harus mendiskusikan mengenai minibus yang ditabraknya.
“Ini tadi tuw sebetulnya bapak menghindari segerombolan tawon yang melintas. Terus karena mobil jenengan (anda) mendadak berhenti jadi saya juga gak siap. Maaf ya mbak, mas bule. Bemper bagian belakang kayaknya lecet dikit. Kalau minta dibetulin pasti saya betulin,” jelas laki-laki tua itu dengan melirik bagian minibus yang lecet.
Ajeng merasa sungkan. Rasanya sangat kejam bila dia membiarkan laki-laki itu menanggung biaya perbaikan minibus. Sementara yang menabrak minibusnya saja adalah motor tua. Bisa jadi kondisi keuangan orang itu tidak sebaik dirinya.
“Gak usah, pak. Gak pa pa. Mas ipar saya punya bengkel. Nanti biar dibetulin sama dia aja. Bapak gak usah kuatir. Terus… gimana motor bapak? Ada yang rusak gak?” tanya Ajeng berjalan ke arah motor tua 70an itu. “Saya juga minta maaf ya pak, buk. Tadi saya juga ngerem mendadak. Soalnya menghindari kelinci lewat,” jelas Ajeng.
“Silahkan, pak. Coba hidupin motornya. Kalau rusak nanti saya yang tanggung biayanya,” timpal Bimo. Jelas saja ucapannya itu membuat Ajeng sangat senang karena Bimo mau ikut menanggung biaya kerusakan.
BEM BEM BEM BREEEMMM BEMMM BEM!!! Suara motor itu cukup nyaring dan normal setelah dihidupkan.
“Wah… Syukurlah, pak. Kayaknya motornya gak rusak. Ini buktinya bisa nyala. Suaranya juga cempreng kayak biasanya,” wanita itu tersenyum lega menatap suaminya. Begitu juga dengan Ajeng dan Bimo.
“Masih waras. Kayaknya memang gak pa pa motor saya,” ucap laki-laki itu memandangi Ajeng dan Bimo.
“Ya udah, kalau gitu bapak dan ibuk bisa lanjut. Hati-hati ya pak, buk,” sambung Ajeng.
“Iya mbak. Terimakasih ya mbak, mas bule. Sekali lagi bapak minta maaf. Itu ambil dulu buk helmnya!” pintanya menunjuk helm yang tadi sempat ikut terlempar di pinggir jalan.
Masalah tampak selesai dengan kedua pasangan tua itu. Tapi tiba-tiba Ajeng merasa ada yang aneh pada bagian belakang punggungnya. Terasa sangat menyayat dan sakit.
“AU!” mata Ajeng terbelalak. Dia berusaha merabai punggung belakangnya. Seperti ada hewan kecil sedang menggigit punggungnya. “ARGH! AU!”
“Kenapa Jeng?” Bimo menjadi bingung. Dia semakin heran ketika melihat Ajeng berlari masuk ke dalam minibus. Kedua pasangan tua itu pun ikut bingung memandangi Ajeng. Karena kuatir terjadi sesuatu kepada Ajeng, Bimo melangkah masuk ke dalam minibus.
Pergerakan Ajeng itu seperti mencari sesuatu dari dalam kaosnya. Bimo mengkerutkan keningnya. Bertanya-tanya ada apa dengan Ajeng?
“AU! Apa sih ini? AUUU! Huaaaa Sakiittt!”
“What’s happening Jeng?” tanya Bimo ikut panik. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan Ajeng merintih kesakitan.
“Sakit Bim… Argh…!!! Sakit Bim…”
Rintihan Ajeng cukup keras didengar dari luar. Kedua pasangan tua tadi ikut bertanya-tanya sedang apa kedua pasangan muda di dalam minibus itu?
“Anak zaman sekarang kelakuannya makin nyeleneh. Asal-asalan! Kayak gak ada tempat lain aja mainnya di mobil!” ucap wanita tua. Keduanya memilih untuk segera melanjutkan perjalanan daripada menyaksikan mobil goyang.
