Chapter 7

"Eh, Mbak!" panggil Minah membuat perempuan itu berhenti dan berbalik. "Apa?"

"Nanti kalau Mbak Qyza mau jenguk Pak Bos, saya ikut ya?"

Qyza menyapu pandangan. Terlihat semua karyawan di sekelilingnya pasang wajah antusias.

"Baiklah."

"Yes!" Minah berseru senang.

"Kalian semua boleh ikut."

"Serius, Mbak?" kompak mereka.

"Em." Qyza mengangguk. Semua karyawan di hadapannya bertos-ria.

"Tapi ada syaratnya."

"Apa, Mbak?" kompak mereka lagi.

"Kalau masakan kita hari ini habis sebelum maghrib."

"Cuma itu, Mbak?" Minah bersikap seolah mampu melakukannya.

"Iya, cuma itu."

"Oke, Mbak," sahut mereka lagi.

Qyza berlalu.

"Enggak sabar pengen ketemu Bu Bos," seru Syarif.

"Sama, Rif. Wajah Bu Bos tiada duanya," sahut cowok yang bernama Albert. Cowok berkulit putih yang bekerja sebagai pelayan.

"Iya. Kalau saja Bu Bos belum menikah--" Perkataan Syarif terpotong oleh ucapan seseorang yang baru saja datang.

"Kenapa memangnya kalau Bu Bos belum menikah?"

"Eh, Mas Lian," seru mereka kompak tidak menyadari kedatangannya.

Lian berdiri di hadapan sembilan karyawan itu. Menyentuh pundak Syarif. Membuat cowok itu menciut.

"Maaf, Mas. Tadi hanya asal bicara." Syarif menjelaskan sebelum bos keduanya itu berpikiran yang tidak-tidak.

"Tidak apa." Lian tersenyum pengertian.

"Lanjutkan kerjanya ya?"

"Siap, Mas."

Mereka menghembuskan nafas lega setelah Lian beranjak ke dapur.

 

Kaheza duduk disisi kiri isterinya yang tengah membaca buku di sofa ruang keluarga. Namun sang isteri malah menggeser duduknya tanpa menoleh. Kaheza melirik kesal ke arah pacarnya itu. Sedari pagi Shain masih pasang wajah enggan menatapnya.

Kaheza menggeser lagi duduknya. Shain pun sama. Hingga perempuan itu terpaksa berdiri untuk berpindah tempat karena sudah mentok dengan pembatas sofa. Namun baru saja ia berdiri, lengannya ditarik kasar oleh Kaheza. Membuat tubuhnya berputar dan jatuh dalam pelukan sang pacar. Buku dalam genggamannya terjatuh di belakang sofa.

Tubuhnya yang sudah tak berjarak dengan Kaheza, membuatnya lagi-lagi harus menahan napas.

Kaheza menyeringai. "Kau bisa mati kalau terus menahan nafasmu," ucapnya karena merasakan Shain yang masih menahan napasnya.

Shain seperti tersadarkan oleh perkataan suami sekaligus pacarnya itu. Ia menghembuskan napas. Detik berikutnya ia melakukan perlawanan agar terlepas dari kondisi yang membuat jantungnya berpacu lebih cepat. Namun sayang, tenaganya kalah besar oleh Kaheza dan membuatnya kini justru semakin terkurung di sofa di bawah kukungan pacarnya itu dengan dua tangannya tertahan di atas kepala dengan ditahan oleh tangan kiri Kaheza.

Netra mereka beradu. Kaheza dengan tatapan yang sulit diartikan dan Shain dengan tatapan memperingatkan.

"Lepas!" Shain berkata penuh peringatan.

"Kalau aku tidak mau?"

"Kau akan menyesal."

"Kalau begitu buat aku menyesal."

Kaheza semakin mengikis jarak wajahnya dengan wajah Shain.

"Sakit, Za."

Kaheza tersadar kalau ia menekan tangan Shain terlalu keras. Detik itu juga ia melepas tangan Shain.

"Maaf," ucapnya sembari membantu sang isteri untuk duduk.

Shain buang muka. Pasang wajah marah. Tangannya melingkari pergelangan tangannya yang memerah. Sedangkan hatinya bergumam, "Aku tahu kelemahanmu, Za."

Kaheza menarik dua tangan Shain dan mengelusnya lembut. "Maaf ya, aku tidak bermaksud menyakitimu." Shain masih buang muka.

"Shain?" Kaheza menyentuh lembut wajah isterinya agar menatapnya. Namun sayang, meski wajah mereka berhadapan netra mereka tidak. Karena Shain memandang ke arah lain.

"Shain?"

"Ck. Apa?" sahut Shain dengan wajah kesal.

"Maaf."

"Aku maafkan."

"Aku benar-benar minta maaf." Kaheza berkata penuh kelembutan. Membuat Shain menatap netra suaminya itu.

"Aku tidak menyangka kau sekasar itu padaku."

"Maaf."

Shain kembali diam dan mengalihkan pandangannya.

"Shain?" Kaheza berkata lebih lembut. Membuat Shain kembali menatap suaminya namun dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Aku minta maaf."

Hening.

Kaheza tak mampu lagi berkata karena tatapan Shain yang tak terbaca olehnya.

Hingga ...,

Pria itu mematung di tempat dengan menahan napasnya setelah isteri sekaligus pacarnya itu sekilas menyentuh pipi kiri pria itu dengan bibir merah alaminya. Balasan.

Shain yang baru saja mengambil buku novel di belakang sofa, mendekati Kaheza dan berucap tepat di teling kiri pria itu. "Kau bisa mati kalau terus menahan nafasmu."

Deg!

Kaheza menoleh dan mendapati Shain yang tersenyum penuh kemenangan sebelum akhirnya perempuan itu mengambil langkah pergi meninggalkan suaminya yang masih terdiam.

 

Minah dan kawan-kawan tidak sabar untuk segera sampai tujuan. Syarat mereka terpenuhi. Semenjak Qyza berlalu meninggalkan mereka dengan satu syarat, mereka tanpa buang waktu langsung mempromosikan Griya Dahar di akun medsos mereka dengan sukarela. Tak lupa mereka memamerkan foto Kaheza dengan Shain sebagai bos mereka. Dan alhasil, penjualan hari ini habis lebih cepat dan kini mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah bos mereka dengan menaiki mobil Lian. Beberapa menaiki motor.

30 menit kemudian mereka sampai.

Lian menekan bel.

"Sepertinya itu mereka," ujar Nada pada Shain dan Kaheza. Ia sudah datang lebih dulu. diberitahukan oleh Lian-suaminya.

Kaheza membukakan pintu. Dan tubuhnya hampir terhuyung ke belakang karena Minah tiba-tiba memeluknya. "Minah kangen Pak Bos," ucapnya.

"Minah ...." Syarif menarik baju Minah agar menjauh dari tubuh bosnya itu. Sedangkan Kaheza melirik sekilas ke arah Shain yang masih duduk di sofa ganda bersama dengan Nada. Raut wajah perempuan itu tak terbaca.

"Masuk, Yan." Kaheza berucap ragu pada Lian.

Lian melangkah masuk dengan mengucap salam dan diikuti yang lainnya.

Beberapa kantong plastik memenuhi meja. Kaheza masih berdiri di tempatnya. Otaknya sudah dipenuhi pertanyaan apa yang akan terjadi setelah mereka pergi.

"Bidadari," batin salah satu karyawan lelaki.

"Isterinya Pak Bos bukan manusia," batin pegawai lelaki yang lainnya.

"Pantas saja Pak Bos jarang membawa isterinya ke Griya Dahar, ternyata dia benar-benar malaikat berwujud manusia," batin Albert. Ia tersenyum kikuk saat Bu Bosnya melihat ke arahnya. Dan ia dibuat melayang karena Bu Bosnya itu membalas senyumnya. Senyum anggun yang menggetarkan jiwa.

"Malaikat tanpa sayap," ucap Syarif pelan dengan tatapan kosong. Detik berikutnya ia meringis karena mendapat sikutan maut diperutnya. Yah, yang melakukannya adalah Minah.

"Ekhm!" Qysa berdeham mengingatkan anak buahnya itu yang sudah salah fokus.

"Kalau begitu saya buatkan minum dulu ya?" Shain dan Kaheza beradu pandang sekilas karena mengatakan hal yang sama. Namun Shain langsung mengambil langkah pergi yang membuat kaki Kaheza terkunci.

"So sweet," ucap 5 pegawai perempuan.

"Iri," ucap 4 pegawai lelaki.

Qyza berdeham lagi.

"Kursinya tidak pas. Kita pindah ruangan saja ya?" Kaheza berkata penuh pengertian.

Semua mengangguk setuju dan berpindah ke ruang tengah yang dekat dengan dapur. Ada yang duduk di sofa dan ada yang duduk lesehan di atas tikar.

Bel terdengar. Kaheza bergegas ke ruang depan dan membukakan pintu.

"Aku tidak terlambat 'kan?" ujar pria di hadapan Kaheza.

"Tidak, Bian. Mereka baru saja sampai. Masuklah."

Bian mengangguk dan melangkah masuk.

"Cie ... Mbak Qyza," ledek anak buahnya pada Qyza begitu suami dari perempuan itu datang. Yang tak lain adalah Bian.

"Bagaimana? Dapat?" bisik Lian pada Bian.

"Beres."

Semua duduk melingkar di atas tikar dengan banyak makanan di tengah mereka. Ayam, tahu, tempe goreng, lalapan dan sambal serta minuman berwarna orens, teh manis dan minuman bersoda.

Mereka menikmati makan malam itu dengan penuh tawa. Kedekatan antara atasan dan bawahannya itu terlihat begitu mendamaikan.

Ada aksi saling suap yang bikin iri. Ada aksi saling rebut yang membuat gaduh. Dan ada aksi gombal yang membuat riuh.

 

Shain dan Kaheza saling lirik begitu semua tamunya beranjak pulang dengan tega meninggalkan keadaan rumahnya yang masih berantakan.

Shain memutarkan bola matanya saat Kaheza menatapnya dengan tatapan bertanya.

Kaheza menghembuskan napas lelah saat Shain malah meninggalkannya menuju kamarnya. Ia menatap ruang tengah dan dapur yang begitu membuat sesak dada dan pikirannya. Rumahnya seperti kapal pecah.

Di tengah-tengah penatnya memikirkan dari mana ia mulai membersihkan, sesuatu yang aneh terasa oleh tubuhnya. Ia mendadak gerah.

Sedangkan Shain di dalam kamar terlihat kesal karena gerah yang dirasakannya. Padahal ac dalam ruangan sudah sangat dingin pikirnya.

Ia pun melangkah ke kamar mandi, berniat membersihkan diri. Namun terlintas di hatinya tidak tega membiarkan suaminya memberishkan semuanya sendirian. Lantas ia pun melangkah keluar.

"Biar aku saja yang cuci piringnya," ucap Shain saat sudah sampai di dapur.

Kaheza membalik tubuhnya. "Tidak usah. Kau istirahat saja."

Shain mengabaikan perkataan Kaheza. Ia mengambil alih tugas mencuci piring.

"Kau itu masih sakit, jadi beristirahatlah. Biar aku saja yang membersihkannya."

Kaheza tidak menyahut. Ia langsung beranjak naik ke lantai 2. Sedangkan Shain menghembuskan napas lelah karena setelah mencuci piring ia harus membersihkan lantai dan merapihkan kembali isi rumahnya yang sudah berantakan.

Tangan seseorang terulur untuk mengikat rambut terurai Shain, membuat sang pemilik rambut menoleh. "Heza, kenapa ke sini lagi? 'Kan aku sudah bi--"

...

nah loh? Kenapa tuh Shain berhenti ngomong?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!