Baru kali ini Ajeng menemui laki-laki sejenis Bimo yang karakternya susah ditebak. Kadang bersikap manis, kadang juga dingin dan menjaga jarak. Apa lagi Ajeng masih penasaran dengan pembicaraan antara Bimo dan seorang dokter di handphone. Sebenarnya sakit apa si Bimo? Secara kalau Ajeng memperhatikan laki-laki itu, dia terlihat sehat dan tidak berpenyakitan. Ditambah lagi Bimo suka bertanya balik dengan pertanyaan yang dia lontarkan.
“Yeah. Pasti. Ibu saya aja suka nguber-nguber kakak saya biar cepet dapet baby. Hihiii. Tapi sayangnya di usia pernikahan kakak saya yang udah 5 tahun lebih, dia belum juga dikasih anak. Padahal mereka sudah sering cek ke dokter kalau kondisi kesehatan mereka cukup baik untuk mempunyai anak. Tapi ya… Mungkin belum rejeki aja. Meskipun kalau menurut cerita kakak saya, mereka selalu berusaha untuk itu. Tapi ya masih belum ada hasilnya,” jawab Ajeng membuat Bimo tertarik dengan cerita Ajeng.
“Usaha yang macam apa?” tanya Bimo membuat pipi Ajeng memanas.
“Ya… Kayak itu…” Ajeng memberi kode dengan menggerakkan jari telunjuk dan tengahnya.
“Gitu ah! Masak kamu gak tahu sih…”
“Hahahaa! Yeah I know…” lanjut Bimo membuat keduanya tertawa.
Ajeng berlanjut menceritakan tentang kasus kakaknya itu. Ajeng pun tidak menyangka kalau topik masalah tentang kakaknya yang belum mendapat keturunan itu membuat Bimo tertarik.
“Ajeng…”
“Ya? Kenapa?” Tanya Ajeng.
“Bisa gak kita ambil foto?” tanya Bimo dengan mengeluarkan handphonenya. “Sini kamu! Mau kemana?” Bimo menggeret tangan Ajeng supaya perempuan itu berdiri di sampingnya.
“Kita udah sampai sini harus ambil foto bersama.”
“Ow… Saya pikir kamu mau minta difotoin…”
“Hm… No. Saya mau foto sama kamu,” ucap Bimo dengan meraih pinggang Ajeng.
Mata Ajeng berkedip-kedip sedikit mengintip jari-jari yang tidak sengaja menyentuh kulit pinggangnya. Semakin Bimo merapatkan tubuhnya, semakin aroma khas laki-laki itu masuk ke hidung Ajeng. Aroma yang memabukan. Membuat Ajeng merasa betah berlama-lamaan dirangkul Bimo.
“I think is enough. 5 Foto untuk dikirim ke mama,” celetuk Bimo dengan menggeser layar di handphonenya.
“Maksudnya dikirim?” Ajeng berjinjit-jinjit ingin melihat mau dikirim kemana hasil foto antara dirinya dengan Bimo.
“Hm… Done!” ucap Bimo dengan menjauhkan handphonenya dari Ajeng. Senyum laki-laki itu membuat Ajeng semakin salah tingkah. Tapi Ajeng tetap bersikeukeuh untuk mengecek handphone Bimo. Di terus berjingkrak-jingkrak menarik baju Bimo untuk menggapai handphone yang dijauhkan darinya.
“Jangan bilang kamu kirim foto kita ke mama kamu ya! Sini lihat! Delete foto itu!” Ucapnya lantang sampai Ajeng tidak menyadari kalau dirinya sudah menabrak Bimo berkali-kali.
“Nanti mama kamu bisa salah faham sama aku! Nanti dia mikir aku tour guide abal-abal yang mau ngerayu anaknya! Jangan main-main dong Bimmm!”
Sikap Ajeng yang terkesan keras kepala oleh Bimo ini justru membuatnya terhibur. Semakin dia menjauhkan handphone, semakin Ajeng menabrak tubuhnya. Bimo pun semakin menikmati p4yu*dar4 kenyal yang berkali-kali menabarak dadanya.