“Aduh sakit… Binatang apa sih ini…?” Ajeng terus berjingkrak-jingkrak mengkibas-kibaskan kaos belakangnya.
Karena Bimo tidak tahan mendengar rintihan Ajeng, dia memutuskan untuk membuka kaos Ajeng dengan paksa.
“Bimmm?!” Memekik kaget. Ajeng berusaha menutupi bagian dadanya. Tali bhranya pun sebetulnya sudah terlepas dari tadi saat berjingkrak-jingkrak.
“Nih…” Bimo menyodorkan kaos itu. Ada 2 ekor lebah yang mati menempel di kaos Ajeng. “Ini bahaya, Jeng. Kamu disengat lebah.”
Cepat-cepat Bimo mengibaskan kaos itu di luar. Sengatan lebah memang cukup berbahaya. Efeknya bisa menimbulkan sensasi terbakar di kulit, gatal, bengkak, iritasi, bahkan bisa menyebabkan demam dan pusing.
“Sorry. Aku gak maksud buat nelanjangin kamu,” ucap Bimo dengan membelakangi Ajeng. Tapi matanya melihat pantulan kaca sepion tengah. Kakinya seperti ingin berbelok, tapi Bimo menahan perasaannya.
“Hm… Aku tahu. Makasih. Tolong tutup tirainya. Biar saya ganti baju dulu,” balas Ajeng.
Bimo menuruti permintaan Ajeng itu. Dia memilih untuk duduk di kursi kemudi dan menyetir minibus.
Huft… kayaknya tadi banyak juga bagian yang disengat. Pasti perih, batin Bimo.
Dugaan Bimo itu memang benar adanya. Sengatan lebah itu memang terasa panas dirasakan Ajeng saat ini. Dia tidak menyangka 2 gigitan saja sudah membuat tubuhnya panas.
“Astaga…? Jadi bentol (benjol) begini?” tanya Ajeng dengan menaikkan tangan kanannya. “Bahaya gak ya deket p4yud4r4 gini…? Huft… Sakit banget,” mengeluh merasakan sensasi nyeri dan terbakar. Punggung tengahnya pun juga sedikit bengkak kemerahan.
Ajeng cukup lama memandangi luka sengatan lebah di tubuhnya. Sudah setengah jam dia berdiri di depan cermin sambil mengepuk-epuk menggunakan kain basah yang hangat. Tapi tetap sama. Rasanya masih perih. Area benjolan tadi juga semakin bengkak.
“Gimana ini…? Masih sakit.”
Beberapa saat kemudian, Ajeng merasa minibusnya berhenti. Tapi dia tetap melanjutkan untuk memberi perawatan kepada tubuhnya itu.
TOK TOK TOK…
“Ajeng… Are you ok?” tanya Bimo. Dia berdiri di depan kamar mandi menunggui Ajeng membuka pintu. “Aku ada obat pereda rasa nyeri. Cuma obat generik dari apotek. Aman buat dikonsumsi,” ucap Bimo.
“Obat pereda rasa nyeri?” tanya Ajeng ketika masih di dalam kamar mandi.
“Hm… Sini keluar. Aku ambilin.”
Obat itu berbentuk tablet bulat kecil.
“Habis minum, kamu bisa tiduran. Kamu bisa pakai bed malam ini. Aku bisa nyewa tenda di luar,” ucap Bimo memperhatikan Ajeng yang sedang meneguk air mineral.
“Mm… Thanks buat obatnya. Memang kita udah sampai mana?”
Ajeng mengecek kondisi di luar. Rupanya mereka sudah sampai di area perkemahan.
*****
Bersambung...
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
kasian Ajeng badan nya di perawanin lebah
2022-04-17
1
🐊⃝⃟ Queen K 🐨 코알라
tawon nakal...
2021-10-30
1
Miracle Tree
mampir thor..
2021-10-19
1