“Selamat Datang di Kapal Antariksa Thornic 035.”
Thornic 035, sebuah kapal antariksa raksasa yang mengorbit di satelit alam Darzia, satelit milik planet gas Yomna. Merupakan markas dari Guild Thornic. Walau tidak sebesar kapal induk, setidaknya kapal ini mengangkut 1000 jiwa penghuni. Anggota Guild hanya berjumlah kurang dari 100 pemburu, termasuk di bagian pilot beberapa pesawat khusus dan ahli medis, sisanya merupakan warga sipil biasa dan para awak kapal.
Pada dasarnya, kapal jenis ini menampung warga tunawisma yang terbuang dari planet maupun koloni mereka. Di sini mereka diberikan tempat tinggal layak, pekerjaan, dan juga perlindungan di bawah naungan Guild Thornic.
Selain menjadi Guild Pemburu, Guild Thornic juga berperan sebagai penanggung jawab para penghuni kapal. Mereka bekerja sama membangun tempat yang aman dan damai bagi para penghuni bersama awak-awak kapal antariksa.
Selain Guild Thornic, banyak Guild Pemburu lain yang juga berdomisili di sebuah kapal antariksa. Keinginan semua pemburu sama, yaitu terbebas dari peraturan sistem pemerintahan.
Biarpun mereka ingin mandiri dari pemerintah, para pemburu bukanlah pemberontak. Hanya saja, sampai sekarang eksistensi pemburu dikenal buruk bagi masyarakat pemerintahan. Mereka dianggap barbar, semberono, dan egois walau kenyataannya tidak.
Namun para pemburu tidak peduli dengan anggapan tersebut, yang penting mereka bebas, bisa bahagia dan membahagiakan orang lain dengan cara mereka sendiri.
Gerbang lobi kapal terbuka secara otomatis, menampakan sosok pria berompi jingga memasuki area tersebut. Sebelum masuk lebih dalam, pria itu diminta untuk melakukan pengecekan terhadap gelang canggih yang ia pakai oleh salah satu pemburu yang bertugas berjaga-jaga. Butuh beberapa detik pengecekan, sang pemburu mengizinkan pria itu pergi.
“Selamat datang kembali, Bung Astan,” sapa pemburu tadi. “Bagaimana perburuanmu tadi? Kulihat itu baju kotor sama darah, badanmu juga bau menyengat.”
Sesaat Astan melihat pakaian yang ia kenakan kotor oleh darah monster kadal, mengendus pula bau tak sedap yang ada pada tubuhnya.
Sepertinya, Astan perlu mandi lama lagi.
“Ini memang kotor, tapi bau menyengat ini adalah bau petualangan.”
Sang pemburu nyengir, mengibaskan tangan di depan. “Hilih, Upil Kuda bisa aje…. Kau nanti bakal ke resepsionis, kan?”
“Ke toko juga, sih. Mau jual hasil buruan.”
“Pakai, nih.”
Pemburu itu melemparkan sebotol parfum berwarna metal kepada Astan dan ditangkap dengan baik olehnya. Astan langsung menyemprotkan cairan wangi tersebut ke seluruh tubuhnya. Walau tak bisa menghilangkan bau tak sedap, setidaknya bisa menyamarkannya sedikit.
Beruntung, parfumnya tak bikin baunya makin aneh karena kecampur bau busuk.
“Ish, bau jamet,” canda Astan. “Ini ‘kan parfum yang sering dipakai buat goda cewek-cewek di club?”
“Ya, kali aja bisa bikin cewek-cewek pada nempel. Gerbang komunitas jamet akan selalu terbuka untukmu, Bung,” goda sang pemburu.
“Hilih~ Kentut Jengkol bisa aje.”
Astan melemparkan parfum itu kembali ke pemburu. Bukannya ditangkap, botol parfum itu malah kena kepala sang pemburu.
“Aduh! Oi, sakit, lah…!” ucap sang pemburu sambil mengelus dahinya yang kena lempar.
Astan mulai berlalu meninggalkan sang pemburu, “Ya, maaf. Setidaknya enggak sampai benjol lima tingkat, kan…?”
Keduanya hanya saling tertawa menanggapi interaksi konyol mereka sendiri. Ya, seperti inilah cara para pemburu bersosialisasi, terutama bagi sesama pria.
Dengan santainya Astan berjalan menuju bagian lobi. Lobi khusus para anggota Guild Thornic ini terlihat ramai oleh banyak pemburu dan robot-robot yang tengah bertugas membersihkan lobi dan membantu para staf.
Lobi ini didominasi warna putih gading dengan aksen biru. Atapnya merupakan kubah transfaran dengan kaca lapis tebal yang kuat, siapa saja dapat melihat pemandangan hamparan bintang luar angkasa yang nampak bagaikan serbuk gemerlap serta permukaan biru Satelit Darzia.
Di lobi ini juga terdapat empat tangga utama yang terhubung ke bagian balkon panjang menuju masing-masing koridor, arsitekturnya sangat futuristik. Setiap sudut lobi dihias oleh berbagai macam pohon dan tanaman untuk mempertahankan kualitas oksigen. Ada juga beberapa sofa tempat para pemburu bisa bersantai sambil melihat pemandangan di luar kubah.
Ngopi-ngopi sambil melihat langit luar angkasa, macam anak senja tingkat elit, gitu.
Dari lobi, terdapat jalur menuju beberapa stand toko dan fasilitas untuk para pemburu bertransaksi, mulai dari toko senjata, toko obat, makanan-minuman, toko serbaguna, dan banyak lagi.
“Jual hasil buruan dulu, dah.”
Astan berjalan menuju salah satu toko obat. Namun sebelum ke sana, ia memutuskan untuk membeli minuman dulu di salah satu Vending Machine dekat toko. Astan melakukan pembayaran dengan kode QR pada ponselnya yang dipindai oleh mesin pemindai Vending Machine.
“Soda aja kali, ya.”
Setelah membeli sekaleng soda original dan meminum setengahnya, Astan pun berjalan memasuki toko, menuju meja sang penjual.
Penjual yang merupakan seorang bapak paruh baya tersebut juga nampak melayani seorang ibu-ibu yang baru saja membeli seperangkat obat racikannya.
“Pakai sesuai resep ya, Bu. Moga anaknya cepat sembuh,” ucap sang penjual ramah.
“Terima kasih banyak, Pak Rohma.”
Setelah berpamitan, ibu tersebut segera keluar dari toko meninggalkan sang penjual dan Astan berdua. Mata Pak Rohma mendelik tak suka akan kehadiran pria berluka tiga sayat di bagian kulit mata kiri itu.
“Kenapa preman macam kau datang kemari?”
“Ish, enggak ramahan sekali bapak ini.” Astan mengaktifkan panel sistem di hadapannya. “Aku ‘dah selesaikan misi yang kau kasih di panel misi lobi kemarin.”
“Eh? Jadi kau yang ambil?” tanya Pak Rohma heran.
Astan mengklik bagian penyimpanan sistem. “Enggak dicek notifikasinya kemarin?”
“Masuk, sih. Cuma lupa aku cek. Maklum, ‘dah tua.”
Pria muda itu menggelengkan kepala. “Nih hasil buruannya. Kira-kira laku berapa?”
Setelah mengklik barang di penyimpanan, secara otomatis muncul ekor besar Giant Gecko dalam bentuk hologram lebih dulu sebelum berubah menjadi nyata. Astan memunculkan ekor itu di sampingnya karena ukurannya yang terlalu besar untuk di taruh di meja.
Pak Rohma tercengang kala melihat ekor kadal raksasa tersebut. Buru-buru ia keluar dari balik meja menghampiri ekor itu, mengelus, memastikan kualitas dari ekor.
“Ini ekor Giant Gecko yang udah misah dari tubuhnya, kan?” tanya Pak Rohma tak percaya. “Buset…. Kualitasnya masih bagus banget. Biasanya kalau ekor yang sengaja dilepas Giant Gecko itu pasti mentalnya kenceng macam rudal, terus hilang. Pas ditemukan, tahu-tahu udah busuk. Gimana caranya kau mendapatkan ekornya yang lepas ini? Potongan lepasnya ini masih rapi, lho. Rata-rata pemburu ngasih ekor Giant Gecko yang mereka potong, ekor yang kayak gitu kualitasnya kurang bagus. Kalau nemu pun, paling monsternya sudah tidak punya ekor lagi.”
Sesaat Pak Rohma mulai mencurigai Astan.
“Kau hanya Pangkat Besi. Pemburu Pangkat Besi mentoknya cuma bisa melawan musuh Tingkat Normal, itupun masih perlu bantuan satu Squad, sedangkan kau melakukannya sendiri. Giant Gecko ‘kan Tingkat Hard. Dan seingatku senjata yang kau pakai cuma Grade-C.”
“Eee….”
Bingunglah Astan untuk menjawab. Ia sendiri tak mengerti mengapa bisa mengalahkan Giant Gecko sendirian dengan pangkatnya yang rendah dan senjata Grade rendah pula. Kalau dibilang sejujur itu, pasti Pak Rohma takkan percaya.
“Kebetulan, tadi tokeknya ketimpa longsor, otomatis ekornya lepas. Pas lagi udah sekarat gara-gara longsor, ya aku tembak.”
Pak Rohma menyipitkan matanya, menelisik kebenaran dari raut Astan. Setahunya, monster Tingkat Hard macam Giant Gecko takkan mudah mati cuma gara-gara longsor, apalagi sampai melepas ekornya tanpa alasan.
Astan yang ditatap begitu mulai tegang seketika.
Pak Rohma semakin tajam menatapnya.
Keringat dingin membasahi wajah Astan.
Pak Rohma masih menatapnya begitu.
Sumpah! Mau kencing di celana aja Astan sekarang saking tegangnya suasana.
“Ya, udah. Aku bayar.”
Astan menghela nafas lega. Rasa leganya ibarat menunggu bisul bulanan akhirnya pecah juga.
Pak Rohma kembali ke belakang meja. Mulai mengecek harga dan pembayaran atas transaksi ekor dan misi yang ia pasang lewat monitor hologram di atas meja.
“Susah menemukan ekor Giant Gecko dengan kualitas sebagus ini. Jadi, kira-kira harganya 500 Dt.”
“Lah, kok mahal?”
Pak Rohma berucap heran, “Lah…. Seharusnya kau senang kalau hasil buruanmu dibayar mahal.”
Sesaat Astan tertawa, “Haha…. Enggak nyangka aja bakal semahal itu harganya. Biasanya harga ekor Giant Gecko cuma 250-300an.”
“Itu ‘kan yang kualitasnya kurang bagus.” Pak Rohma kembali mengecek di monitornya. “Terus pembayaran untuk misi yang aku pasang…. Tadi udah ke resepsionis Guild?”
Astan menggeleng, “Belum.”
Pak Rohma melenyapkan monitor hologram. “Ke resepsionis, gih. Upahnya dah kutransfer ke Guild.”
“Ya, Udin….” Astan mendesah lesu. “Tak bisa bayar langsung aja? Males jalan kaki ke sono.”
“Aelah~ Jalan dari sini ke meja resepsionis kagak sejauh mengejar cintanya si dia yang kagak pernah peka atas perjuangan situ,” canda Pak Rohma. “Kucing peliharanku saja cepet bolak-balik dari sini ke sana buat nyolong bekal makanan staf-nya.”
“Lah, tuh kucing greget amat, ya?” Astan hampir tertawa mendengarnya.
Pak Rohma mengibaskan tangan di depan. “Udahlah. Tagih aja upahmu di sana. Aku buru-buru mau mengolah nih ekor buat dijadi’in vaksin flu.”
“Terus, bayaran buat nih ekor mana?” tagih Astan.
“Eh, lupa.” Pak Rohma terkikik sambil mengaktifkan kembali monitor hologram komputernya.
“Ditransfer aja, Pak.”
Pak Rohma mengacungkan jempol.
Setelah transaksi jual-beli ekor kadal raksasa, Astan berpamitan keluar toko. Kini ia harus pergi menuju meja resepsionis.
Di sekitar meja resepsionis, terlihat beberapa pemburu tengah berunding dengan para staf resepsionis soal penyetoran misi, pendaftaran, dan masih banyak hal lagi.
Ketika sampai di meja resepsionis, tanpa basa-basi Astan menghentakan satu tangan di meja, membuat wanita resepsionis yang baru saja selesai melayani salah satu pemburu terkejut.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya sang resepsionis sambil berusaha tersenyum ramah walau rasanya pengen sekali menjitak kepala jingga Astan.
Astan langsung balik tanya, “Mana upahku, Tessa?”
Resepsionis Guild bernama Tessa itu mengernyitkan alis. “Anda sudah menyelesaikan misi apa? Biar saya cek.”
“Misi tingkat C, memburu satu GG dari Pak Rohma.”
“Oke….”
Tessa mengecek data misi dari monitor hologram komputernya, membaca satu misi yang disebutkan sudah terkonfirmasi diselesaikan.