“Ajeng… Ajeng… Stop” Tangan Bimo bertengger di pinggul yang sedari tadi naik turun menabrakinya.
“Jangan kamu kirim foto itu… Nanti gaji aku kena potong sama mama kamu… Kasih handphone mu ke aku Bim…!” masih belum sadar kalau Bimo sedang mengendus rambutnya yang beterbangan karena angin laut.
Perlahan kening Ajeng merasakan hembusan yang menusuk di pori-pori kulitnya. Bukan angin laut. Tapi nafas Bimo yang menyembur dari hidung.
Kok dia nyium kening aku sih? Tanya Ajeng dalam pikirannya.
Antara masih percaya dan tidak percaya. Tapi Ajeng tahu kalau yang baru saja dia rasakan itu adalah bibir Bimo yang mengkecup keningnya.
Apa ini yang namanya serempetan (tabrakan) enak-enak? Dia sengaja atau gak sengaja sih? Pikiran Ajeng masih bertanya-tanya dalam pelukan Bimo.
Insting Ajeng mengatakan kalau ciuman itu memang disengaja oleh Bimo. Secara postur tubuh Bimo yang cukup tinggi itu pasti sengaja membungkuk agar bibirnya bisa dengan mudah mengkecup keningnya.
“Sudah capek loncat-loncatnya?” tanya Bimo membuat lamunan Ajeng tersadar.
Ajeng juga mulai sadar kalau kakinya sekarang bertumpu di atas sepatu Bimo. Rasanya canggung. Malu. Tapi hati kecilnya menyukai kejadian ini. Terasa ada yang melompat-lompat dari dadanya.
“Kamu ni… Jahil banget sih!” ucap Ajeng.
Kakinya perlahan mundur menjauhi Bimo. Tapi pandangannya tetap sesekali melirik handphone Bimo.
“Mulai sekarang kamu gak usah mikirin permintaan mama saya buat nyariin perempuan atau jodoh buat saya. Cukup dengan foto yang saya kirim barusan, pasti mama mikir kamu pacar saya,” ucapnya santai. Memasukan handphone ke saku celana dan kembali memandangi Ajeng.
“Tapi kan kita gak ada hubungan spesial kayak gitu, Bim! Kamu ni-- boongin orang tua itu gak baik tahu! Jangan kayak gitu lah. Kasihan tahu mama kamu.”
“Hm… Ok kita bahas lagi nanti. Kayaknya saya harus pergi ke sana buat meeting. Itu sepertinya orang yang mau meeting dengan saya,” ucap Bimo yang kemudian berlalu meninggalkan Ajeng.
Ajeng semakin gemas karena di saat dirinya sedang serius berbicara, tapi Bimo justru pergi meninggalkannya.
Untungnya panorama resort itu sangat cantik di pelupuk mata. Ajeng mengalihkan rasa gemasnya dengan berjalan-jalan mengelilingi kawasan resort. Tidak ketinggalan juga Ajeng mengecek bagian badan minibusnya. Memastikan kondisi dalam minibus tetap bersih dan rapi.
“Ok juga cara dia nata baju…” Ajeng membuka lemari pakaian yang sudah diisi Bimo dengan beberapa baju. “Banyaknya gadget dia… Emang semua engineering software punya semua alat lengkap kayak gini ya?” tanya Ajeng terheran-heran. Dia melihat banyak gadget di dalam laci dan atas nakas.
Mata Ajeng menelusuri setiap barang milik Bimo. Rasa ingin tahunya yang cukup tinggi mendukungnya untuk mengamati semua barang milik Bimo.
“Hloh? Kok ada alat suntik juga sih?” tanya Ajeng saat membuka laci ke tiga. Dia ingin menyentuh alat suntik itu tapi dirinya mengurungkan niatnya. “Kira-kira buat apa ya alat suntik ini? Gak mungkin kan Bimo makai alat suntik buat nyuntik laptop atau gadget dia…? Mencurigakan…”
Meskipun penasaran, Ajeng tidak mau ambil pusing. Dia beranggapan itu adalah bagian dari privacy Bimo. Bisa saja Bimo menggunakan alat suntik itu untuk menyuntik supplement ke tubuhnya supaya tetap fit.
