Chapter 5

"Baiklah apa?" Kaheza terus menggodanya.

"Kita pacaran." Shain menoleh. "Mulai sekarang dan selamanya."

Kaheza kembali menarik sudut bibirnya dan ....

Tubuh Shain meluruh dengan nafas yang memburu seolah ia sudah tidak bernapas cukup lama begitu akhirnya Kaheza beranjak kembali melanjutkan makannya yang tertunda. Ditambah lagi Kaheza memberikan kecupan singkat di pipi kirinya, membuat wajahnya merah merona.

"Awas kau, Za. Aku pasti akan membalasmu," kesal Shain dalam hati dengan lirikkan penuh dendam pada sang suami yang sangat dicintainya.

Meski kesal dan marah, ia juga merasa senang. Senang karena Kaheza mengecup pipinya. Selama mengenal dan menjalin pernikahan yang masih terbilang baru seumur jagung itu, pria itu tidak pernah melakukannya. Bahkan mencium kening pun tidak. Jangankan mencium kening, menatap lama pun tidak pernah. Dan baru kali ini Kaheza melakukannya. Shain benar-benar dibuat melayang olehnya. Entah semerah apa wajahnya saat pria itu mengecup pipinya. Mungkin semerah udang rebus.

Kini pandangan Shain mengikuti langkah pria yang berjalan ke arahnya dengan membawa sebuah nampan.

Pria itu duduk bersilah tepat di hadapan Shain yang masih tak habis pikir dengan sikap suaminya itu yang mendadak berubah.

Kaheza mengangkat tangannya yang memegang sendok, ia menatap Shain dengan tatapan tersirat meminta Shain untuk membuka mulutnya. Namun perempuan itu malah buang muka dengan raut wajah marah.

"Kau marah?"

Shain diam.

"Kau semakin cantik kalau marah."

"Basi!"

"Maaf."

Shain menoleh tajam. Kali ini Kaheza yang dibuat tak berkutik dan terselip penyesalan di hati kecilnya atas apa yang sudah ia lakukan.

"Maaf." Kaheza melirik sendok di tangannya, mengirimkan pesat tersirat agar Shain mau membuka mulut. Namun perempuan di hadapannya malah berdiri dan mengambil langkah.

Mengingat ia baru saja berdamai dengan Shain semalam, Kaheza meletakkan sendoknya dan dengan cepat berdiri, berbalik dan ...,

Krep!

Kaheza memeluk Shain dari belakang. Dan Shain terkejut karena tidak menyangka Kaheza akan melakukannya karena ia hanya pura-pura marah untuk meluapkan kekesalannya atas perlakuan pria itu terhadap dirinya.

"Maaf."

Shain mengunci mulutnya.

"Maafkan aku, Shain. Kalau sikapku tadi membuatmu tidak nyaman. Itu salah satu kepribadianku yang tidak pernah aku tunjukkan padamu.

"Sifatku yang pernah aku ceritakan padamu dulu.

"Sifatku yang ceria, selengek-an dan kadang sangat jahil.

"Tapi semua sifat itu entah ke mana. Mungkin aku sudah menguburnya. Atau bahkan membuangnya.

"Karena sifat itu hanya mengingatkanku pada Kerin.

"Tapi ..., entah kenapa sifat itu tiba-tiba saja muncul. Mungkin karena sifat itu sudah bawaan sejak lahir. Jadi meski aku sudah mengubahnya menjadi aku yang sekarang, aku tetap memiliki sifat Kaheza yang dulu."

Shain menyingkirkan dua tangan yang melingkari tubuhnya dan berbalik, menatap netra Kaheza. Sorot matanya sudah berubah teduh. Dua tangan Shain meraih dua tangan Kaheza dan dilingkarkan pada tubuh perempuan itu. Setelahnya tangannya terulur melingkari leher Kaheza.

"Jujur saja," ujar Shain dengan tatapan yang semakin dalam.

"Aku ingin tahu Kaheza yang dulu seperti apa," lanjutnya.

"Jadi bisakah satu hari saja ...," Shain menelan ludah, meyakinkan diri untuk melanjutkan kalimatnya, "kau menjadi Kaheza yang dulu."

Wush!

Angin berhembus mengisi keheningan yang tercipta. Shain tahu, Kaheza akan menjadi sangat tak tersentuh jika membahas masa lalunya. Seperti sekarang ini. Kaheza kembali menundukkan pandangannya.

"Saat kau bersikap seperti tadi ..., sebenernya aku sangat senang. Hanya saja itu membuat jantungku tidak tenang.

"Bisa-bisa aku mati berdiri karena ulahmu itu, Za. Jadi sebenarnya aku tidak benar-benar marah. Hanya sedikit kesal saja karena kau membuatku tidak bisa bebas bernafas. Jadi ...."

Shain mengikis jarak wajahnya dan sedikit menekan leher Kaheza ke arahnya.

Dua benda merah alaminya bertemu sekilas dengan bibir suaminya. "Jadi jangan minta maaf," ucapnya.

Setelahnya, Shain menurunkan tangannya dari leher Kaheza dan menarik tangan pria yang masih mematung itu dan menuntunnya ke arah makananan yang terabaikan cukup lama.

