Gina turun dari lantai atas kamarnya dan menuju ruang makan. Di meja makan sudah ada Bu Marina.
"Pagi, nyonya. Nyonya apa kabar?" Sapa Gina dengan santai seolah benar-benar kepada majikannya.
"Aku ini Mamamu." Jawab mamanya seraya menata piring diatas meja.
"Oh iya, hampir saja aku lupa." Gina tersenyum sarkas.
Mbak Yuni, asistem rumah tangganya tampak datang membawa jus jeruk diatas nampan. Gina menyahutnya segelas dan membuat mbak Yuni gelagapan sehingga nampan sedikit oleng.
"Eits..." Kaget mbak Yuni.
"Nona kenapa tidak bilang mau mengambil jusnya. Saya kan jadi tidak siap."
"Maaf, Mbak Yuyun." Gina cengengesan sambil menyebut panggilan sayangnya kepada asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumahnya itu.
"Untung saya lulusan warung nasi padang jadi keseimbangan saya cukup baik." Gina memanyunkan bibirnya menanggapi bualan mbak Yuni dan mengambil duduk di salah satu kursi. Mamanya duduk di sisinya.
"Kenapa semalam pulang terlambat?" Ujar mama Gina sambil mengambilkannya selembar roti untuknya.
"Masih ada lembur, Ma."
"Kau tidak menyambut kedatangan mamamu yang jelita ini?" Mamanya menarsiskan diri. Dan dari ini terlihat sekali bakat menarsis Gina didapat dari siapa.
"Sekejap saja. Setelah ini Mama akan pergi lagi. Kenapa aku repot sekali melakukan itu." Gina masih cuek sambil menikmati sarapannya.
"Baiklah..." Mamanya juga ikut menyuapkan makan paginya.
"Mama berencana akan berlibur. Rasanya sangat melelahkan bekerja tanpa mengenal hari libur." Keluhnya.
"Mama sehat?" Gina memandang wajah mamanya lekat. Dipandang seperti itu Bu Marina sedikit heran.
"Tentu saja."
"Kenapa tiba-tiba ingin berlibur?"
"Tentu saja. Sebentar lagi akan ada yang menggantikanku di RC."
"Oh, aku tahu arah pembicaraan ini." Gina menghentikan acara makannya dan memandang mamanya lurus. Mamanya membalas dengan senyum dan menghadapi Gina.
"Jadi, bagaimana menurut Mama?" Gina bisa langsung menebak bahwa rencana Pak Rangga pasti sudah sampai kepada Bu Marina.
"Menurutku?" Bu Marina malah balik bertanya dan itu membuat Gina tidak sabaran.
"Tentu saja." Gina menunjukkan ekspresi wajah mulai kesal.
"Menurutku, itu bagus. Kau tidak boleh kehilangan RC begitu saja. Apalagi jika RC jatuh ke tangan seorang Surya. Asisten papamu. Ahh, itu pasti sangat mengesalkan."
"Jadi Mama juga berfikir begitu?"
"Tentu saja. Aku bekerja siang malam agar RC bisa melebarkan sayap sejauh dan selebar mungkin. Bagaimana bisa Papamu menyerahkannya kepada seorang pegawai biasa dengan mudahnya." Bu Marina tampak ikut kesal sekarang.
"Ahh, aku rasa Mama adalah orang normal."
"Hei, apa maksudmu?" Bu Marina memandang Gina tajam.
"Syukurlah Mama ada dipihakku."
"Tentu saja. Aku ini Mamamu. Mana mungkin aku menjerumuskan putri semata wayangku begitu saja."
"Jadi Mama akan membantuku?" Wajah Gina berbinar seperti memiliki harapan besar pada mamanya.
Sebenarnya setelah mendengar penuturan Pak Rangga kemarin Gina tidak yakin Mamanya akan berpihak kepadanya. Ia sangat tau meski mamanya adalah wanita yang sangat tegas dan berpendirian, tapi disisi lain dia wanita dengan kepatuhan tinggi terhadap suami. Jadi jika Pak Rangga sudah menitahkan, maka Bu Marina hanya akan patuh. Tidak peduli sebesar apa resiko yang akan ditanggungnya dan pengorbanan yang harus ia lakukan. Pun itu adalah sesuatu untuknya, putrinya sendiri. Semua kendali ada di tangan Pak Rangga, suami Bu Marina.
"Mmm... sebenarnya Mama tidak bisa melakukannya."
"Ahh... lalu untuk apa Mama mengasihaniku seperti seperti itu. Aku rasa itu sangat sia sia." Gina beranjak dari duduknya dan bermaksud pergi dengan perasaan kesal.
"Tunggu dulu." Bu Marina menahan lengan Gina.
"Mama tidak bisa melakukannya secara langsung tapi beri Mama kesempatan untuk melakukannya secara terselubung." Bu Marina mengerling dengan senyum lebar.
"Apa itu akan berjalan dengan baik? Seingatku, yang terakhir kali tidak berjalan dengan baik. Mama bahkan tidak bisa membujuk Papa untuk membuat Faris menjadi milikku."
"Itu hal yang sangat sulit. Papamu pria yang sangat berprinsip. Ia tidak ingin memisahkan cinta dua orang yang saling mencintai."
"Memangnya Papa dewa asmara sampai berpendirian seperti itu." Gerutu Gina.