Setelah beberapa menit Ajeng menselonjorkan kakinya di bed, dia mendengar pintu mobilnya diketuk dari luar.
TOK…TOK…TOK…
“Bim? Udah selesai meetingnya?” tanya Ajeng beranjak keluar dari minibus.
“Yeah. Cuma 3 jam. Ngapain di dalam? Kenapa pintu elfnya harus dikunci?”
“Oh… Em… Saya habis istirahat barusan. Tapi bednya udah saya rapiin lagi kok. Bo-leh kan…?” bertanya ragu dengan nada sedikit membujuk. Bagaimanapun Ajeng butuh merebahkan tubuhnya meski cuma sebentar.
“Sure. Tentu. Kalau kamu capek pakai aja bednya. Sudah makan?”
Bimo mulai masuk ke dalam elf. Dia mengecek 3 laci tempat dirinya menyimpang barang-barang.
“Saya belum makan. Belum laper. Kamu udah makan siang kan?” menebak karena biasanya bila orang memiliki meeting di hotel pasti akan dijamu dengan makanan.
“Not yet. Bisa kamu masakin sesuatu buat saya?”
Haduh? Emang di perjanjian kerja ada tugas masak-memasak ya? Bukannya kalau jadi guide cuma nganter keliling aja? tanya Ajeng dalam pikirannya.
“Tapi Bim. Aku tuw gak stock bahan masakan. Cuma ada mie instant sama camilan. Mending kamu order dari hotel aja deh. Takutnya nanti kalau saya masakin mie instant kamu gak suka,” jelas Ajeng. Tangannya membuka laci-laci di mini dapurnya. Berharap ada bahan yang diselipkan ibunya untuk dimasak. Tapi nihil.
“Gak masalah. Kamu buatin mie instant aja. Saya mau coba mie instant buatan kamu,” celetuk Bimo diikuti senyuman Ajeng.
Bimo memandangi setiap gerak-gerik Ajeng ketika memasak. Tidak ada yang spesial. Tapi matanya tidak bosan memandangi Ajeng.
____
Siang itu setelah memasak mie instant untuk Bimo, Ajeng kembali ke kursi kemudi untuk melanjutkan perjalanan. Dia cukup menghela nafas dalam-dalam membaca tempat tujuan kedua. Dieng Wonosobo. Bukan karena lokasinya yang jauh. Tapi juga karena rute ke Dieng cukup banyak tantangan. Berkelok dan menanjak ke utara.
CIIIITTTT…!!!
“Ajeng?!” Bimo bergegas menuju ke kursi kemudi. Dia sangat kaget ketika minibus yang ditumpangi mengerem mendadak.
Bimo cukup kaget ketika dia melihat Ajeng seperti mengalami sesak nafas. Dengan sigap Bimo mencabut seatbelt yang menghalangi dada Ajeng. Dia mengusap-usap dada Ajeng untuk memberi ketenangan.
“What happened? Are you ok?” Semakin memberi perhatian dengan memeluk Ajeng. Bimo mengusap-usap punggung Ajeng.
“Sorry… Huft… Ada kelinci lewat tadi. Huft… Jadi aku rem mendadak,” jawab Ajeng masih dalam pelukan Bimo. “Maaf udah bikin kamu kaget,” jelas Ajeng.
Ajeng tidak menyangka Bimo akan seperhatian itu kepada dirinya.
“It’s ok… Kalau kamu capek kamu bisa bilang ke aku. Aku kan sudah bilang dari awal.”
Entah sengaja atau tidak sengaja, Bimo menghujani pucuk kepala Ajeng dengan ciuman. Tubuh Bimo pun semakin mendekap tubuhnya, membuat Ajeng tidak percaya. Apakah ini mimpi?
*****
Bersambung…
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Caramel Latte
lho lho lho... ada apa ini, ada apa ini. kenapa bimo seperti ini
2022-09-05
1
Katherina Ajawaila
next thour
2022-04-17
0
Semoga Ajeng g di manfaatin sama Bimo gara2 penyakit yg dia derita dan juga permintaan jodoh untuk anaknya.
2022-04-10
0