Chapter 19

"Kaheza tidak akan melakukan hal itu, Shain."

"Tapi buktinya di foto itu, Kaheza dan Angel saling tatap, Za."

Qyza tertawa kecil. "Cemburu nih ceritanya?" goda Qyza.

"Za?"

"Iya, iya." Qyza menghentikan tawanya. "Saling tatap bukan berarti mereka punya hubungan istimewa 'kan?"

Mulut Shain terbuka, tapi bingung mau mengatakan apa. Ia pun menutup kembali mulutnya.

"Jadi intinya, kau cemburu gara-gara foto itu. Dan kau sudah berfikiran yang tidak-tidak terhadap Kaheza?" tanya Nada.

"Terlalu banyak perempuan yang dekat dengan Kaheza, Nad. Dan itu membuatku tidak tenang. Ditambah lagi ..., aku sedang hamil, aku takut anak ini akan bernasib sama denganku, Nad, Za."

"Bukannya bagus kalau anaknya sama cantik dan baiknya denganmu? Lalu kenapa kau merasa takut?" timpal Qyza berusaha mencairkan suasana.

"Bukan itu maksudku."

"Lalu apa?"

"Tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua kandungnya."

"Tunggu-tunggu," dahi Qyza berkerut, "apa maksudnya anakmu nanti tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua kandungnya?"

"Maksudku ..., kalau anak ini lahir tapi ayahnya lebih memperhatikan perempuan lain dari pada keluarganya, Za."

Qyza kembali tertawa dengan menutup mulutnya. Sedangkan Nada menarik sudut bibirnya sembari menggeleng kecil. Shain tidak berubah. Selalu berpikir negatif yang berkepanjangan. Padahal belum tentu terjadi. Over thinking.

"Nad?" Shain menatap Nada dengan wajah seperti seorang bocah yang mengadu pada ibunya.

Nada memeluk Shain sebentar yang terlihat jauh lebih baik dari saat mereka baru melihat keadaannya.

"Kau tahu?" Nada menoel hidung Shain.

"Apa?"

"Karena pikiran negatifmu itu, kau sudah melukai dua orang di saat bersamaan. Yaitu dirimu dan Kaheza. Dan karena pikiran negatifmu itu, kau juga sudah membuat cemas banyak orang. Jadi berhenti berpikir negatif dan belajarlah berpikir positif."

Shain menunduk. Benar kata Nada, ia selalu berpikir negatif secara berlebihan. Bahkan apa yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang sudah ia pikirkan. Karena itulah hatinya selalu tidak tenang.

"Dan kau tahu, Shain?" tanya Qyza yang sudah reda tawanya.

Shain mengangkat kepalanya. "Apa?"

"Kaheza pasti akan senang berkali-kali lipat. Dan dia juga akan sangat menjagamu kalau dia tahu kau sedang mengandung anaknya."

Shain kembali menunduk.

Qyza menepuk pundak kiri Shain. "Percayalah padanya. Aku yakin dia tidak akan bermain di belakangmu. Dan amit-amit, kalau sampai itu terjadi, aku akan membantumu menghajarnya."

"Sekarang Kaheza di mana?"

"Ada di bawah, sama Lian dan Bian." Nada yang jawab.

Shain terdiam. Namun raut wajahnya terbaca oleh Qyza dan Nada.

"Ya sudah, ini sudah sangat malam. Jadi kami pamit pulang ya?" ujar Nada.

"Jangan lupa dimakan buburnya. Kita belinya ngantri loh, Shain," kata Qyza lagi.

Shain melirik semangkuk bubur di atas meja kemudian menatap Nada dan Qyza.

"Kau pasti lemas karena tidak makan sejak kemarin, jadi tidak usah mengantar kami. Kau makan saja buburnya," kata Nada.

"Ingat! Selalu berpikir positif." Qyza mengingatkan sebelum beranjak pergi.

Setelah keduanya melambai pamit dan kembali menutup pintu kamar, Shain merebahkan kembali tubuhnya. Kepalanya masih terasa sakit, tubuhnya juga lemas. Namun suasana hatinya jauh lebih baik dari sebelumnya.

Terkadang curhat itu penting.

Sedangkan di lantai bawah, Qyza, Nada, Bian dan Lian kompak memandang wajah tenang Kaheza yang terlelap di sofa biru gelap ruang tengah dengan handuk kecil di keningnya.

"Badannya sedikit demam, jadi kami mengkompresnya," ujar Lian menjelaskan.

Tanpa berniat mengganggu tidurnya, mereka berbalik dan berjalan menuju ruang depan.

"Dia sudah makan?" tanya Qyza pada Lian.

