Kakak melihatku dengan lekat, sepertinya dia meragukanku hingga akhirnya dia membuka mulut dan memberi tahu namanya "Fan XiLiang." Sebuah nama yang sudah kuduga namun tetap membuatku syok. Apakah aku benar-benar kembali ke dinasti Qin di mana kisah cinta menyedihkan Meng JiangNv dan Fan XiLiang terjadi? Jika cerita tersebut merupakan kenyataan berarti mereka akan menikah, dan berarti Fan XiLiang akan mati di tembok China. Tidak! Dia kakakku, kami kakak-adik, tidak mungkin timbul perasaan cinta, dan kakak tidak akan mati.. aku harus segera terbangun dari mimpi buruk ini, harus! Aku segera mencubit diriku sendiri sekencang-kencangnya, mataku terpenjam seerat-eratnya, namun di waktu aku membuka mata, keadaan tetap tidak berubah, aku tetap berada di sini.. di tempat yang kumuh dan hanya tersisa remang-remang lilin.
"Anakku.. makan malam sudah siap," ucap sang perempuan membawa dua piring lauk-pauk keluar, juga seorang laki-laki tua yang ikut mengambil mangkuk keluar. "Anak muda, kamu sudah sadar? Apakah sudah merasa baikan?" tanya sang laki-laki tua berjalan ke dekat kakak.
Dia menarik tangan kakak dan mengecek nadi kakak, sepertinya laki-laki tua itu mengerti tentang ilmu tabib.
"Kamu sudah sehat. Mari makan bersama-sama," ucap sang laki-laki membawa kakak datang ke meja makan yang terbuat dari kayu tua dan sedikit goyang tersebut.
"Kalian siapa?"
"Kami.. orang tua Meng JiangNv, kemarin kamu terkena panah dan tidak sadarkan diri di depan halaman rumahku, JiangNv, anakku yang menolongmu," ucap sang perempuan sambil menatapku, tatapannya begitu lembut, kakak ikut menatapku, dia pasti terheran-heran kenapa tadi aku bilang tidak menolongnya dan kini kedua orang tua itu bilang aku telah menolongnya, namun bagaimana aku harus menjelaskan? Aku saja tidak tahu kenapa aku muncul di sini? Apakah aku sudah mati dan rohku masuk ke dalam tubuh Meng JiangNv? Tetapi ini sungguh tidak masuk akal, cerita Meng Jiangnv hanyalah sebuah legenda, kalaupun terjadi juga sudah berabad-abad yang lalu, bagaimana aku bisa di sini? Apakah aku harus menjadi Meng JiangNv hingga menemukan cara untuk keluar dari sini?
"Tidak, ayahku yang telah menolongmu, dia yang telah mengobatimu," ucapku segera tersenyum menjawab pertanyaan dari tatapan kakak. "Sudah, mari makan, aku sangat lapar." lanjutku mengalihkan pembicaraan. Aku bergegas berjalan ke arah meja makan dan mengambil semangkuk nasi. Lauk-pauk di atas meja terlihat begitu sederhana, hanya sayur-sayuran, tidak ada daging.
Aku kembali menatap kedua orang tua itu dan juga kakak, mereka kini duduk di sekelilingku. Semangkuk nasi dan sepasang sumpit telah berada di tangan masing-masing.
"Selamat makan," ucapku segera melahap nasi di mangkukku, walaupun lauk-pauk yang tidak seberapa, namun rasanya sangat lezat, aku menyukainya.
"Makan yang banyak, anakku," ucap perempuan tua itu mencapitkanku sayur.
"Terima kasih, Anda juga makan yang banyak," ucapku pelan. Aku kembali melahap, namun tanganku terhenti dengan sendirinya ketika melihat kakak tidak menyentuh nasinya sedikitpun. "Makanlah," ucapku mencapitkan sedikit sayur untuknya, aku melemparkan senyumanku untuknya, seperti biasa aku menyunggingkan senyuman ini di depan kakak, kakak selalu mengatakan senyumanku adalah senyuman termanis di dunia, namun kakak yang kini duduk di depan hadapanku, apakah dia akan mengatakan hal yang sama kepadaku?
"Terima kasih.," gumamnya mulai memasukkan sedikit demi sedikit nasi ke dalam mulutnya. Aku menatap kakak dengan lekat. Cara makannya sedikitpun tidak berubah, sangat mirip dengan sekarang.
Tidak lama setelah itu, kami akhirnya menyelesaikan makan malam, setelah dipikir-pikir, kini aku adalah anak dari kedua orang tua ini, aku harus menjadi anak yang berbakti, apalagi Meng JiangNv memang terkenal sebagai anak yang berbakti. "Aku saja yang mencucinya," ucapku segera menarik mangkuk yang disimpan laki-laki tua itu.
"Biar ayah saja yang mencucinya, kamu baru sembuh, tidak boleh terkena air lagi."
"Tidak.., aku sangat sehat sekarang, hanya cuci piring saja, aku bisa," ucapku melemparkan senyuman kepadanya, setelah itu aku mulai menyimpan piring-piring kotor tersebut.
"Anakku, biar ibu saja yang mencucinya."
"Tidak, biar aku saja, kalian istirahtlah." Setelah berbicara, aku mengambil piring-piring berjalan pergi tanpa arah, aku bahkan tidak tahu di mana dan bagaimana cara mencuci piring-piring di zaman seperti ini. Hari sudah mengelap dan lagi rumah ini juga sudah mengelap, yang ada hanyalah remang-remang lilin.
"Biar aku bantu," ucap kakak segera mengambil lilin di atas meja makan dan mengikutiku. Aku yang takut gelap merasa sangat lega ketika kakak berada di sisiku.
"Kita cuci di dekat sumur saja," ucapku langsung berjalan keluar ketika mengingat di tengah halaman rumah ini ada sebuah sumur.
"Anakku, ini garam dan sikatnya." Sang perempuan menyusul keluar. "Biar ibu saja yang mencucinya." Lagi-lagi dia menawarkan diri. Aku segera mengambil garam dan sikat dari tangannya, lalu membawa dia masuk ke dalam rumah kembali.
Setelah kembali duduk di dekat kakak, aku menatapinya cukup lama, dia begitu polos menatap piring-piring di depan hadapan kami.
"Biar aku yang mencucinya saja," gumamnya sedikit mengejutkan.
"Tidak, tidak, luka kakak tidak boleh terkena air," tolakku cepat.
"Kakak?" gumamnya.
Aku merasa gugup ketika menyadari apa yang baru aku lontarkan, dia yang sekarang bukanlah kakakku, melainkan calon suamiku? "Kakak Fan," panggilku lagi. "Aku rasa kamu lebih besar dariku, jadi aku memanggilmu kakak." Aku segera mulai mencuci piring sambil mengalihkan pandanganku, walau tidak melihatnya secara langsung, namun aku dapat merasakan kakak sedang mengangguk pelan.
Di malam yang gelap seperti ini, aku dan kakak duduk berdua di samping sumur, kakak melihatku mencuci piring, kami saling terdiam karena tidak tahu ingin berkata apa. "Wah!" begitulah reflekku ketika melihat ke atas langit, tanganku bahkan tidak lanjut mencuci piring, aku hampir tidak bisa berkata apa-apa, bintang-bintang di atas langit, begitu banyak dan begitu terang, tidak seperti zaman sekarang kita bahkan tidak bisa melihatnya dengan jelas. "Indahnya."
Kakak tersenyum tipis melihatku. "Kamu menyukainya?"
"Iya," anggukku dengan semangat. "Kakak, apakah kamu ingat, di waktu kecil kita pernah berdoa kepada bintang jatuh?" Ucapan tanpa sadarku mungkin mengejutkan kakak lagi. "Maaf." Aku segera kembali mencuci piring. Aku tahu kakak sedang menatapiku dengan penuh pertanyaan, dia pasti berpikir apakah aku sudah tidak waras mengatakan hal-hal aneh seperti itu.
"Kenapa harus berdoa kepada bintang jatuh?" tanyanya.
Aku kembali menatapnya. "Karena bintang jatuh dapat mengabulkan harapan kita."
"Benarkah?" tanyanya dengan polos, tentu itu adalah omong kosong, bintang mana yang dapat mengabulkan pemohonan kita.
