Akhtar
Suara qiroah dari toa masjid tak jauh dari rumah membangunkan tubuh lelahku. Baru 2 jam aku tertidur. Setelah perjalanan panjang kutempuh dari luar kota, malam tadi aku tiba dirumah orang tuaku.
Dipindah tugaskan ke kantor pusat sebagai Manager konstruksi di salah satu perusahaan ternama. Karirku 4 tahun ini memang meningkat. Aku bersyukur, bahkan sangat bersyukur.
Aku segera mandi, memakai baju koko putih dan sarung. Tak lupa kopiah putih favoritku. Aku berjalan bersama papa menuju masjid. Lingkungan yang ku rindu. Karena aku baru kembali setelah enam bulan.
Ramai orang menyapaku.
"Akhtar? Kapan pulang?"
"Wah. Bodyguard pak Rendra pulang nih."
"Gemukan nih. Makin sukses ya, Tar."
"Wah... Durennya pak Rendra makin mateng nih."
Dan sapaan terakhir membuatku tak mampu menahan senyum. Senyum pedih maksudnya.
Usia belum 30 tahun tapi sudah menduda selama 5 tahun. Sungguh, pencapaian yang paling ku sesali.
Sejak berpisah, aku tak pernah mengenal cinta. Aku bahagia seperti ini, tanpa rasa takut kecewa dan mengecewakan.
Pagi ini di meja makan sudah berkumpul keluargaku. Mama cantikku yang bernama Riana, papaku Rendra, adikku Sora dan anaknya Caraka yang memang tinggal disini. Suaminya-Abimanyu seorang TNI di tugaskan di perbatasan Malaysia Kalimantan.
"Om Ataaaaaa." Keponakanku tersayang menghambur kepelukanku setelah melihatku turun dari lantai 2.
Bocah 3 tahun ini sangat menggemaskan. Aku menggendongnya seperti pesawat terbang dan dia tak henti tertawa.
"Awas jatuh kak. Itu anakku loh, bukan satu sak semen." Sora memperingatkanku.
"Elah... ini mah gak lebih berat dari gantungan kunci," balasku dan disambut tawa oleh mama papa.
"Yang cangkang siput itu ya, Tar?" tanya papa yang sengaja menggoda Sora.
"Iya, Pa. Yang ada tulisan thank you-nya."
"Souvenir pernikahan dong," ucap mama juga. Dan kami semua tertawa terkecuali Sora.
"Astaga... seneng banget ya, ngecengin aku." Sora cemberut. Lucu banget adikku yang satu ini.
Mama dan papa bekerja sama mengurus 2 minimarket. Mama juga punya yayasan sekolah paud dan Tk sejak sepuluh tahun lalu. Karena mama merasa sepi sebab kami sudah jarang di rumah untuk sekolah dan kuliah.
"Waah... cumi pedas," ucapku dengan semangat saat melihat makanan favoritku.
Selesai sarapan aku dan Papa duduk di bangku halaman belakang. Masih sejuk dan panas matahari masih bagus- bagusnya.
Dan ini masih jam 8 pagi , masih terlalu pagi di hari libur seperti ini tapi suara notifikasi dari aplikasi berwarna hijau di ponselku seperti tak berjeda.
Papaku hanya tertawa. "Hari libur sibuk banget ya notif di ponsel kamu. Lagi punya pacar, ya?"
"Belum minat pa, Akhtar masih fokus kerja," jawabku singkat, dan tanganku mengambil ponsel dari saku celana.
Chat dari group 'Manusia Sibuk'
Ray : Woi... yang pulang kampung, kuy ngopi ngopi...
Sania : Siapa sayang?
Ray : Duren kesepian. Si Akhtar.
Sania: Ayolah. Lama nih gak ngumpul.
Dion: Kuy lah, berangkat!!
Josep: Pak Dureeeen, pliss traktir kita 😆
Ray : Masih tidur dia mah kayaknya.
Dion : Pantes jodohnya dipatok ayam.
Sania: Hahahah... numpang ketawa Yon.
Aku senyum sendiri membaca obrolan mereka.
Akhtar : Woi... 😎 (gue cuma mau lewat doang)
Ray : Eh... balik sini lo. Gak usah pura pura lupa. (Gulung lengan baju, pengen nonjok)
Dion : Balik gak lo Tar, gue seret lo dari rumah pak Rendra. (Bawa 6 bodyguard)
Sania : Dih... dia kabur.
Akhtar : Feeling gue gak enak, San.
Ray : Gue tunggu di cafe, jam 4 sore ini. Siapa gak datang, kita seret dari rumahnya.
Akhtar : Kejam banget, Bang?
Ray : Bodo' amat.
Sania : Deal !!!
Dion : Berang-berang bawa tongkat! Beraaangkat!!!
Josep : Makaaan gratis, come to Papa.
Akhtar : Ampuni dosa mereka ya Tuhan karena menganiaya A'im.
Ray : Najis!!
Mereka adalah teman SMAku. Kami tetap berkomunikasi meski memiliki kesibukan masing-masing.
Aku meletakkan ponselku saat papa tiba tiba berkata, "Sudah 5 tahun loh. Apa gak terlalu lama Tar." Papa menatap lurus kedepan.
"Bulan depan umurku baru 30, Pa. Masih muda juga. Temanku juga masih banyak yang single," jawabku enteng.
"Terserah kamu sih. Papa sama Mama gak mau ikut campur lagi. Yang penting kamu bahagia dengan siapapun wanita itu." Papa memegang bahuku. Ku pegang tangannya dan ku elus perlahan.
Papa sepertinya trauma menjodohkanku. Karena pernikahanku dulu adalah hasil perjodohan Papa dan anak teman kuliahnya.
Teman kuliah papa itu ingin segera punya cucu, tapi sayangnya pernikahan selama 2 tahun itu tak kunjung dihadiahi keturunan. Jadi, kami memutuskan untuk berpisah. Salah, bukan kami, melainkan mantan istriku yang ingin kami berpisah.
"Sudah. Jangan melow, Pa. Nanti Akhtar carikan menantu yang cantik, solehah, baik, sabar, penyayang dan nurut sama Akhtar." Aku tertawa di ujung kalimat.
"Memangnya ada wanita seperti itu?" tanya papa dengan kening berkerut.
"Doa aja dulu, Pa. Siapa tau itu salah satu dari doa miliyaran umat yang terkabul hari ini."
"Amin." Papa mengaminkan doaku. Entah di sudut dunia mana akan ku temukan wanita seperti itu. Mimpi saja dulu, berdoa saja dulu, soal terwujud atau tidak itu urusan Tuhan.
"Akhtar Alvarendra!" Dengan nada pelan, tiba tiba papa memanggil nama lengkapku.
"Ya pa!" sahutku tak kalah lembut.
"Kamu tau arti nama kamu?".
Aku menggeleng.
Papa tersenyum tipis. "Akhtar itu memiliki dua arti, yang pertama adalah bintang dan yang kedua adalah yang terpilih."
"Alvarendra artinya mulia, cerdas dan beruntung."
"Sudah jelas, kan Nak, harapan dan doa kami terselip dalam nama itu?"
Aku mengangguk. "Akhtar faham pa. Selalu ada di belakang Akhtar, Pa. Maaf karena pernah mengecewakan Papa." Aku benci suasana seperti ini.
"Papa yang harus minta maaf karena pernah memintamu menuruti keinginan Papa."
Jujur, aku sudah melupakan semuanya, aku memang sulit untuk mencintai Arum, mantan istriku, tapi aku berusaha untuk mencintai dan terbiasa dengan keberadaannya di sisiku agar tak mengecewakan orang tua kami.
"Sekarang, cari kebahagiaan kamu, Nak!" Papa merengkuhku dalam pelukannya. Tiba tiba kecupan mendarat di pucuk kepalaku dan tangan lembut menyentuh pipiku. Ternyata mama datang dan memeluk kami dari belakang.
"Semoga selalu bahagia, anak mama," bisiknya ditelingaku.
"Pasti Ma, dipeluk mama seperti ini aja udah bahagia banget." Aku mengecup pipi wanita terhebatku.
Tiba-tiba papa menarik telingaku. "Gombalin yang lain, yang ini milik Papa."
"Dih, dasar overprotektiv, pelit," cibirku pura-pura merajuk.
Papa melepasku dari pelukannya dan menarik mama untuk duduk di sebelah papa. Mama bersandar dibahu papa. Pemandangan terindah yang selalu ingin ku lihat.
"Bahagia selalu Ma, Pa," ucapku dalam hati.
Aku beranjak dari dudukku, hendak masuk kerumah.
"Mau kemana Tar?" tanya mama.
"Masuk ma, gak enak ganggu orang pacaran?" jawabku.
"Bagus kalau sadar diri," ucap papa sambil tertawa.
"Ngenes ya, jadi jomblo, punya pacar, dong!" Candaan papa menusuk jantung, paru paru hingga ke ginjal, tapi aku tak peduli.
Aku melenggang masuk kerumah. Saat sebelum menghilang di balik pintu, aku berteriak, "Ma, pulang dari masjid tadi pagi, papa ngelirik tante Caca ma." Aku langsung lari kedalam tak peduli papa memprotesku untuk membela diri.
"1:1 papa vs Akhtar"
Tante Caca adalah janda beranak dua yang tinggal tak jauh dari rumah kami. Aku hanya becanda, dan mama tau itu.
Jadi aku tak perlu khawatir dengan nasip papa.
Candaanku takkan merusak keharmonisan mereka. Pondasi cinta mereka terlalu kuat untuk diguncang oleh candaan tak bermutuku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Etik Etik
nyimak
2023-03-30
0
trisya
😘😘😘😍ih seneng banget kalo liat anak laki masih suka peluk2 mama papa nya😍😘
2021-12-22
1
Nopi Yunanda
keluarga yg bahagia🥰
2021-12-18
1