"Sudah, meskipun sedikit sih. Tapi lebih baik daripada tidak sama sekali, 'kan?" jawab Lian, yang lain hanya mengangguk setuju.

"Sepertinya dia benar-benar kepayahan. Jadi sebaiknya kita langsung pulang saja. Tidak usah membagunkannya lagi untuk pamit," ujar Nada.

"Setuju," angguk Lian yakin.

"Tapi bagaimana dengan keadaan Shain?" tanya Bian yang masih ragu untuk pulang.

"Kenapa? Kau mau menemaninya? Kalau iya, dia ada di kamarnya." Qyza yang jawab. Setelahnya perempuan itu membuka pintu dan beranjak keluar.

Nada menepuk pundak Bian sekali. "Dia baik-baik saja. Hanya butuh teman curhat," jelasnya kemudian menyusul Qyza.

Lian yang terakhir keluar kebagian menutup pintu.

tak lama ..., malam semakin pekat. Hujan turun dengan lebat. Kilat menyambar, disusul suara guntur menggelegar.

Shain dan Kaheza terbangun dari tidurnya.

"Shain!" / "Kaheza!" seru mereka bersamaan di tempat masing-masing. Kaheza mengedarkan pandangan di sekitarnya begitupun dengan Shain. Hingga akhirnya Shain memutuskan keluar kamar dan Kaheza berlari naik menuju kamar.

Tatapan mereka beradu di bawah bingkai pintu kamar dengan napas yang tertahan.

1

2

3

4 detik kemudian Kaheza terkejut karena Shain tiba-tiba memeluknya.

"Maaf," ucap Shain dengan mata yang basah.

"Maafkan aku, Za." Kaheza balas memeluk Shain.

"Maaf karena sudah berfikir negatif tentangmu."

"Tidak Shain, aku yang salah."

"Maaf karena sudah mendiamkanmu."

"Maafkan aku juga karena sudah membiarkanmu pergi sendirian ke pernikahan Gista dengan Lukas."

"Maaf karena sudah mengabaikanmu."

"Maafkan aku juga, Shain."

"Maaf untuk semuanya." Isak tangis Shain beradu dengan deras hujan di luar sana.

"Aku juga." Kaheza memejamkan matanya sejenak. "Maaf untuk semuanya."

Setelah mengusap air matanya yang menggenang, Kaheza menguraikan pelukannya, menatap teduh netra Shain. Ibu jarinya mengusap lembut air mata perempuan itu yang masih keluar. "Jangan nangis," katanya menahan air matanya sendiri agar tidak keluar.

"Nanti Tuhan tidak percaya lagi kepadaku untuk menjagamu," lanjutnya.

Namun, air mata Shain bukannya berhenti malah semakin deras, bersaing dengan hujan yang turun. Kaheza pun meraih tubuh itu dan kembali menenggelamkannya dalam pelukan.

___

Seminggu kemudian.

Saat baru saja ikut duduk dengan Kaheza di sofa biru gelap menghadap tv yang menyala, Shain berdeham tersirat kode keras.

"Kenapa?" tanya Kaheza.

"Tidak apa-apa."

Shain meneliti wajah Shain. Cukup lama. Membuat perempuan itu mendelik sebal, "Kenapa?"

"Tidak apa-apa. Hanya saja ..., entah kenapa aku ingin mengajakmu keluar," jawab Kaheza.

Shain yang senang dalam hati namun pasang wajah datar, mengangkat satu alisnya, "Ke mana?" tanyanya.

"Keliling kota."

Shain terdiam. Minta dipaksa. Menunggu Kaheza memohon. Namun ....

"Tidak mau ya? Ya sudah. Lain kali saja."

Perkataan Kaheza membuat Shain mendesah kecewa.

Sedangkan Kaheza tersenyum samar melihat raut wajah Shain yang berubah.

"Tapi aku maunya sekarang," bisik Kaheza membuat Shain menoleh.

"Mau ya?" Kaheza pura-pura memelas.

"Oke. Hanya malam ini." Shain masih pura-pura enggan. Padahal dalam hati ia bersorak sorai.

___

Shain sudah duduk di atas jok di belakang Kaheza. Namun motor sport yang dinaikinya masih diam di tempat. Ada yang kurang.

Shain meneliti penampilannya kemudian Kaheza. Aman. Pakaian keduanya sangat tertutup. Terlebih lagi Kaheza yang tidak kuat dengan udara dingin, pria itu memakai pakaian berlapis.

Dahi Shain berkerut bingung. "Kenapa enggak jalan?"

...

nah kira-kira kenapa tuh g jalan...?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!