Bukan Salah Takdir
"Sampai jumpa lagi."
Itulah kalimat yang aku dengar beberapa jam lalu saat aku akan pergi ke negara orang untuk mengamati secara langsung proyek perusahaan Abi. Aku hanya bisa menghela nafas panjang saja, berat bagiku untuk meninggalkan keluarga ku apalagi kedua keponakan yang sangat aku sayangi.
Mungkin ini terlalu lebay bagi seorang pria, tapi aku berbeda dari pria lain. Aku hidup di kelilingi keluarga ku, aku tak bisa jauh-jauh dari Umi. Apabila aku jauh dari umi aku akan demam, itu dulu. Kalau sekarang sudah bisa di kendalikan.
Abang ku yang tampan dan ramah itu sudah menikah di umur 27 tahun dan sekarang sudah memiliki anak. Kini kami sudah sama-sama berusia 28 tahun, dia menjadi seorang ayah dan suami sedangkan aku merana akan tugas perusahaan yang semakin menumpuk.
Semoga waktu berputar dengan cepat, aku ingin segera pulang dan memeluk kedua keponakan ku yang gembul-gembul itu.
"Mari tuan," ucap Davian atau Vian. Dia asisten sekaligus sekretaris di perusahaan menggantikan ayahnya paman Roy.
Pesawat sudah mendarat dengan selamat, aku pun mengikuti langkah kaki Vian. Aku akan berdiam di negara ini selama dua Minggu.
Mobil sudah ada di kawasan bandara, ada beberapa suruhan Abi yang sudah siap siaga di sini dari beberapa hari yang lalu. Meski aku sudah dewasa, tapi Abi tetap selalu menaruh anak buahnya untuk mengawasi keluarga nya.
Bukan tanpa alasan, Abi melakukan itu karena Abi memiliki perusahaan yang besar yang pastinya memilki musuh dalam bisnis.
"Apa kita langsung ke penginapan, tuan?" tanya Vian sembari fokus mengemudi.
"Iya," jawab ku. Mana mungkin aku ke lokasi proyek dalam keadaan galau dan lelah ini. Aku sudah sangat merindukan Umi dan juga dua gembul ku.
Aku juga ingin punya anak, mungkin kembar lima lebih baik. 4 laki-laki dan satu perempuan. Pasti sangat menyenangkan.
"Kita sudah sampai, tuan." Ternyata sudah sampai, sepanjang perjalanan aku hanya melamun saja hingga tak sadar aku pun sudah tiba di sebuah villa mewah.
Sekali lagi aku tekankan, aku ini bukan bang Rafka yang suka akan kesederhanaan seperti Umi. Aku ini mengikuti Abi yang suka hal-hal mewah dan canggih.
"Silahkan, tuan." Aku masuk ke dalam villa itu lalu berjalan mengikuti Vian yang akan menunjukkan kamar ku.
Lumayan juga lah, walau ukurannya tidak seperti kamar di rumah ku.
Aku membaringkan tubuhku yang lelah ini, nanti besok saja ke lokasi proyek nya.
Aku lelah dan ingin makan.
*****
Author POV.
Di sebuah mansion yang besar, terlihat seorang gadis muda sedang duduk di ayunan halaman belakang sembari berdendang kecil.
Fauziah Azahra Raymond, itulah namanya. Putri pertama di keluarga Raymon yang biasa di panggil Zia.
"Zia," panggil Daniel melambaikan tangannya ke arah putrinya.
Zia yang melihat kedatangan Abi nya pun langsung tersenyum lalu berjalan mendekati sang ayah.
"Abi sudah datang?"
"Sudah, sayang. Assalamualaikum," jawab Daniel sembari memberi salam.
"Wa'alaikumusalam warohmatullahi wabarakatuh, Abi."
"Abi bawakan ini untuk, Zia. Mau?" tawar Daniel menunjukkan beberapa eskrim dengan berbagai rasa.
"Mau," jawab Zia senang.