"Seseorang pernah mengatakannya padaku, namun aku merasa itu hanyalah dongeng, karena doaku tidak pernah terkabul," gumamku lagi, aku mengingat kembali doa di masa kecilku, aku ingin penyakitku lekas sembuh, dengan begitu aku dapat segera kembali ke sisi orang tua dan juga kakakku, namun.. sekarang aku malah tidak tahu mengapa aku bisa muncul di sini, mungkin karena aku sudah meninggal karena penyakit aneh itu.
"Mungkin belum saatnya," ucapnya menghibur. "Ngomong-ngomong terima kasih sudah menolongku."
Piring-piring akhirnya selesai dicuci, aku dapat kembali menatap kakak dengan lekat. "Kakak Fan, apakah lukamu baik-baik saja?"
Kakak mengangguk kecil.
"Kamu kenapa bisa terluka?" tanyaku sengaja, aku tentu tahu cerita di balik ini semua. Luka kakak tentu karena dipanah oleh prajurit yang akan membawanya ke tembok China untuk dijadikan budak pembangun tembok China, dan kakak tidak mau, makanya dia kabur.
"Sebenarnya, aku telah terpilih untuk ikut membangun tembok China, namun.. aku kabur."
Ketika mendengar kejujuran dari kakak, akhirnya aku dapat tersenyum, kakak memang orang yang jujur. "Jika begitu, kamu tinggalah di sini sampai lukamu sembuh total." Senyumanku mungkin telah membuat kakak larut dalam lamunannya, mungkin dia tidak percaya denganku. aku mengambil piring-piring yang kini telah bersih. "Sudah, ayo masuk, di luar sangat dingin."
"Biar aku yang mengambilnya, kamu ambil saja lilin itu," ucap kakak segera mengambil piring-piring di tanganku dan berjalan masuk.
***
Pagi yang cerah, matahari mulai terbit di antara perpohonan di luar sana, aku terbangun dan berjalan keluar, hal yang ingin kutanyakan tentu bagaimana cara menyuci muka dan sikat gigi. Ini zaman yang begitu berbeda dengan kehidupanku, melihat perempuan tua yang merupakan ibu Meng JiangNv berdiri di pinggir sumur sambil mengoleskan garam ke giginya, aku pun mengerti, dulu nenek juga pernah bercerita, orang zaman dulu selalu menggunakan garam ataupun bahan alam untuk mencuci sesuatu. Aku berjalan ke dekatnya, dengan penuh senyuman menyapanya. "Pagi," sapaku.
"Anakku," panggilnya dengan senang.
"Bersihkanlah wajahmu, setelah itu bantulah ayahmu pergi ke hutan memunggut kayu."
Ke hutan? Memunggut kayu? Itu terdengar menyenangkan, aku segera mengangguk dan mulai membersihkan wajahku.
Kakak berjalan keluar, dengan penuh sopan santun dia menyapa perempuan tua yang kini merupakan ibuku.
"Anak muda, apakah sudah merasa baikan?" tanya Ibu. Kakak hanya membalasnya dengan menganggukan kepalanya.
"Anakku, ayo kita pergi," ajak sang laki-laki tua yang merupakan ayahku sekarang, dia memakai topi petani dan membawa sebuah keranjang.
"Baiklah," ucapku segera menghampirinya setelah mengeringkan wajahku.
"Boleh aku bantu," sela kakak sebelum kami melangkahkan kaki berjalan keluar dari halaman ini, kami menoleh ke arah kakak. "Kalian ingin pergi mencari kayu? Biarkan aku membantu kalian. Sebagai tanda terima kasih Anda telah menolongku juga," ucap kakak menghampiri Ayah. Dia mengambil keranjang yang sudah lusuh itu dan menetenginya.
"Tetapi, lukamu belum pulih anak muda," ucap Ayah cepat, itu juga merupakan hal yang aku khawatirkan.
"Tidak apa-apa, hanya memunggut kayu, aku dapat melakukannya," ucap kakak lagi, setelah dipikir-pikir aku juga merasa tidak enak menyuruh orang yang sudah tua meneteng kayu yang begitu berat.
"Ayah beristirahatlah di rumah, biarkan kami berdua pergi memungut."
"Tetapi.."
"Kami bisa," ucapku segera memotong pembicaraan ayah, aku langsung menarik kakak berjalan pergi meninggalkan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments