Chapter 6

"Bahkan sejak masih balita, dia sudah tidur denganku. Hingga akhirnya ... aku tidak pernah bisa lagi memeluknya. Tidak pernah bisa lagi menggodanya. Tidak bisa lagi mengajaknya bersepeda.

"Aku selalu berharap ini semua mimpi. Ternyata tidak, Shain ...." Air mata Kaheza masih saja keluar meski sudah banyak yang berguguran.

Shain yang pernah mengalami hal yang sama ditinggal pergi oleh tiga orang yang disayanginya sekaligus, memilih menjadi pendengar. Membiarkan suaminya itu meluapkan semua kepedihan yang selama ini dipendamnya. Berharap setelah ini, Kaheza bisa menjadi Kaheza seutuhnya. Yang tidak lagi menyimpan luka. Yang tidak lagi hanya diam, tersenyum tipis dan sedikit bicara. Shain menginginkan Kaheza lebih lepas dalam menjalani kehidupannya. Tidak lagi terbelenggu oleh masa lalu. Seperti kehidupannya dulu yang pernah tersesat dan terjebak di dunia malam. Hingga akhirnya Kaheza mengulurkan tangan untuk menyelamatkannya dan menjadi penerang dalam hidupnya yang gelap.

Mereka terlelap bersama.

Hingga ....

Shain yang hendak merubah posisi tidurnya karena masih dalam pelukan Kaheza, terbangun. Ia mendongak untuk melihat wajah suaminya. Deru nafas pria itu terasa hangat. Shain pun mengeratkan pelukannya. Namun hangat tubuh Kaheza terasa aneh dirasanya. Shain pun menarik dirinya menjadi duduk dan menyentuh kening Kaheza. Panas.

Dengan perlahan Shain turun dari ranjang dan meraih ponselnya di atas nakas. 23:15. "Hampir tengah malam," gumamnya.

Kemudian ia beranjak keluar menuju dapur. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa baskom dan handuk kecil yang sempat dibawanya ke kamar pagi hari tadi.

Diperasnya handuk dan diletakkan di kening suaminya.

"Semoga setelah ini kau bisa tertawa, Za," ucapnya kemudian mengecup ujung kepala suaminya itu yang sudah terlelap. Dan berakhir merebahkan diri di sisi kasur yang cukup untuk tubuhnya.

 -----

Adzan subuh berkumandang. Kaheza yang biasa bangun jam 3 dini hari, baru terbangun. Ia menggerakkan kepala sebelum akhirnya membuka kelopak matanya perlahan. Dan pandangannya terkunci pada Shain yang sudah berpindah di sisi kirinya yang masih tertidur terlentang tanpa selimut.

Digerakkannya tangan kanan Kaheza dan menyentuh handuk kecil yang masih menempel di keningnya. Ia kembali menatap lemah rambut kepala Shain. Kemudian menarik dirinya perlahan menjadi duduk.

"Za, kau sudah bangun?" Shain yang terbangun karena sedikit guncangan yang diterima tubuhnya langsung menarik diri menjadi duduk.

Tanpa diduga, Kaheza menarik tubuh Shain dalam pelukannya. "Terima kasih."

 -----

Ceklek!

Shain membuka pintu kamar dan berjalan masuk. Langkahnya terhenti di depan sang suami yang tengah memakai dasinya. Tangannya terulur pada dasi yang menggantung karena dilepaskan oleh Kaheza. Bukan. Shain tidak memakaikan dasinya. Tapi malah melempasnya dan mendapat tatapan bertanya oleh Kaheza.

"Kau masih sakit, Za."

"Aku sudah tidak apa-apa, Shain."

"Tidak apa-apa bagaimana? Kau masih demam. Matamu juga masih bengkak. Jangan memaksakan diri. Beristirahatlah!" Shain melenggang keluar setelah mengingatkan suaminya itu agar tidak pergi bekerja.

"Tapi aku sudah ada janji dengan seseorang, Shain."

Perkataan Kaheza membuat langkah Shaih terhenti di ambang pintu. Ia menoleh. "Siapa?"

"Tuan Haris."

"Kalau begitu minta Lian untuk menemuinya."

"Tidak bisa."

"Kenapa?"

"Tuan Haris itu ayahnya Angeline (Enjelin)."

Mendengar nama Angeline disebutkan suaminya, Shain kembali berbalik. "Kalau begitu terserah," ucapnya kemudian melangkah keluar. Ada kamarahan terpancar dari wajahnya.

Kaheza bergegas menuju nakas samping kiri ranjang begitu ponselnya berdering.

"Hallo?" Kaheza mengangkat telepon.

"...."

"Wa'alaikum salam."

"...."

"Iya, Tuan."

"...."

"Iya. Tidak apa-apa, Tuan."

"...."

"Iya, Tuan. Tidak apa. Santai saja."

"...."

"Iya, baiklah."

"...."

"Wa'alaikum salam."

Setelah menerima telepon itu, Kaheza menoleh ke pintu kamar. Tepatnya menembus ruang untuk melihat Shain yang entah di mana.

Kakinya tergerak, perlahan melangkah keluar, menuruni tangga, mengecek ruang utama, tidak ada. Ruang dapur, tidak ada. Ruang tamu, tidak ada. Kaheza menghembuskan napas lelah. Kakinya kembali melangkah menuju belakang rumah. Dan benar saja, Shain ada di sana. Duduk di bangku panjang yang menghadap kolam renang dengan telinga yang tersumbat earphone. Dan ia hanya menoleh sekilas begitu Kaheza duduk di sisi kirinya.

Pria itu mencabut earphone di telinga kanan Shain. Membuat tangannya melingkari leher perempuan itu dan deru napasnya terasa oleh kulit leher Shain yang kini rambutnya terkucir kuda.

Kaheza memakai earphone itu di telinga kanannya. Ayat suci al-quran.

Kaheza menoleh namun Shain buang muka.

Hingga lantunan ayat itu berakhir, Shain mematikan musik di handphonenya. Kemudian menatap Kaheza dengan raut wajah kesal.

"Kau masih cemburu sama Angeline?" Kaheza membuka percakapan setelah melepas earphone di telinganya.

"Justru kau harus waspada jika aku tidak cemburu pada wanita yang dekat denganmu. Karena itu artinya ...," Shain menoleh dan menatap Kaheza dalam, "aku sudah tidak peduli padamu."

Shain tak mampu berkata lagi. Ia bahkan harus menahan napas karena mulutnya tiba-tiba dibungkam oleh benda yang sama milik suaminya.

Kaheza menarik diri. Menatap netra Shain begitu teduh. Sedangkan Shain terlihat masih menahan napasnya. Dan ia baru membuang dan menarik napas kembali saat dirinya refleks memejamkan mata saat Kaheza kembali mendekatkan wajahnya. Napasnya kembali tertahan. Kaheza menyeringai melihat tingkah menggemaskan Shain. Ia mencabut earphone yang masih menyumbat telinga kiri Shain. "Kalau begitu tetaplah cemburu. Tapi jangan tidak percaya padaku," bisiknya kemudian menatap Shain dari samping yang sudah membuka kembali matanya.

Kaheza berbisik lagi. Kali ini membuat Shain terbang melayang menembus langit ketujuh. "Karena kau adalah jantungku."

Lirikkan dua insan itu beradu. Sebelum akhirnya Kaheza yang memutus koneksi mata mereka.

Kaheza memakaikan kembali earphone di telinga Shain. Kemudian bangkit dari duduknya. "Ayo kita makan. Nanti keburu dingin makanannya."

"Kau saja. Aku tidak lapar." Shain masih dengan raut wajah kesal.

"Shain?"

Shain menoleh. "Kau harus menemui Tuan Haris 'kan?"