"Umi dimana, Abi?" tanya Zia sembari duduk di pinggir kolam dan menikmati eskrim pemberian sang ayah.
"Umi sedang menemani nenek ke butik, biasa emak-emak." Daniel pun ikut duduk di samping putrinya yang sudah dewasa itu.
Usia Zia sudah memasuki 25 tahun, sudah matang untuk menikah. Hanya saja, Daniel belum menemukan yang cocok untuk Zia. Lagi pula Zia belum mau menikah, belum ada yang bisa mengetuk pintu hatinya walau sudah banyak lamaran yang ia terima.
Zia berprofesi sebagai guru TK, mungkin bagi segelintir orang itu hanyalah pekerjaan biasa dengan gaji yang kecil. Namun, bagi Zia mengajar anak-anak paud itu sangatlah mulia. Ia tak memikirkan gaji yang ia dapat, yang ia pikirkan hanyalah nyaman.
Lagi pula untuk apa memikirkan uang, ia saja akan memegang perusahaan Abi nya nanti. Guru TK itu hanya sebagai pelengkap kehidupan Zia saja.
"Terus kalau bapak-bapak suka apa?" tanya Zia.
"Minum kopi," jawab Daniel terkekeh.
"Abi saja tidak suka minum kopi," ucap dia mengambil lagi satu bungkus eskrim nya.
"Oh ya, Zia. Anak Wira akan datang kemari, maksudnya keluarga nya bersama anaknya akan datang nanti malam," ucap Daniel membuat kening Zia berkerut.
"Siapa itu, Abi? Zia tak kenal," tanya Zia.
"Rekan bisnis Abi, masa tidak kenal sih?"
"Zia tidak kenal, Abi."
"Owalah," tawa Daniel lepas.
"Untuk apa mereka kemari, Abi?"
"Melamar mu," jawab Daniel santai.
"Zia lelah dengan acara lamar melamar ini, Abi. Tak ada yang bisa membuat Zia luluh, mereka hanya suka dengan harta yang kita miliki saja. Kenapa banyak sekali sih laki-laki mata duitan, seharusnya yang mata duitan itu perempuan." Zia menumpahkan unek-unek yang ada di kepalanya.
"Kita lihat saja nanti malam, sayang. Kalau tidak cocok yah hempaskan," sahut Daniel mengedip sebelah matanya.
"Hahahahaha, Abi luar biasa."
****
Malam harinya tepatnya pukul delapan malam setelah shalat isya.
Mansion Raymond kedatangan tamu dari keluarga Wiratama, keluarga pengusaha tambang emas.
Sebelum ke intinya, mereka makan malam terlebih dahulu. Terlihat Zia tak nyaman karena di tatap oleh putra dari Wiratama yang bernama Varel.
Zia tampak cantik malam ini walau hanya memakai gamis dengan satu warna yaitu warna coksu. Tak ada riasan karena memang sudah cantik dari sononya.
Setelah selesai makan malam, barulah mereka berkumpul di ruang keluarga. Keluarga Wiratama tampak tegang melihat tatapan dari Malik serta Daniel, mau melamar gadis Raymond saja semacam mau melamar malaikat maut.
"Jadi kedatangan kami kemari adalah meminang putri dari keluarga Raymond Fauziah Azahra Raymond untuk disandingkan dengan putra kami Varel Andara Wiratama," ucap pak Wira dengan nada ramah serta sopan.
"Apa kelebihan anak mu?" tanya Daniel dengan eskpresi datar.
"Anak saya...
"Biarkan putra mu yang menjawab, Wira. Yang ingin menikah kan putra mu," sela Malik santai.
"Oh, baiklah pak Malik. Varel, jelaskan," sahut Pak Wira ramah.
"Kelebihan saya banyak, om. Saya pandai berbisnis, romantis, bisa memasak, bisa bersih-bersih juga, good looking, saya juga bisa menyenangkan istri saya," papar Varel dengan bangga.