"Sudahlah, kali ini yang menjadi priotitas adalah RC. Bukan hal lain. Tentang Faris bisa kita urus setelah ini." Bujuk Mamanya.
"RC adalah sumber kehidupan kita. Bagaimana kita bisa menikmati kemewahan yang kita miliki sekarang jika RC jatuh ke tangan orang asing. Ya, Surya terlalu asing bagiku. Aku yakin bagimu juga, Sayang." Sekarang Bu Marina membelai rambut Gina.
"Ya benar, aku tidak yakin Surya punya hati yang baik. Yang akan memperlakukan kita dengan baik. Aku yakin dia menggunakan cara kotor untuk membuat Papa melakukan semua ini dengan mudah." Gina menganalisa.
"Apa mungkin Papa yang berpendirian teguh bisa melakukan ini. Mengalihkan perusahaan dengan mudah kepada Surya dan juga berniat menikahkan aku dengannya."
"Atau jangan-jangan selama ini Surya juga menyukaiku?" Gina bergidik ngeri.
"Semua terdengar masuk akal. Kau kaya dan cantik. Siapa yang tidak menginginkanmu." Bu Marina tersenyum manis kepada putrinya.
"Ya tentu saja. Hanya Faris yang bodoh di dunia ini. Aku bisa mendapatkan semua pria. Tapi Faris malah cinta mati kepada gadis biasa itu."
Ditempat lain...
"Uhuk... uhuk..." Faris terbatuk-batuk didepan piring sarapannya. Sunday buru-buru menyodorkan air minum.
"Pelan-pelanlah saat makan." Sambil mengelus punggung Faris lembut.
"Mana bisa aku pelan-pelan sementara kecantikanmu selalu mengalihkan duniaku."
"Dasar kau ini." Sunday memukul punggung Faris agak keras sehingga Faris mengaduh.
"Kenapa jadi memukulku?" Sambil menggenggam tangan Sunday yang digunakannya untuk memukul tadi.
"Habisnya, apa tidak bisa sebentar saja tidak menggombaliku." Sunday pura-pura cemberut padahal hatinya senang. Tapi sebentar kemudian ia malah terkaget karena Faris menarik tangannya dan membuatnya terduduk dipangkuan Faris. Mendapati keadaan itu Sunday menatap Faris tajam tepat disampingnya. Sebaliknya Faris memasang wajah manis nan menggoda.
"Apa yang kau lakukan." Sunday berusaha bangun dari duduknya tapi Faris terlalu kuat memeluknya.
"Aku suka aroma tubuhmu." Sambil menghirup kuat-kuat bahu Sunday.
"Hei hentikan, kau bisa terlambat. Selesaikan sarapanmu cepat."
"Tadi kau bilang aku harus makan dengan perlahan. Tapi sekarang kau menyuruhku makan dengan cepat. Kau ini kenapa labil sekali."
"Tapi kalau seperti ini mana bisa kau makan. Lepaskan aku dan habiskan makananmu."
"Tidak bisa, tanganku sudah terkunci."
"Hei, hentikan kelakuanmu ini. Kenapa suka sekali memelukku, menciumku, menggemas-gemasiku." Protes Sunday.
"Tentu saja, karena kau istriku."
"Iya iya.. aku ingat itu. Kalau begitu sekarang habiskan sarapanmu, Sayang." Sunday berubah bersikap manis agar Faris melepaskannya.
"Karena tanganku terkunci baiknya kau yang menyuapiku." Faris mengerling nakal kepada Sunday yang memandangnya tajam.
"Ayolah, setelah makananku habis, aku akan melepaskanmu." Mohon Faris memanja.
"Benarkah? Kau benar-benar akan melakukan itu? Tidak akan mengingkarinya?" Selidik Sunday karena ini bukan pertama kali Faris melakukan modus yang berakhir Sunday harus menjadi target kegemasannya.
"Iya, aku janji."
"Baiklah." Sunday mulai menyendokkan nasi goreng telornya menuju mulut Faris. Setelah sendok berisi nasi goreng itu mendarat di mulutnya, Faris mengunyah dengan senyum yang belum lepas dari bibirnya.
Senang sekali bisa membuat Sunday sedekat ini dengannya. Ia benar-benar seperti kecanduan istrinya ini.
Gina masih belum selesai dengan sarapannya.
"Bagaimanapun juga Mama adalah ibumu. Mungkin Mama bukan ibu yang baik. Tapi seperti kebanyakan ibu di seluruh dunia, kau adalah kesayanganku. Ibu menyayangimu lebih dari apapun."
"R-Company? Bukankah itulah kesayangan Mama." Gina sinis.
"Kau salah, Mama melakukan semua di dalam RC untuk kehidupanmu yang jauh lebih baik. Lebih baik dari kehidupan Mama dulu." Bu Marina tiba-tiba terlihat sendu.
"Pokoknya, Mama ada dipihakmu. Mama akan membantumu mengatasi ini. Walaupun mungkin Mama tidak bisa merusak rencana Papamu tapi Mama akan meminimal ketidaknyamanan yang kau rasakan dalam hal ini." Seketika Bu Marina berusaha ceria kembali seolah ingin menghibur putrinya yang terlihat putus asa terhadapnya.
Gina menghela nafas lega. Paling tidak, ia tidak sendirian. Mamanya ada dibelakangan membayanginya. Dan ia mempercayai itu.
"Terima kasih, Ma." Senyum Gina mengembang. Mamanya membalas dengan senyum keibuannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments