Tangan seseorang terulur untuk mengikat rambut terurai Shain, membuat sang pemilik rambut menoleh. "Kaheza? Kenapa ke sini lagi? Kan aku sudah bi--"
Wajah Shain merona seketika. Darah dalam tubuhnya mengalir hebat. Detak jantungnya lagi-lagi salah tingkah atas perlakuan pacarnya itu yang tiba-tiba mencium pipi kirinya.
"Kita akan beristirahat bersama. Aku bersihkan ruang tengah ya?" pamitnya berbisik.
Waktu berlalu. Rumah sudah kembali bersih. Dua insan itu kini sudah berada di dalam kamar.
Rasa gerah yang tak kunjung hilang dari dua insan itu meski sudah mandi malam hari setelah membersihkan rumah, membuat keduanya tidur dengan tak nyaman. Padahal ac sudah pada suhu terdingin, namun tidak mampu menghilangkan ketidaknyamanan dari tubuh mereka.
Keduanya sudah memejamkan mata dan membukanya lagi, tidur berganti posisi bahkan tanpa selimut, berkali-kali. Hingga di luar terdengar derasnya hujan turun, keduanya menghembuskan napas lega karena suhu di sekitar mereka bertambah dingin.
Namun seribu sayang, itu hanya beberapa saat.
Shain dengan sikap tenangnya, berbalik, tidur menghadap Kaheza yang benar-benar ingin berenang ke dalam lautan es untuk menghilangkan rasa aneh dalam tubuhnya.
Shain yang pernah tenggelam dalam dunia malam tentu saja tahu kenapa suaminya itu bergelagat aneh. Namun ia pura-pura tidak tahu, karena ia pun sedang merasakan hal yang sama.
"Kau kenapa, Za? Dingin ya? Maaf, biar aku matikan saja ac-nya." Shain memancing reaksi Kaheza, memastikan apa yang dipikirkannya itu tidaklah salah.
"Euh, tidak," sergah Kaheza cepat.
Dahi Shain berkerut. Pura-pura memandang heran suaminya yang biasanya tidak tahan dengan suhu yang terlalu dingin.
"Euh, maksudku ..., tidak apa-apa ac-nya menyala. Biarkan saja."
"Tumben?"
"Euh, itu ...."
"Sepertinya benar, dia juga merasakan hal yang sama denganku," batin Shain.
"Tapi siapa yang tega melakukan semua ini? Bian? Lian? Nada? Atau ... Qyza?" tanya Shain dalam hatinya.
"Baiklah." Shain berucap saat Kaheza tak kunjung menyelesaikan kalimatnya.
"Ac-nya kubiarkan menyala. Nanti kalau kedinginan, bilang saja. Aku akan mematikannya," lanjut Shain dengan menahan sesuatu yang semakin tak nyaman dalam tubuhnya.
Sembari mengutuk perbuatan temannya yang entah siapa dalangnya, Shain berjalan ke arah pintu, mengangkat tangan ke dinding samping pintu dan mematikan lampu. Temaram. Karena lampu tidur di sisi kanan-kiri ranjang masih menyala. Shain mematikan lampu di dekatnya. Detik berikutnya Kaheza yang mematikan lampu di sisinya. Sempurna gelap dengan melodi hujan.
Seharian ini Kaheza yang turun tangan mengerjakan semua pekerjaam rumah. Menyapu dan mengepel lantai yang sebenarnya sudah bersih, menyapu halaman rumah dan memasak. Sedangkan Shain sengaja dikunci di dalam kamar oleh pria itu. Perempuan itu tidak boleh melakukan apapun meski hanya sekedar menyapu lantai kamarnya.
Ceklek!
Pintu dibuka dari luar. Menampilkan Kaheza dengan kaos putih dan celana hitam selutut. Sedangkan Shain yang sedang tadi berdiri bersandar pada dinding sisi pintu, menoleh kesal suaminya itu yang sudah mengurungnya.
"Maaf."
Shain mengabaikan Kaheza dan melangkah keluar setelah berdecak sebal pada suaminya.
Wangi.
Itulah aroma yang tertangkap hidungnya saat Shain menuruni tangga.
Benar-benar suami idaman.
Langkah mereka berakhir di meja makan.
Sop daging. Shain mencicipi masakan suaminya, dahinya sampai berkerut. Masakkannya jauh lebih enak dari pada buatannya.
"Enggak enak ya?" Kaheza bertanya ragu.
"Lumayan."
"Lumayan tidak enak?"
Shain menatap suaminya dengan wajah dingin. "Lumayan enak." Ia memberikan sepiring nasi pada Kaheza. "Terima kasih."
"Em."
Setelah Kaheza memimpin doa makan, barulah mereka menyantap makanannya.
"Kenapa berbohong?" tanya Kaheza di sela-sela makannya.
"Bohong apa?" tanya Shain hanya melihat sekilas Kaheza di seberangnya.
Tangan kiri Kaheza mengepal kuat di atas pahanya, takut untuk mengatakan.
Shain yang sedang minum, meneliti suaminya.
"Kalau kau sudah tidak suci."
Uhuk! Shain tersedak air minumnya karena perkataan suaminya itu. Ia terbatuk-batuk. Kaheza bergegas mendekatinya.
"Kembalilah!" usir Shain menepis tangan suaminya yang hendak mengusap punggungnya.
"Euh, baiklah." Kaheza beringsut kembali.
"Kau tidak apa-apa?" Kaheza bertanya setelah ia kembali duduk.
"Tidak apa-apa." Shain meraih sendok dan melanjutkan makannya.
"Jadi kenapa?" Kaheza menagih penjelasan.
"Kenapa apanya?"
"Kenapa kau berbohong padaku tentang kehormatanmu itu?"
"Kenapa? Heran orang yang sudah terjebak di dunia malam tapi masih menjaga kehormatannya?"
"Kau pasti sangat kesulitan menjaganya."
"Baguslah kalau kau tahu."
"Tapi sebelum menikah, kenapa kau selalu mengatakan kalau kau sudah tidak suci?"
Shain menatap suaminya. "Menurutmu?"
"Kau ingin mengujiku?"
"Iya. Tapi ...."
"Tapi apa?"
"Ada alasan lainnya. Dan kau tahu itu."
Wajah Kaheza berubah sendu. Ia makan dengan tertunduk. Genggaman pada sendoknya mengerat.
"Za?" Shain berucap lembut begitu menyadari perubahan sikap suaminya.
Shain tertegun begitu Kaheza mengangkat wajahnya. Bola mata pria itu sudah basah dan sedikit merah.
"Kau tahu, Shain?"
Shain masih membeku.
"Setiap kali kau mengatakan kalau kau sudah tidak virgin ..., dadaku rasanya sesak. Telingaku sakit mendengarnya. Aku selalu menyalahkan diriku sendiri karena tidak cepat menemukanmu. Aku selalu menyalahkan diriku sendiri karena tidak bisa menjadi teman yang baik untukmu." Air mata Kaheza semakin memenuhi selaput matanya.
"Aku selalu berpikir andai waktu bisa diputar kembali, aku akan menggenggammu sejak dulu. Sejak kita masih SMA dulu. Dan tidak akan pernah melepaskanmu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi. Karena waktu tidak bisa diputar kembali.
"Dan akhirnya, aku hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah." Buliran bening meluncur.
"Bukannya aku menginginkan wanita yang masih suci untuk kujadikan teman dalam suka-dukaku, hanya saja ..., mendengarmu selalu mengatakan kalau kau sudah tidak virgin agar aku membencimu dan menjauhimu, itu semakin membuatku tersiksa, Shain.
"Setiap hari aku merasa tidak tenang. Karena memikirkan siapa yang akan menjadi pendamping hidupmu.
"Dan setiap hari pula aku selalu berdoa agar kau mendapatkan suami yang bisa membuatmu bahagia. Suami yang bisa membawamu ke jalan yang lebih baik dan tidak lagi terjebak pada dunia malam.
"Setiap hari aku sakit memikirkanmu, Shain."
Shain yang sudah tak kuasa menahan air matanya, bergerak mendekati Kaheza. Memeluknya dari samping. "Maaf atas sikapku di masa lalu, Za. Waktu itu aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Kita berbeda keyakinan, Za. Dan aku menyukaimu sejak kali pertama bertemu denganmu saat SMA dulu. Di ruang dua puluh empat. Sejak saat itu aku memendam perasaan terhadapmu. Tapi aku sadar diri, aku berbeda denganmu. Jadi aku sengaja melakukan semua itu agar kau menjauh dariku. Aku juga benar-benar sakit terus memikirkanmu, Za. Ikut denganmu atau tetap pada keyakinanku. Karena itu aku selalu mengatakan kalau aku sudah tidak virgin. Berharap kau tidak akan muncul lagi dalam kehidupanku. Tapi kau malah semakin mencengkeramku, Za. Jujur saja aku sangat senang karena kau terus memperjuangkanku. Aku benar-benar senang, Za. Terima kasih sudah memperjuangkanku. Terima kasih karena tidak menyerah untuk mendapatkanku. Terima kasih karena sudah mau menerima kekuranganku. Terima kasih untuk semuanya, Za." Shain semakin mengeratkan tangannya yang melingkar pada tubuh Kaheza dan menenggelamkan kepalanya di ceruk leher sang suami. Matanya terpejam. Air matanya jatuh. "Terima kasih."
___
Bian, Lian, Qyza dan Nada tengah duduk berhadapan di meja sudut griya dahar. Qyza dan Nada menggeleng tak habis pikir akan cerita Lian dan Bian yang mencampurkan cairan obat ke dalam minuman Shain dan Kaheza semalam.
"Bian, Bian .... Kau itu sudah menikah, tapi masih saja seperti bocah," cibir Qyza-isterinya.
"Hey Qyza Purnama, kami melakukannya juga demi kebaikan mereka. Benar 'kan, Yan?" Bian menoleh pada Lian di sisi kirinya.
"Em." Lian mengangguk.
"Aku yakin seribu persen Kaheza belum menyentuhnya," lanjut Lian.
"Dari mana kau tahu, Lian? Kau 'kan bukan Tuhan yang tahu segalanya," timpal Nada-sang isteri yang duduk di hadapannya.
Lian membuang napas, menyandarkan punggungnya pada punggung kursi. "Kalian tidak tahu mata lelaki itu seperti apa."
"Memangnya seperti apa?" Qyza bertanya cepat.
Lian dan Bian bertukar pandang.
...
silakan yg mau follow akun medsos author.
ig : @venlyraizer (yg dikit followers) wkwk...
fb : Stj Azza (Venlyraizer UchihaAckerman)
author lebih aktif di fb ya :)
jant lupa dukung karyanya dan baca sampai akhir.
matursuwun .... :)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Rohanah Arum
Ga bisa kebaca
2021-09-04
1
Venlyraizer Hamryzaforever
kok bisa?
entahlah... coba lagi aja kak... wkwk...
2021-08-06
1
Farida Wahyuni
kok bab ini ga kebaca ya thor?
2021-08-04
1