"Hm, anda di tolak, nak Varel. Dari kelebihan yang anda sebutkan, anda tidak memaparkan bahwa anda rajin shalat atau bisa shalat, saya ingin suami dari anak saya adalah laki-laki yang taat walau ia tak punya harta benda sekali pun," jelas Daniel dengan tegas.
"Mengapa anda tidak menanyakan terlebih dahulu pada putri Anda, tuan? Bukankah yang di lamar itu putri anda, bukan anda."
Daniel tampak menghela nafas panjang lalu mengkode Zia agar memberikan keputusan atas lamaran keluarga Wiratama.
"Mohon maaf, tapi saya tidak bersedia," jawab Zia dengan nada sopan agar tak membuat keluarga Pak Wira sakit hati.
"Sombong sekali," ketus Tante Varel.
"Iya, kalian terlalu sombong. Banyak sekali kriteria yang kalian inginkan, kalian pikir anak perempuan kalian itu bidadari dari surga. Kalau begini tau nya, tak usah kami capek-capek kemari," sambung ibu Varel dengan nada ketus.
"Pak Malik, anda orang tertua di sini. Apa anda tak bisa memberi solusi? Kami datang dengan itikad baik yaitu melamar cucu anda. Anda pastinya tak ingin kan cucu anda itu menjadi perawan tua," lanjut pak Wira berharap Malik menanggapi.
"Baru beberapa detik kalian di uji kalian sudah menampakkan wajah asli kalian. Asal kalian tau, kami memang selalu menolak lamaran siapapun yang datang kemari untuk melihat reaksi mereka. Dan reaksi mereka lah yang akan menentukan di terima atau tidaknya lamaran itu. Sekarang saja kalian sudah memaki secara halus cucu ku, bagaimana jika dia menikah dengan putra kalian? Kalian pasti akan memaki nya jika ia berbuat kesalahan," jelas Malik tersenyum menyeringai.
"Cih, kalau anda ingin mencari yang sempurna maka tunggu saja sampai ajal menjemput. Ayo, Pa. Kita pulang saja, aku sudah tak berselera melihat keluarga ini. Biar saja anak perempuan mereka menjadi perawan tua!" ketus Varel berdiri dan berjalan meninggalkan dua keluarga yang masih duduk.
"Perawan tua, perawan tua. Bilang saja kau sakit hati karena di tolak putri ku, dengan bangganya kau mengatakan bahwa kau good looking. Tapi kulihat macam peyek pun," ketus Zahra berdiri sembari berkacak pinggang.
"Pergi kalian dari sini, tanpa kalian pun cucu ku akan menikah! Melihat tampang attitude kalian, aku jadi muak! Pergi sana!" usir Aisyah dengan tampang galak dan mata melotot.
Bahkan Daniel dan yang lainnya hanya bisa geleng-geleng saja. Semakin naik umur, semakin garang.
Keluarga Wira pun pergi dengan wajah yang merah padam menahan amarah serta malu. Bisa-bisanya mereka di permalukan seperti ini.
Setelah kepergian keluarga Wira, Zahra mengelus punggung Xia dengan lembut.
"Umi yakin suatu saat ada laki-laki yang bisa membuat mu nyaman, nak."
"Terimakasih, Umi."
_
_
_
_
_
_
_
...Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh readers....
Bertemu lagi dengan author yang baik, ramah lingkungan dan tak suka menabung ini.
Semoga kalian suka yah dengan kisah Razka.
Salam sejahtera, salam toleransi.
Untuk umur Zia sudah author rombak yah, seharusnya tak jauh dari umur Razka. Cuma nanti ketuaan😂
Jangan lupa beri dukungan untuk author agar semangat dalam membuat cerita menarik lainnya.
Terimakasih.
to be continue.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Anfit Annisa Fitri Tangka
Minyakk 4
2023-04-17
1
Nanda Lelo
abis dari gamian lgsg ke sini
2023-01-14
0
Borneo Lady
peyek masuk angin yaa.. #melempeemm 😂
2022-04-30
0