Mata mereka saling menatap satu sama lain dalam waktu yang cukup lama.
"Apa kau tidak senang dengan perjodohan ini?" tanya Dylan dengan wajah tanpa ekspresi.
Tiara hanya diam dengan wajah yang sudah menunduk, "Maaf Pangeran mungkin saya sedikit lancang mengatakan ini pada anda."
Dylan kembali menatap ke arah lain, "Mau kau menolak ataupun menerimanya, memang akan ada yang berubah?" tanya Dylan.
"Pernikahan politik ini tidak akan ada yang membutuhkan pendapat kita, karena semua sudah ditentukan oleh kedua orang tua kita."
"Maka dari itu, mau kau menolaknya atau menerimanya itu tidak akan ada artinya, apa lagi pernikahan ini karena keinginan Yang Mulia, menurutmu apa kah kedua orang tua mu bisa menolak keinginan dari Yang Mulia?" tanya Dylan yang kembali menatap ke arah Teri.
Setelah mendengar ucapan Dylan entah kenapa perasannya menjadi campur aduk apakah ini memang sudah jalan terbaik untuknya, merasakan Teri yang hanya diam membuat Dylan kembali melirik Teri.
Deg!
Mata Teri langsung terbuka lebar, saat Dylan secara tiba-tiba memberikan tangannya dihadapan Teri, membuat Teri merasa terkejut dengan sikap Dylan yang begitu tiba-tiba.
"Jika kau merasa terbebani dengan pernikahan ini. bagaimana jika kita jalani saja peran ini secara pelan-pelan sampai kau mulai terbiasa?" tawar Dylan.
"Sampai terbiasa," gumam Teri yang langsung menatap wajah Dylan.
lama mereka saling tatap, hingga Teri kembali menundukkan kepalanya, "Pangeran...," panggil Teri dengan nada yang begitu pelan.
"Maaf sudah membuat anda tidak nyaman dengan sikap saya pangeran," tambah Teri yang langsung menerima uluran tangan dari Dylan.
Dylan tersenyum tipis melihat sikap Teri yang begitu malu-malu, "Tidak apa-apa, mau jalan ke taman?" tanya Dylan.
...~*~...
Waktu itu sifat Teri masih terbilang kekanak-kanakan, dari yang awalnya tidak senang dengan perjodohan ini menjadi terbiasa, benar kata Dylan jika dijalankan dengan pelan-pelan pasti mulai terbiasa.
Semua para pelayan pun begitu senang saat melihat sikap Teri yang begitu hangat pada para pekerja di sana, bahkan mereka sudah terbiasa dengan kehadiran Teri yang selalu berkunjung ke Istana begitu juga dengan Ratnar yang ikut senang dengan kehadiran Teri.
Tidak terasa 5 tahun sudah terlewati, bahkan dirinya pun sampai lupa dengan keinginannya untuk bisa berpetualang dan hidup bebas tanpa ada peraturan seperti yang ada di ibu kota.
Selama dia menjadi tunangan Dylan, Teri selalu belajar mati-matian untuk menjadi putri Mahkota yang penuh berwibawa serta paham dengan kebudayan di sini, itu semua dia jalani dengan tidak mudah dari dia yang belajar sejarah, budaya, etika, sampai pada pekerjaan Putri Mahkota nanti.
"Selamat Siang Nona Ronan!" sapa para pelayan saat melihat Teri yang berjalan disepanjang lorong.
"Selamat siang semuanya. semangat ya bekerjanya."
Setelah mendapatkan balasan dari para pelayan, Teri kembali melanjutkan perjalanannya menuju ruang kerja Dylan.
Kali ini dia akan mengajak Dylan untuk makan siang bersama sekaligus piknik di taman istana, sudah banyak yang dia siapkan di dalam keranjang, mulai dari beberapa macam cemilan sampai minuman.
Prang!
Keranjang makanan yang dia bawa jatuh ke lantai, bersamaan dengan matanya yang terbuka lebar, saat melihat pemandangan yang ada dihadapannya, tangannya tanpa dia sadari bergetar dengan kuat disaat dirinya melihat sebuah adegan yang membuatnya merasa sakit hati.
Deg!
Baru kali ini, dirinya merasakan hawa panas serta sakit yang dia rasakan secara persamaan, melihat pemandangan yang ada dihadapannya membuat Teri sampai lupa dengan keranjang yang saat ini dia bawa.
Dengan cepat dirinya langsung mengambil kembali keranjangnya yang tadi terjatuh ke lantai, dan langsung bersembunyi dibalik pilar yang ada di sana.
"Apakah kau mau jalan-jalan ke taman istana Dylan?"
Air mata Teri seketika jatuh disaat dirinya ada mendengar perempuan yang bersama Dylan menyebut namanya, sulit untuk dirinya percaya mendengar perempuan yang tidak begitu asing bagi dirinya menyebut Dylan, dengan sebutan nama bukan gelar.
"Apa hubungan mereka begitu istimewa?" tanya Teri yang masih mendengarkan percakapan Dylan dengan perempuan itu.
Dengan masih mengeluarkan air mata, Teri menoleh ke belakang saat melihat Dylan yang sudah berjalan dengan seorang perempuan yang tidak lain adalah Iris teman belajar Dylan.
"Hubungan mereka terlihat lebih istimewa jika dikatakan sebagai teman, atau pun bawahan dengan atasan."
Sruk!
Dengan kondisi yang begitu lemas Teri langsung duduk di tempat dengan tatapannya yang terlihat kosong, nafasnya yang begitu panas keluar dari mulutnya, bersamaan dengan air matanya yang tidak bisa berhenti untuk keluar.
Ini adalah kali pertamanya dirinya merasakan sakit hati dengan yang namanya penghianatan, seketika bayangan Dylan yang begitu hangat terlintas dipikirannya.
"Padahal aku sudah berusaha untuk menjadi yang terbaik."
"Bahkan aku sudah sangat menyukai mu," isak Teri yang langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Bahkan... Aku sudah melupakan keinginan awal ku jika bersama mu," isak Teri yang semakin kencang menangis.
Di lorong yang panjang itu, Teri terisak dengan suara yang begitu kecil, bahkan dirinya sudah tidak peduli lagi dengan gaunnya yang sudah rusak karena terkena noda dari makanan yang dia bawa.
Bahkan dirinya pun tidak sadar bahwa tangisannya itu, telah membuat seseorang yang ada dibalik pilar tempat Teri bersembunyi menjadi terdiam.
Dirinya yang tadi penasaran dengan siapa yang sedang bersembunyi dibalik pilar itu langsung dibuat diam, saat tau bahwa yang sembunyi di sana adalah Teri.
Mendengar tangisan dari Teri dirinya hanya bisa diam, tanpa mau menunjukan diri dihadapan Teri, semua ucapan yang Teri keluarkan bisa dia dengar dengan sangat jelas bahkan dirinya pun sedikit terpaku dengan ucapan Teri yang diluar pemikirannya.
Kenapa kau begitu peduli dengan orang seperti dirinya? Teri.
Tanpa meninggalkan suara, laki-laki itu langsun pergi dari sana, meninggalkan Teri yang masih menangis memikirkan Dylan yang sudah mengecewakannya.
...~*~...
Besok harinya Teri hanya ingin sendirian di dalam kamarnya, dirinya tidak ingin bertemu dengan siapapun bahkan pelayan yang biasanya melayani dirinya pun dilarang untuk masuk oleh Teri.
"Nona... Saya sudah membawakan sarapan untuk anda."
"Tinggalkan saja di sana," jawab Teri dari dalam.
Tanpa mau menolak pelayan itu langsung menuruti perintah Teri, dan langsung kembali ke perkumpulan para pelayan yang biasa melayani Teri.
"Apa Nona masih tidak mau keluar?" tanya salah satu pelayan di sana.
Dengan tidak semangat pelayan itu menggelengkan kepalanya, membuat wajah dari para pelayan di sana kembali dibuat kecewa.
"Sebenarnya apa yang sudah terjadi di istana kemarin? kenapa Nona pulang-pulang bisa seperti itu? bukannya saat itu Nona masih baik-baik saja saat jalan menuju Istana?" tanya salah satu pelayan di sana.
"Pasti ada terjadi sesuatu di sana, sehingga membuat nona kita jadi seperti ini."
"Ha... Apa pun yang sudah terjadi di istana kemarin, aku merasa tidak senang saat melihat Nona dalam keadaan menyedihkan seperti ini," sahut yang lain.
"Aku pun juga sama."
...~*~...
"Aku seperti banyak membuat orang khawatir," gumam Teri sambil menatap ke arah luar jendela.
Seketika air mata Teri kembali keluar, di saat dirinya kembali diingatkan dengan kejadian kemarin.
"Ha... Kenapa ingatan itu tidak pernah hilang!" pekik Teri yang langsung memukul kepalanya.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments