BAB IV: Lagi

Hembusan angin menerbangkan rambut Lio, berdiri di ujung kapal yang mengantarnya menuju pulau Dayana. Sambil memicingkan mata karena silau, dia dapat melihat tempat tujuannya sudah dekat.

Sepuluh tahun lebih sejak dia ke tempat ini untuk pertama kalinya. Lio masih ingat janjinya dulu, bahwa dia tidak akan mau mengunjungi pulau ini. Terakhir kali dia kemari, tempat ini benar-benar membuatnya mati kutu. Pulau ini terlalu kecil, lambat, membosankan mengingatkannnya akan kakeknya yang menyebalkan. selain pemandangannya yang indah tidak ada lagi yang dapat dia nikmati di pulau ini.

Pulau ini adalah tempat pertama dia melakukan praktek kerja sebagai relawan tenaga medis. Hari ini, dia kemari lagi sebagai relawan tenaga medis untuk terakhir kalinya. Melepaskan mimpinya. Setelah berjuang dan berdebat mati-matian untuk mengejar gelar dokternya, Lio menyerah. Menuruti perjanjian yang dia buat bersama ayahnya. Mengizinkan Lio untuk menyelesaikan kuliahnya dengan syarat setelah lulus nanti dia harus langsung memegang jabatan di PT. Golden Tower milik ayahnya.

Orang tua Lio sebenarnya bukan tipe orang tua posesif. Mereka cukup membebaskan Lio untuk menjalani kehidupannya. Hanya satu permintaan mereka. PT. Golden Tower perusahaan penghasil baja yang papanya

bangun dari bawah, suatu saat nanti harus beralih tangan kepada Lio. Salah satu penyemangat papanya untuk mengembangkan perusahaan sampai sebesar sekarang, agar dapat menghidupi Lio dengan berkecukupan. Lio sudah menikmati hasilnya, kini dia harus memikul tugasnya.

Lio menarik kopernya menuju penginapan nenek Maya bersama rombongan relawan yang lain. Dia sengaja mengambil cuti seminggu lebih cepat dari yang direncanakan. Toh memaksakan diri bekerja pun dia tetap tidak bisa fokus. Dia rindu melayani pasien. Belum bisa merelakan kenyataan bahwa perjuangan panjangnya tidak membuahkan hasil apapun. Maka disinilah dia duduk di meja yang sebelumnya diduduki oleh dokter Aan Manunggal, yang kini sedang mengambil cuti nikahnya.

Kakek Paul baru saja meninggalkan ruang prakteknya. Tanpa sadar, Lio mengela nafas lelah.

“belum terbiasa ya dok? Masih ada 3 pasien lagi” ucap suster Lala yang berdiri di sampingnya.

Lio tersenyum paksa, dia sudah mengira tugasnya disini tidak akan mudah. Melayani orang tua sepuh memang melelahkan. Dia sudah tau betul, belajar dari mengurus kakeknya yang kemana-mana harus dituntun tapi cerewetnya bukan main.

Sama seperti sekarang. Seperti kakek Surya yang kehilangan pendengaran di telinga kirinya. Atau nenek Linda yang berulang kali dijelaskan masih susah mengerti. Nenek SIsil yang susah ditangani karena tidak membiarkan

dirinya diperiksa. Nenek Maya yang malah sibuk menjodohkannya dengan anak bungsunya Manda. Sedangkan kakek Paul lebih banyak melamun karena baru saja ditinggal pergi istrinya hingga Lio tidak yakin apakah dia menyimak dengan baik atau tidak.

“sabar ya dok, tinggal 1 pasien lagi” dari tadi juga katanya dikit lagi dikit lagi. Ucap Lio dalam hati.

Pintu dibuka, nenek Sintia masuk sambil dibopong oleh seorang perempuan. Samar-samar Lio melihat siluet wanita yang terlihat familiar. Nenek Sintia masuk dijemput oleh suster Lala sementara perempuan itu masih berdiri di depan pintu. Lio menoleh, mencari wajah perempuan itu yang tersembunyi di balik daun pintu. Ingin mengajaknya masuk agar pemeriksaan segera dilakukan.