"Tadinya iya."

Shain menatap Kaheza dengan tatapan heran.

"Hari ini Tuan Haris harus menemui rekan bisnisnya dari luar kota. Jadi pertemuanku dengan beliau ditunda lusa."

"Tapi kau akan tetap pergi kerja 'kan?" Sorot mata Shain berangsur normal.

"Tidak."

"Bohong."

"Aku harus bagaimana agar kau percaya?"

"Jungkir balik?" Shain menjawab asal. Membuat kening Kaheza berkerut. "Jungkir balik?" tanyanya ragu.

Shain bangkit dari duduknya dan bersedekap. "Iya. Jungkir balik," ucapnya yakin.

"Yang lain."

"Nyanyi balonku ada lima."

"Yang lain."

"Nyanyi lagu wajib nasional.

"Yang lain."

"Gombalin aku."

"Enggak bisa."

"Ck." Shain berdecak sebal dan memilih meninggalkan suaminya yang malah menarik sudut bibirnya karena melihat tingkah Shain yang begitu menggemaskan saat sedang kesal.

 -----

"Kangen Pak Bos," ujar Minah yang duduk di salah satu kursi di Griya Dahar. Wajahnya tampak tak bersemangat.

"Masih pagi sudah kusut saja itu muka." Syarif berkata sembari mengepel lantai yang sebenarnya masih kinclong.

"Bete, Rif. Kemarin 'kan pangerannya Minah tidak ke sini. Takut hari ini juga tidak ke sini lagi."

Dahi Syarif berkerut. Tangannya berhenti bergerak. "Pangeranmu yang mana, Sarminah...?"

"Ck. Itu loh, Pak Bos."

"Heh! Ketahuan Bu Bos tahu rasa kamu."

"Bodo amat. Yang penting sekarang Minah mau ketemu Pak Bos."

Syarif menggelengkan kepala saat Minah menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan yang gadis itu letakkan di atas meja.

"Pagi Mbak Qyza ...," sapa Syarif dan karyawan yang lain begitu perempuan dengan rambut sebahu itu melangkah masuk.

"Pagi," sahutnya disertai anggukkan. Dan tatapannya terkunci pada Minah yang masih menyembunyikan wajahnya.

"Kenapa dengannya?" Qyza bertanya pada empat pegawai pria dan empat pegawai wanita yang berdiri di dekatnya.

"Kangen Pak Bos katanya, Mbak." Syarif yang jawab.

"Oh .... Pak Bos lagi sakit, Min," ucap Qyza memberitahu.

"Hah?" pekik Minah seketika mengangkat wajahnya.

"Pak Bos sakit apa, Mbak?" tanyanya penuh khawatir.

"Kenapa enggak cek sendiri ke rumahnya?"

"Minah enggak berani Mbak sama Mbak Shain."

"Ya sudah. Jangan memikirkan lelaki yang sudah beristeri. Kecuali kau mau mendapat cap sebagai pelakor."

"Ih! Amit-amit, Mbak." Minah mengetuk dahinya kemudian mengetuk meja di hadapannya. Yang lain terkekeh melihat tingkahnya.

Qyza menggeleng kemudian melanjutkan langkahnya yang tertunda.

"Eh, Mbak," panggil Minah membuat perempuan itu berhenti dan berbalik. "Apa?"

"Nanti kalau Mbak Qyza mau jenguk Pak Bos, saya ikut ya?"

Qyza menyapu pandangan. Terlihat semua orang di sekelilingnya pasang wajah antusias.

"Baiklah."

"Yes!"

"Kalian semua boleh ikut."

"Serius, Mbak?" kompak mereka.

"Em." Qyza mengangguk. Semua karyawan di hadapannya bertos-ria.

"Tapi ada syaratnya."

...

***syaratnya jant lupa dukung karya ini kalau kalian sayang dengan ceritanya n authornya, :)

matursuwun***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!