Ancaman

"Lha memang mas Adi sudah pernah makan disini sebelumnya? Kog bisa tahu kalau sambal terong nya pedas?", selidik Bu Tiara dengan senyum manisnya.

"Sudah Bu, belum lama ini.

Makanya saya kapok dengan sambal terong disini. Saya tidak suka pedas Bu. Kalau masih asal pedas saja gak apa-apa, tapi kalau pedas yang level level ampun saya", ujar Adi sambil mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.

Bu Tiara hanya tersenyum geli melihat tingkah Adi sementara Alex yang sudah hafal dengan sikap Adi cuek saja sambil asyik menonton video di aplikasi YouTube pada ponsel pintar nya.

Pagi itu mereka bertiga menikmati hidangan rumah makan lesehan itu sambil mengobrol tentang persiapan proyek sabo dam di sungai Lesa.

Bu Tiara terus mencecar Adi dengan pertanyaan seputar pengalaman nya di dunia konstruksi. Perempuan cantik itu dapat memahami betapa dalamnya pengetahuan Adi di dunia konstruksi meski dia tidak memiliki gelar Sarjana Tehnik. Juga pengalaman Adi yang memulai semuanya dari titik nol semakin membuat Bu Tiara bersimpati kepada nya.

Usai makan, Bu Tiara meminta nomor telepon Adi. Katanya untuk mempermudah komunikasi jika sewaktu-waktu terjadi gap antara mereka. Tanpa berpikir macam-macam, Adi memberikan nomor telepon nya kepada bos CV Mutiara itu sebagaimana biasa dia memberikan nomor telepon kepada para juragan proyek yang di tangani nya.

Saat Adi hendak membayar tagihan makan mereka, Bu Tiara segera menyusul Adi ke meja kasir.

"Mau kemana mas Adi?", tanya Bu Tiara dengan cepat.

"Mau bayar Bu, kan habis ini saya mau ke lokasi proyek lainnya", jawab Adi dengan sopan.

"Eits tunggu dulu.

Yang punya hajat itu aku loh, jadi yang wajib bayar ya aku to. Simpan uang mu untuk anak istri di rumah. Oke?", lagi lagi Bu Tiara memamerkan senyum manisnya.

"Tapi Bu.."

"Gak pakai tapi tapian. Simpan uang mu Mas, kau lebih membutuhkan nya", potong Bu Tiara seraya mencubit pinggang Adi.

'Eh apa apaan perempuan ini? Berani sekali menggoda ku dia. Hemmmm', batin Adi yang langsung sedikit menjauh dari Bu Tiara.

Setelah membayar, mereka menuju ke private room dimana Alex sudah bersiap dengan memakai sepatu pantofel nya.

Bu Tiara sengaja tidak segera masuk ke mobil Fortuner putih nya Alex. Perempuan itu terus menatap Adi yang sedang memakai helm KYT putih nya. Pandangan mata Bu Tiara seperti hendak menelan Adi bulat bulat.

Setelah Adi menjalankan motor Vixion nya meninggalkan parkiran rumah makan lesehan itu, Bu Tiara masuk ke dalam mobil Fortuner putih Alex.

Di pikiran Bu Tiara, dia harus mendapatkan Adi.

Adi terus menjalankan motor nya ke arah lokasi proyek di desa Wanaraja. Motor Vixion nya lincah melintasi jalan raya yang membelah desa Wanaraja itu menjadi dua bagian.

Sesampainya di lokasi proyek, Wandi sudah menurunkan satu dump truk batu gebal yang akan di buat menjadi onderlaag atau makadam sebagai batu dasar pembuatan jalan aspal.

Adi segera mendekati juragan leveransir yang biasa di panggil Lompong itu usai memarkir kendaraan nya di bawah pohon rindang.

"Habis ini balik lagi gak pak Wan?", tanya Adi pada Wandi.

"Gak dulu bos, mau ganti kampas kopling. Nih bau nya mulai sangit", jawab Wandi segera.

"Butuh bon gak? Kalau butuh jangan dadakan loh", ujar Adi sambil tersenyum tipis.

"Paham boskuhh..

Kalau besok, kira kira bisa bon gak bos? Gak banyak kog, 5 juta aja", Wandi tersenyum memamerkan gigi nya yang ompong satu.

"Beres, agak siang tapi.

Gimana?", Adi menatap wajah Wandi yang telah berubah ceria.

"Mau pagi, siang, sore gak masalah bos.. Pokok gak malam hari saja", Wandi berseloroh.

Adi hanya tersenyum tipis sambil mengacungkan jempol tangan kanannya.

Setelah menandatangani 2 lembar nota penerimaan material, Adi bergegas menuju ke kantor desa Wanaraja. Tadi Renata sudah mengirim pesan teks lewat aplikasi WA kalau selepas jam kantor habis, di tunggu kepala desa Wanaraja dan ketua TPK di ruang tamu Desa Wanaraja.

Kedatangan kembali Adi memancing perhatian dari dua rekan kerja Renata yang hendak bersiap pulang ke rumah.

"Tuh orang mau ngapain lagi kemari Mbak Wati?", tanya Bu Santi sambil menunjuk ke arah Adi yang tengah memarkir motornya di parkiran kantor desa.

"Gak tau Bu, tapi kayaknya ada sesuatu yang penting deh.

Pak Imam ketua TPK juga datang. Biasanya kan jarang mau ke kantor desa. Pak Kades juga masih di ruangan nya", ujar Wati, sang Kaur Pelayanan Umum.

"Aku kog kepo ya Mbak Wati..

Kita sedikit molor sedikit pulangnya gimana? Nanti minta kunci kantor sama mas Wanto, biar dia pulang duluan", Bu Santi melirik ke arah Wati yang nampaknya setuju dengan usulan Bu Santi.

Wanto, staf kantor desa urusan kebersihan dan pertamanan kebetulan melintas hendak mengunci semua pintu kantor desa yang memang sudah menjadi tugas sehari-hari nya.

"Mas... Mas Wanto", panggil Bu Santi pada Wanto yang hendak mengunci pintu di sebelahnya.

"Enggeh Bu Santi,

Ada apa nggeh?", tanya Wanto yang segera menghentikan langkahnya.

"Anu, saya sama mbak Wati kan ada pekerjaan yang belum selesai.

Untuk ruang yang lain silahkan dikunci. Tapi untuk ruang administrasi tolong kunci nya ditinggal saja. Soalnya seperti nya kami masih sedikit lama menyelesaikan pekerjaan", alasan Bu Santi sambil tersenyum tipis.

"Wo enggeh Bu..

Nanti kalau sudah tolong di belokkan ke rumah saya nggeh. Mohon maaf loh", ujar Wanto dengan sopan. Pria 27 tahun itu segera meletakkan kunci berkode RA yang ada di kumpulan kunci nya.

Bu Santi tersenyum tipis sambil mengangguk mengerti. Wati hanya tersenyum tipis saja.

Adi langsung melangkah menuju ke arah ruang tamu kantor desa Wanaraja. Disana Imam sang ketua TPK dan Pak Kades Sudjiono sudah duduk sambil bercakap-cakap.

"Assalamualaikum", Adi mengucapkan salam yang membuat dua orang itu segera menoleh ke arah pintu.

"Waalaikumsalaam. Mas Adi nggeh?", tanya Pak Kades Sudjiono dengan ramah.

"Enggeh pak, saya Adi", jawab Adi sambil tersenyum tipis.

"Woh Monggo monggo silahkan duduk mas.

Bu Sekdes lagi keluar sebentar. Di tunggu nggeh", ujar Pak Kades Sudjiono seraya menjabat tangan Adi. Imam pun juga sama.

Mereka kemudian segera duduk bersama di kursi ruang tamu kantor desa.

Setelah berbasa-basi sebentar, dari parkiran motor, Renata datang dengan mengajak seorang bocah lelaki kecil berusia 8 atau 9 tahun.

"Maaf saya telat bapak bapak semuanya. Jemput Antoni dulu ke sekolah ini", ujar Renata sambil tersenyum tipis.

"Woh Ndak apa-apa. Lagipula kita juga belum membahas tentang rencana pembangunan kog Bu Sekdes", jawab Pak Kades Sudjiono seraya tersenyum.

Antoni segera menyalami Pak Kades Sudjiono dengan mencium punggung tangan lurah Wanaraja itu, lalu pada Imam dan terakhir pada Adi. Setelah itu Renata mengantar Antoni ke ruang kerjanya agar bocah itu tidak menggangu perbincangan mereka.

Dan ternyata Bu Santi dan Wati masih ada diruang kerja mereka masing-masing.

"Loh dereng wasul (belum pulang) Bu Santi, Mbak Wati?", tanya Renata yang kaget melihat mereka berdua masih ada di ruang kerja nya.

"Lembur dikit Mbak Ren,

Biar besok bisa santai dikit", ujar Wati sambil tersenyum tipis.

"Oh gitu.

Ya wes Antoni sama Bu Santi dan Mbak Wati disini dulu ya.

Tak nemeni mereka yang mau ngomongin urusan proyek dulu", ujar Renata pada anak nya. Bocah kecil itu hanya mengangguk, kemudian dia meminjam hp Renata untuk bermain game.

Renata kemudian balik ke ruang tamu kantor desa Wanaraja.

Selanjutnya mereka membicarakan soal tawaran pekerjaan yang akan di garap Adi di desa Wanaraja. Terjadi kesepakatan mengenai tata cara kerja yang akan mereka lakukan.

Pak Kades Sudjiono dan Ketua TPK Imam nampak puas dengan apa yang di ajukan Adi, terkait pekerjaan yang akan mereka lakukan.

"Tapi kalau langsung ke saya, urusan administrasi nya langsung di pihak desa loh nggeh Pak Kades.

Soalnya kalau saya harus nyambi administrasi, saya gak sanggup. Tender proyek sabo dam sudah menanti saya, dan itu multiyears loh", ujar Adi sambil tersenyum.

"Woh itu urusan Bu Sekdes sama pak ketua TPK Mas,

Sampean gak usah khawatir", ujar Pak Kades Sudjiono seraya mengelus kumisnya.

Karena sudah ada kata sepakat, setelah berbincang beberapa waktu, Adi mohon diri untuk pulang.

Kebetulan hari ini, mertua nya berkunjung ke rumah nya jadi dia ingin pulang lebih awal.

"Saya mohon diri dulu pak Kades,

Ada keperluan keluarga. Wassalamualaikum", ujar Adi sambil berdiri dan melangkah menyalami Pak Kades dan Pak Imam.

"Waalaikumsalaam", jawab mereka berdua dengan kompak.

"Bu Sekdes, saya permisi dulu nggeh", pamit Adi pada Renata.

"Nggeh mas, hati-hati", ujar Renata sambil tersenyum manis.

Jam 14.35 Adi meninggalkan kantor desa Wanaraja. Dua pasang mata menatap curiga pada Adi, karena Renata tersenyum penuh arti menatap kepergian mandor proyek itu.

Motor Vixion Adi terus meluncur ke arah desa Mande, tempat tinggal nya.

15 menit kemudian, Adi sudah sampai di rumah nya. Dua gadis nya berlari menyambut kedatangan ayah mereka.

"Ayah,

Aku di bawain jajan banyak sama Mak Mi", pamer Dhea pada Adi.

"Aku juga yah, sama Mbah Mi di bawain banyak gorengan", Cinta tak mau kalah.

"Ayah masih di sisain gak?", tanya Adi menanggapi dua putri kecilnya itu.

"Banyak yah,

Ayo kita masuk", jawab Dhea sambil menarik tangan Adi masuk ke dalam rumah. Cinta pun mengekor di belakangnya.

Ternyata di dalam rumah, ada banyak orang. Wawan, Narsih, Aldi dan Bu Sarmi sedang asyik berebut menggendong Rendra dan Yaka.

"Kae lo Le, bapak mu sudah datang", ujar Bu Sarmi yang sedang menggendong Yaka. Dengan penuh kasih sayang, Adi mencium pipi putranya yang didekatkan ke arah nya itu. Bocah kecil itu menatap Adi kemudian tersenyum.

"Lah kog sudah tau kalau bapaknya yang datang. Pinter bocah ini", celoteh Bu Sarmi melihat senyum Yaka.

"Ya jelas, anak siapa dulu dong", Indri yang baru dari belakang bersama Nanik tersenyum tipis.

"Eleh, kalau bukan dia yang ngukir pasti anakmu juga tidak setampan itu Ndri", sergah Nanik dengan cibiran khas nya.

Indri hanya cengar-cengir sedangkan Adi tersenyum tipis saja mendengar cibiran Nanik.

Suasana rumah Adi begitu ramai hari ini.

Semuanya datang untuk membicarakan persiapan selapanan Rendra dan Yaka yang tinggal menghitung hari sekaligus permintaan Bu Siti untuk aqiqah untuk si dua bocah kembar.

Adi yang baru melepaskan jaket kulit nya, menekuk tubuh nya yang pegal karena wira wiri naik motor seharian.

Indri menyusul suaminya ke dalam kamar.

Melihat dada bidang Adi yang sedikit berbulu dan memakai celana pendek doang, membuat Indri bergidik ngeri.

"Mas, kalau keluar kamar pakai singlet nya. Jangan telanjang dada gitu. Bikin ngeri ih", ujar Indri sambil mengambilkan singlet di lemari.

"Kan berani nya telanjang dada kalau sama kamu doang yank, kalau keluar ya selalu pakai baju", Adi tersenyum tipis.

"Harus itu, cuma aku aja yang boleh lihat dada itu", ucap Indri dengan cepat. Mata indah nya mendelik serta tangan Indri mengepal di depan hidung, saat Indri berkata kepada Adi,

"Awas kalau diperlihatkan kepada yang lain".

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Ikuti terus kisah selanjutnya kak 😁

Yang suka silahkan tinggalkan jejak kalian dengan like 👍, vote ☝️, favorit 💙 dan komentar 🗣️ nya yah agar author terus semangat menulis 😁

Yang mau kasih kopi ☕ atau bunga mawar 🌹 juga boleh kog 😄

Selamat membaca kak 🙏🙏🙏🙏

Terpopuler

Comments

Safa Haura Chumairoh

Safa Haura Chumairoh

semakin menarik ceritanya
konflik batin mulai ada tanda tanda

2022-10-10

1

Martin Ika

Martin Ika

ya ampun makin banyak aja penggemarnya adi...

2021-08-26

1

eza

eza

itu para wanita gk da akhlaq makin banyak aja ya btw.
jadi pelajaran ni buat waspada sama bibit pelakor
jadi ngeri mikir macem" kalo suami kerja aduhh😅

2021-08-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!