Sesaat Tessa memandang curiga pada Astan yang sedang melihat pemandangan luar angkasa di luar kubah transfaran. Pasalnya, dari data yang ia cek Astan berhasil mengalahkan musuh Tingkat Hard sendirian, sedangkan pria berambut kejinggaan itu sendiri masih di Pangkat Besi level 3, pakai senjata Grade-C pula.
Logisnya, Squad berisi tiga sampai empat orang dari Pangkat Perunggu level awal saja masih belum tentu bisa mengalahkan monster Tingkat Hard, apalagi sebesar Giant Gecko.
Yang lebih mengherankan lagi, selama Astan bergabung menjadi pemburu selama enam bulan, dia jarang sekali mengambil misi. Makanya, pangkat dan level-nya lambat naik. Kalau mau ambil misi pun karena mau cari uang untuk kebutuhan hidup. Anehnya, sekalinya ambil misi, misi yang susah untuk peringkatnya sekarang bisa diselesaikan sendirian.
Tessa pernah membicarakan masalah ini pada ketua dan wakil ketua Guild, tapi mereka beranggapan santai. Selama Astan tidak berbuat onar, tak masalah, yang penting seisi Guild dan Kapal Thornic 035 damai.
Astan yang menyadari ditatap Tessa mulai bicara sambil menyugar rambut jingganya ke belakang, “Ah, Mbak…. Jangan tatap saya begitu, ‘kan saya jadi salah tingkah.”
Buru-buru Tessa mengalihkan pandangan kembali ke monitor, berusaha menyembunyikan semburat rona merah di wajahnya.
Astan tertawa melihat reaksi Tessa, “Haha…. Aku cuma bercanda, kok situ beneran tersipu?”
“I-ish! Hentikan…! Mau ditransfer enggak upahnya?” ucap Tessa salah tingkah.
“Ya, maulah. Siapa juga yang enggak mau sama duit?”
“Tapi sebelumnya, saya perlu melakukan pemindaian terhadap Gelang AutoTerra milik Anda. Mau memastikan apakah data yang di transfer ke database sini cocok dengan yang ada di gelang sistem.”
“O-oh, oke.”
Tangan Astan yang terpasang Gelang AutoTerra diulurkan ke depan Tessa. Wanita berambut cokelat itu segera memindai kode yang ada pada garis biru gelang menggunakan alat pemindai kode berbentuk menyerupai pistol. Data hasil pemindaian otomatis terkirim ke database komputer resepsionis, kemudian langsung dicocokan dengan data yang ada.
“Score 1.300 A yang didapat, benar?”
“Benar.”
“Sakti bener, ya,” sindir Tessa, masih curiga dengan kemampuan bertarung Astan.
Astan hanya meringis canggung mengetahui dirinya disindir. Bukan hanya Tessa dan Pak Rohma saja yang mencurigai kekuatannya, bahkan hampir satu Guild juga curiga dan sering menyindirnya juga.
Sampai kapan Astan bakal diperlakukan seperti itu terus hanya karena kuat sedikit daripada pangkat level-nya sekarang?
Tessa melepas pegangangannya pada tangan Astan serta menaruh alat pemindai kode ke balik meja. “Dari hasil yang didapat dan bayaran yang ditransfer oleh Pak Rohma, hasilnya 135 Dt.”
“135 Dt?” Astan terkejut. “Dikit bener….”
“Itu udah termasuk bayaran dari Pak Rohma saat memasang misi, ditambah lagi bonus dari Guild. Seumpama kau dapat S atau ke atasnya lagi, baru bisa jadi jutawan.”
Astan memutar bola mata heterokromnya. “Ya, udah. Transfer aja.”
Setelah transaksi selesai, Astan berencana untuk langsung kembali ke kabin tempat tinggalnya. Niatnya diurungkan saat mengenali sosok yang baru saja datang ke meja resepsionis dan langsung dilayani dengan sangat ramah oleh Tessa.
“Selamat datang di Guild Thornic, dek. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya mau mendaftar jadi pemburu, Kak!”
“BUJUBUNENG!”
...~*~*~*~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
John Singgih
siapa lagi nih yang datang ?
2022-11-15
0
Cit Lon
walah orang betawi rupanya para pemburu 🤣🤣
2022-06-07
0
Sikilman
senyum" konyol bacanya, gambaran dan kata" sudah pas bgt nich karya.
favor jelas di klik!!!!!!!👍👍👍👍👍
2022-03-12
1