Mereka pun saling menyuapi. Bergantian. Dengan sendok yang sama. Hanya saja Shain harus sedikit bersabar karena sikap Kaheza yang kembali diam tak tersentuh. Hanya akan melakukan sesuatu jika diperintah. Entah sampai kapan. Yang pasti ini semua terjadi karena Shain yang tanpa sadar keluar dari kamar mandi hanya mengenakan hotpants dengan atasan tanktop tadi pagi.

 

Di luar hari sudah gelap. Sedangkan di dalam ruangan, lampu sudah menyala terang. Dan Kaheza masih bersikap diam tak tersentuh.

"Za?" Shain mengusap lembu bahu Kaheza yang tidur membelakanginya.

"Maaf," ucap Shain pelan.

Tak ada jawaban.

"Adik perempuanmu itu pasti sedih melihatmu seperti ini, Za."

Tak ada sahutan.

Shain menarik dirinya menjadi duduk di belakang punggung Kaheza dan menjatuhkan pandangannya ke bawah.

"Menurutmu, Kerin akan tenang di sana jika melihat kakaknya seperti ini?

"Bahkan setelah sepuluh tahun lebih?" Shain menoleh Kaheza yang masih memunggunginya.

"Aku juga sangat ingin bertemu Ibu, Nenek dan kakakku, Za." Mata Shain mulai basah.

"Tapi aku bisa apa? Tuhan sudah lebih dulu memanggil mereka. Dan sudah sepuluh tahun lebih sejak kejadian itu, kejadian di mana bom bunuh diri itu terjadi di tempat ibadahku dulu dan merenggut nyawa mereka, aku selalu merindukan mereka, Za.

"Dan kau tahu 'kan? Sebelum kau menemukanku dan meyakinkanku bahwa Islam bukan agama *******, setiap kali aku mengingatnya atau tidak sengaja teringat dengan kejadian itu, aku sangat membenci agama Islam. Aku membenci semua orang yang beragama Islam. Bahkan anak kecil yang tidak tahu-menahu pun turut menjadi sasaran kebencianku.

"Hingga akhirnya kau datang ... dan terus meyakinkanku bahwa Islam tidak pernah mengajarkan bom bunuh diri. Kau bilang mereka salah memahami ajaran agama. Atau mungkin mereka terpengaruh banyak hal sehingga melakukan hal yang membuat luka banyak orang.

"Dan kau juga bilang, tidak ada agama di dunia ini yang mengajarkan keburukan. Kalaupun ada, itu artinya ada yang salah dengan agamanya atau uamatnya yang keliru memahami ajaran agamanya." Shain mengusap air matanya yang menggenang.

"Aku juga merindukan mereka, Za. Sama seperti kau merindukan Kerin.

"Tapi aku berpikir, hidup ini hanya sebentar. Hanya sedikit orang yang mencapai usia seratus tahun di zaman kita sekarang. Dan aku hanya bisa berdoa, semoga kelak jika Tuhan memanggilku, Tuhan pertemukan aku dengan mereka. Tanpa ada perpisahan lagi."

Shain kembali menoleh. Kembali merebahkan tubuhnya dan memeluk Kaheza dari belakang.

"Menangislah sepuasmu, Za. Sampai kau benar-benar lega dan berdamai dengan masa lalumu."

Bola mata Kaheza yang sudah basah, semakin basah. Air matanya yang menggenang, mulai berjatuhan.

Shain di belakangnya juga tak kuasa menahan air matanya.

Kaheza terisak sejadi-jadinya. Sampai tubuhnya terguncang. Shain mengusap lembut bahu pria yang sedang rapuh itu. Ia tahu, suaminya memendam luka yang teramat dalam. Namun tidak pernah pria itu sembuhkan. Terus menutupinya dalam diam. Dan hal itulah yang membuat Kaheza sulit mengekspresikan dirinya. Hanya diam, tersenyum tipis dan sedikit berbicara.

Kaheza berbalik, memeluk tubuh isterinya dan menenggelamkan wajah perempuan itu pada dada bidangnya, membuat Shain terkejut dibuatnya.

"Kau benar.

"Aku merindukan Kerin.

"Aku sangat merindukannya.

"Dia mati karena kecelakaan.

"Tapi ...." Kaheza semakin tak kuasa menahan tangisnya.

"Tapi aku malah tak sadarkan diri cukup lama setelah mendengar kabar Kerin kecelakaan. Dan akhirnya ... aku tidak bisa melihat wajahnya untuk terakhir kalinya.

"Aku tidak bisa memeluknya. Aku juga tidak bisa mendengar suaranya lagi.

"Aku sangat ingin bertemu dengannya.

"Sampai-sampai aku selalu berdoa agar Allah cepat memanggilku.

"Saat itu aku benar-benar putus asa, Shain. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.

"Rasanya aku berdiri di tengah-tengah lautan duri. Ke mana pun aku melangkah, aku akan menginjak durinya. Dan hanya ada rasa sakit yang aku dapatkan.

"Aku sangat menyayangi Kerin, Shain.

"Dia adik perempuanku satu-satunya.

"Dia adalah orang selalu bersamaku saat di rumah.

"Bahkan sejak masih balita, dia sudah tidur denganku. Hingga akhirnya ... aku tidak pernah bisa lagi memeluknya. Tidak pernah bisa lagi menggodanya. Tidak bisa lagi mengajaknya bersepeda.

"Aku selalu berharap ini semua mimpi. Ternyata tidak, Shain ...."

Terpopuler

Comments

Henny Pristyawatie

Henny Pristyawatie

sediiihh

2022-04-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!