Nafas Lio terhenti. Mendapati wajah Mia yang juga menatapnya terkejut. Lio tidak mengedipkan mata. Takut jika dia berkedip sosok dihadapannya menghilang. “silahkan duduk” ucapnya buru-buru mempersilahkan Mia karena perempuan itu hendak beranjak pergi. Mia bergeming. Lio tertawa dalam hati, perempuan itu belum berubah. Masih suka nge-blank ketika terkejut.

“ayo, silahkan duduk” ucapnya lagi. Lio menyadari bukan hanya Mia yang terkejut. Dia juga, suaranya tiba-tiba berubah serak. Tenggorokannya mendadak kering karena canggung.

Senyum Lio tidak lepas dari wajahnya selama pemeriksaan. Tapi sepertinya ada satu orang yang menanggapnya sudah gila. Mia, menatapnya sinis. Dia tau betul alasan Lio tersenyum bukan karena ingin terlihat ramah melainkan

menertawakan Mia yang kini duduk canggung disamping nenek Sisil.

“jadi gitu ya nek, punggungnya sakit karena terlalu sering angkat yang berat-berat. Lain kali minta kakek aja ya yang angkat” ucap Lio perlahan agar dapat dimengerti oleh nenek Sisil sambil menulis resep obat.

Nenek Sisil mengibaskan tangannya “suami saya ga bisa ngapain-ngapain dok, dipanggil aja untung kalau nengok” ucapnya dengan suara seperti berbisik.

“nanti aku yang bantuin yaa.. kan rumah nenek dekat sama rumahku. Atau misal aku ga ada di rumah, bisa minta tolong Nadia yang panggilin kakek ya..” potong Mia sambil menuntun nenek Sisil berdiri. Lio tau betul perempuan ini berniat kabur darinya. Oleh karena itu dia buru-buru membopong nenek Sisil, bertiga menuju pintu keluar. Ujung matanya melihat wajah Mia yang tertekuk kesal.

“dok, ini laporannya belum diisi lengkap” Lio mengumpat dalam hati. Sementara ekspresi Mia berubah menjadi lebih cerah. Melepaskan tangan Lio dari pundak nenek Sisil dan kembali menuntun nenek Sisil keluar dari ruangannya.

***

“jadi gimana dok? Mau ya ketemuan sama anak saya. Cantik loh si Manda, baru lulus dari jurusan keperawatan. Cocokkan dokter sama suster” Lio tersenyum, menarik tangan pelan dari genggaman nenek Maya yang belum menyerah menjodohkannya dengan si Manda Manda ini.

Ekor matanya melihat sosok Mia berjalan keluar dari toilet menuju tanah kosong disamping rumah sakit.

“Mia” Mia tidak berbalik. Malah semakin mempercepat langkahnya. Membuat rambutnya yang terurai bertebangan. Bau Mia masih sama, wangi segar beraroma strawberry. Lio mempercepat langkahnya, mengejar Mia

dengan mudah karena kakinya yang jauh lebih panjang dibanding Mia membuat langkahnya jauh lebih lebar.

“tunggu” Lio mencegat Mia, meraih tangannya. Dia tidak bisa kabur lagi. “aku mau ngomong” lanjutnya. Mia hanya menggeleng. Mencoba melepaskan cengkaraman Lio dari tangan kanannya. Lio bergeming.

“aku mau ngomong sama kamu” ucap Lio menguatkan cengkramannya. Mia tetap tidak merespon. “kamu kenapa menghindar dari aku sih?” cecar Lio lagi.

“AAA!!!!” teriakan anak perempuan mengagetkan Lio. Refleks dia melepaskan tangan Mia. Anak perempuan itu maju menatap Lio curiga, keningnya berkerut dan bibir mengerucut marah berdiri di depan Mia seperti tameng. “om ini penjahat ya? Kok tarik-tarik tangan mama aku?”

Lio benar-benar tidak tau kalau hari ini akan penuh dengan kejutan. Setelah pertemuannya dengan Mia yang tidak dia duga. Kini dia berhadapan dengan jiplakan mininya tapi dalam versi perempuan. Baru saja dia ingin melangkah maju memeluk anaknya, namun niatnya terhenti ketika Mia merangkul gadis kecil itu posesif.

Ada ketakutan diraut wajahnya. Saat itu juga Lio tau, Mia takut kalau Lio menyadari anak ini adalah darah dagingnya. Oleh karena itu alih-alih merangkul erat anaknya, Lio memilih berlutut. Mensejajarkan matanya

dan tersenyum ramah. “bukan dong, om ini dokter penggantinya dokter Aan.” Ucapnya ramah.

 “oh iyaa.. om dokter Aan lagi libur. Katanya mau nikahan. Tapi ga disini, om Aan nyebrang sama tante Widya. Katanya mau bikin pesta disana aja” tangan kecil itu merentang jauh menunjuk dermaga di ujung pulau.

Lio tertawa gemas. Bukan hanya menjiplaknya, anak ini juga mirip dengan mama Lio yang hobi berceloteh. Liat, bahkan dia juga memiliki tahi lalat di dagu kirinya persis seperti milik mamanya.

“ngomong-ngomong nama om dokter siapa?” Tanya si kecil ini lagi.

“nama om dokter, Angelio. Panggilannya Lio”

“salam kenal om dokter Lio. Maaf tadi Nadia nuduh om dokter penjahat”

Lio menengadah ke atas. Menatap Mia yang masih terlihat cemas. “panggil om Lio aja boleh”

“ok om Lio, om ga ikut ke nikahannya om Aan?”

Lio menggeleng “nanti kalau om ikut, yang jadi dokter di sini siapa?”

 “oh iya” Nadia menepuk jidatnya lalu tertawa “kalau gitu ga boleh, om Lio harus di sini biar bisa ngobatin nenek Sisil kasian punggung sakit sampai susah jalan” lanjutnya sambil meniru cara nenek Sisil berjalan bungkuk.

“nenek Sisil tadi udah om obatin. Tapi ga bisa langsung sembuh masih harus sering dicek. Nadia mau ga kita sama-sama antar nenek Sisil ke rumahnya. Biar sakitnya ga parah”

Mia buru-buru menarik mundur Nadia. Sepertinya tau maksud Lio mau mengantar nenek Sisil agar dapat mengetahui letak rumahnya. Seperti yang dia bilang di ruang pemeriksaan, rumah mereka berdekatan.

Mia menatap Lio waspada “udah yuk sayang, tadi katanya mau nemenin kakek Paul” ucapnya.

Nadia mengangkat kepalanya, menatap Mia dengan wajah cemas. “kakek Paul masih murung ya ma?”

“iya sayang, kakek Paul masih sedih ditinggal nenek Wati ke surga”

“ya udah, nadia mau ke kakek Paul dulu ya om Lio, dada..” Nadia melambaikan tangannya. Keduanya melangkah pergi. Tiba-tiba Lio merasa ada yang kosong dalam dirinya. Seperti tidak rela ditinggal pergi.

Lio berusaha mengejar Mia namun berhenti ketika melihat Mia sedang berbincang dengan seorang pria sambil tersenyum ceria. Ekspresi yang Lio sadari tidak pernah dia lihat ketika mereka bersama dulu.

Lio merasa pernah melihat pria yang sedang berbincang dengan Mia itu, entah di mana. Di suatu tempat. Lio yakin mereka pernah berpapasan. Di mana? Ya, di rumah mami Tita! Pria itu adalah pria yang Mia temani di malam terakhir mereka bertemu. Apa yang dia lakukan di sini?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!