12 tahun berlalu, kini Dhafa menjadi anak yang tangguh, berani dan kuat. Penampilannya juga sangat keren. Dikaruniai wajah tampan membuat Dhafa menjadi sosok idol disekolahnya.
Sikap jahil, kepada teman-teman sekelasnya sangat melekat pada diri Dhafa. Tapi, Dhafa juga dikenal dengan anak yang pandai ia juga begitu cuek dengan perempuan walau sekali-kali Dhafa menjahili mereka yang begitu sangat mengagumi dirinya.
Dhafa bersiap untuk pergi ke sekolah dengan jaket putih kesayangannya yang langsung terpasang topi dijaket itu.
" Dhafa, sarapan dulu sayang. Ini Bunda buatin nasi goreng buat kamu, " suara lembut penuh kasih sayang untuk Dhafa itu terdengar dari meja makan dimana Bunda sudah duduk dihadapan makanan yang sudah ia sajikan dengan rapi.
Dhafa terhenti ketika ia mendengar suara dari Bundanya. Dhafa menoleh dan memberikan senyuman pada Bundanya.
" Pagi, Bunda. Bunda tau aja, kalau Dhafa paling suka masakan nasi goreng Bunda yang gak ada lawan." ucap Dhafa dengan penuh semangat sembari duduk, mengambil sendok untuk menyantap nasi gorengnya.
" Kamu, Dhafa. Emang paling bisa bikin Bundanya bahagia. Makan dulu, tuh. Habisin, " Bunda.
" Oke, Bunda cantik." Dhafa ia kembali tersenyum kepada Bundanya.
Bunda Dhafa juga memberikan senyum kepada putranya yang selalu bisa membuatnya bahagia.
Bunda Dhafa sangat senang melihat putranya yang menyantap lahap nasi gorengnya hingga habis bersih tanpa sisa.
" Dhafa, " ucap Bunda dengan nada suara yang tiba-tiba lemas dan lirih.
Dhafa yang baru saja selesai minum, seketika menoleh ke arah Bundanya yang tampak serius ingin bicara kepadanya.
" Iya, ada apa, Bund? " tanya Dhafa.
" Bunda mau kamu belajar yang benar dan serius di sekolah. Bunda ingin kamu jadi anak yang sukses dan bisa buat Bunda bangga sama kamu. Satu lagi, kamu gak perlu mikir biaya sekolah kamu karena itu tanggung jawab Bunda. Jangan sampai Bunda lihat kamu kerja lagi sama orang. Ngerti? " Bunda Dhafa.
Suasana rumah yang sangat hening menambahkan kesan tegang saat Bunda bicara. Dhafa yang mendengarkan dengan serius dan menundukkan kepalanya mengangguk pelan.
" Iya, Bunda." jawab Dhafa dengan singkat dan suaranya yang berubah lemas.
" Kalau gitu, Dhafa berangkat sekolah dulu, ya, Bund. Assalamualaikum." Dhafa ia mencium tangan Bundanya dan segera berangkat menuju sekolahnya yang bisa ditempuh Dhafa dengan hanya berjalan kaki.
" Wa'alaikumussalam, hati-hati, Nak! " teriak Bunda Dhafa kepada Dhafa yang sudah melangkah keluar rumah.
" Oke, Bunda! " jawab Dhafa.
Dari selat kontrakan Dhafa, tetangga Dhafa yang melihat Dhafa hendak pergi sekolah meneriaki Dhafa yang membuat langkah Dhafa terhenti.
" Dhafa! " teriak Om Burhan, tetangga Dhafa yang sangat baik dan perhatian kepada Dhafa dan Bundanya.
Om Burhan juga memiliki Istri dan anak yang masih sangat kecil.
" Om Burhan, " ucap Dhafa menoleh ke arah sebelah kontrakannya yang dibatasi dengan pagar rumput.
" Mau sekolah, kamu? " tanya om Burhan.
" Iya, om." jawab Dhafa singkat.
" Hati-hati, belajar yang benar. Jangan aneh-aneh disekolah. Ingat, Bundamu udah banting tulang untuk kamu." Om Burhan.
Seketika Dhafa terdiam, ia merasa kasihan dengan Bundanya yang harus kerja susah payah demi menyekolahkan Dhafa. Dhafa menunduk seolah ia sedih hingga ia kembali memandang ke arah Om Burhan sembari tersenyum kecil dan mengangguk.
" Iya, Om. Dhafa berangkat dulu, Assalamualaikum." Dhafa.
" Wa'alaikumussalam. " jawab Om Burhan.
Dhafa kembali melangkah dengan semangat. Seragam sekolah putihnya tersembunyi dibalik jaket putih kerennya. Topi yang terpasang dijaket itu ia pasang untuk menutupi kepala dan rambutnya yang tersisir sangat rapi.
**
Gadis cantik berjilbab dengan seragam SMAnya turun dengan langkah berlarian melewati tangga rumahnya.
Waktu sudah sangat siang, tapi dia baru saja siap dan terlihat sangat terburu-buru menghampiri keluarganya.
" Mama, Papa sama Iqbal, mana?" ucap Meisya, anak dari pemilik perusahaan yang cukup sukses dikotanya.
Keluarganya memanggilnya dengan sebutan, Ica. Entah, darimana mendapat panggilan itu. Tapi, Meisya sudah biasa dipanggil Ica oleh keluarganya.
" Udah berangkat dari tadi, kamu lelet banget, sih." jawab Mama Meisya yang duduk bersama Kakak Meisya terlihat santai menikmati roti sandwich yang tersedia di meja makan.
" Lah, kok udah duluan, sih? Kenapa gak nunggu aku dulu? Terus aku gimana dong, kesekolahnya? Masa jalan kaki, kan jauh, Mah." keluh Meisya yang bicara sambil melangkah sampai ke meja makan dan duduk untuk berbicara kepada Mamanya.
" Salah kamulah, Dek. Lama banget, siap-siapnya. Papa buru-buru kerja dan Iqbal juga harus kesekolahnya." jawab Arvin, Kakak Meisya.
" Udah, ini masih belum terlambat. Sekolah Adek kamu itu jauh, jadi Papa terpaksa ninggalin kamu. Arvin, kamu antar Meisya, kamu kan juga sekalian ke kampus." Mama.
" Aku, Mah? Enggak, ah. Malas banget nganter dia," jawab Arvin.
" Lihat, Mah. Jadi Kakak gak ada peduli-pedulinya banget sama Adeknya. Kalau aku kenapa-napa, gimana? Kakak gak khawatir? " Meisya.
" Ya, enggaklah. Udah bagus kamu itu dipesantren. Lah, sekarang malah pindah kesini." Arvin.
" Arvin! Jangan ngomong kayak gitu sama Adek kamu. Bukan dia yang minta pulang dari pesantren. Kamu tau sendiri, kan, Adek kamu itu punya penyakit." tegur Mama yang tidak suka Arvin bicara seperti itu kepada Meisya.
Arvin terdiam, ia sadar akan ucapan yang seharusnya tidak ia lontarkan kepada Meisya.
Meisya yang merasa sedih dan sakit hati akan ucapan Kakaknya, mulai merengek, menahan tangisnya.
Dengan perasaan sedih dan kesal kepada Kakaknya, Meisya mengambil roti sandwich dan pergi begitu saja dengan langkah cepat hendak keluar rumah.
" Ica! Sayang, kamu mau kemana? Ini susunya minum dulu! " teriak Mama.
Arvin mulai merasa bersalah dan dia tertunduk saat ditatap Mamanya.
" Gak usah!" jawab Meisya singkat sambil menghapus air matanya.
" Arvin, kejar Adek kamu, sekarang! Mama minta tolong sama kamu, antar Ica dengan selamat kesekolah." Mama.
" Iya, Ma. Aku antar Ica sekarang," Arvin.
Arvin bergegas menggendong tasnya dan mencium tangan Mamanya untuk pamit pergi.
" Assalamualaikum, Ma." Arvin.
" Wa'alaikumussalam, hati-hati." Mama.
Arvin berlari agar tak tertinggal mengejar langkah Adeknya yang ternyata belum jauh.
" Pak, buka pintunya." ucap Meisya kepada satpam penjaga rumahnya.
" Lho, kok, Non cantik sendiri? " tanya pak satpam yang bingung hingga akhirnya ia mendengar teriakan Arvin.
" Dek, tunggu! Ica! " teriak Arvin sambil terus berlari dan menarik tangan Adiknya menghentikan langkah Ica.
" Kakak minta maaf, Kakak gak sengaja ngomong kayak gitu tadi." Arvin.
Ica tidak bisa menjawab, ia masih menahan tangis dan menghapus air matanya.
" Kamu jangan marah sama Kakak, ya. Ayo, sekarang Kakak antar kamu kesekolah. Biar Adek, Kakak yang paling cantik ini sampai kesekolah dengan selamat, ayo." bujuk Arvin dengan rayuannya yang berhasil membuat Ica tersenyum kecil saat melihat ekspresi Arvin.
Meisya mengangguk kecil, ia mau berangkat dengan Kakaknya.
Arvin senang karena Meisya mau berangkat bersamanya.
" Pak, tolong bukakan gerbangnya." ucap Arvin kepada pak satpam.
" Siap, Den." Pak satpam.
" Ayo, " ajak Arvin.
Dengan motor ninja berwarna merah mencolok, Arvin siap mengantarkan Adiknya, Ica.
***
SMA 1 PANCASILA
Disinilah, Dhafa bersekolah. Baru saja sampai di depan gerbang sekolah, sudah banyak cewek-cewek yang menyapanya dengan penuh rayuan.
" Pagi, Dhafa."
" Dhafa, kamu ganteng banget, sih."
" Damagenya itu, emang, ya. Oh my god."
Dhafa hanya tersenyum akan ucapan-ucapan yang tertuju untuknya.
" Pagi, pak."
Bukannya membalas sapaan cewek-cewek itu, tapi Dhafa malah menyapa pak satpam yang berjaga didepan gerbang.
" Pagi, Nak, Dhafa." ucap pak satpam dengan semangat dan ramah membuat Dhafa tersenyum kembali kepada pak satpam.
Dikenal dengan murid berbakat, walau Dhafa sering menjahili teman-temannya membuat Dhafa tidak disukai oleh Johan, anak yang paling kaya, nakal dan bodoh dikelasnya yang satu kelas dengan Dhafa.
Bukan hanya itu, Johan juga sangat tidak suka kepada Dhafa yang dipuji-puji oleh banyak cewek-cewek termasuk oleh cewek yang ia suka.
Dibantu dengan kedua soibnya, Riski dan Ale, Johan siap menjebak Dhafa.
" Heh, kalian semua jangan ada yang kasih tau, Dhafa kalau disini gue kasih minyak! Awas kalian!" ancam Johan kepada semua siswa yang melintas.
Para siswa itu tidak bisa melawan Johan, mereka malah berbisik tentang sikap licik Johan itu.
•
•
•
" Udah, kamu masuk gih. Jangan cemberut lagi, senyum dong," Arvin.
" Iya, aku masuk dulu. Assalamualaikum, " Ica ia tidak lupa ia mencium tangan Kakaknya.
" Wa'alaikumussalam," Arvin sebelum kembali melanjutkan tujuannya untuk berangkat ke kampus ia mengawasi Ica sampai benar-benar masuk ke dalam sekolah yang cukup besar itu.
Semua siswa hening dan mereka cepat melangkah atas perintah Johan yang bersembunyi bersama kedua soibnya untuk melihat Dhafa melintas dan terjatuh.
Dhafa berjalan dengan sangat santai walau ia sempat curiga saat tempat yang ia lewati sangat sepi.
Johan terus mengawasi Dhafa dari balik tembok hingga....
Srttttttttttthhhhhh....
" Arghhh! Ini siapa, sih yang buat jalanan licin? Gak ada kerjaan banget! Woi, ini gak ada yang mau nolongin gue apa?!" teriak Dhafa yang merengek kesakitan karena jatuh dengan cukup keras dan kakinya terkilir karena itu.
Johan dan teman-temannya datang untuk mentertawai Dhafa yang masih terduduk dilantai.
" Hahahhahah, Dhafa, Dhafa, " Johan.
Dhafa melihat sepatu Johan dan ia mendongak ke atas.
" Lo lagi, lo lagi, gak ada bosan-bosannya, ya ngerjain gue!" sentak Dhafa yang sudah enek melihat wajah Johan.
Dengan wajah yang sangat licik, Johan membuka tutup botol minumnya dan menyiraminya kepada Dhafa.
Dhafa sangat terkejut atas perlakuan Johan, kepalanya tertunduk saat Johan menyiraminya dengan air.
Siswa yang lain tidak bisa melakukan apapun, dan kejadian itu juga terjadi di tempat yang mengarah ke kelas 11 dimana Kakak kelas ataupun guru masih belum ada yang melintas disana.
" Woi, " Johan memberikan kode kepada kedua temannya.
Riski dan Ale, mengangguk dan mulai mengikuti perintah Johan yaitu melemparinya dengan sampah.
Meisya yang melihat kejadian itu tepat didepan matanya merasa sangat kaget dan ia tidak tega melihat Dhafa yang sedang di bully seperti itu.
Walau Meisya heran kenapa tidak ada yang membantu Dhafa, mereka hanya asyik menonton bahkan ada yang merekam dan mentertawai Dhafa.
Tapi, dengan berani Meisya berlari dan berteriak menghentikan perlakuan bully yang dilakukan Johan dengan kedua teman-temannya.
" Stop, stop!"
Riski dan Ale tiba-tiba menghentikan aksinya saat melihat Meisya.
Meisya berdiri dihadapan Dhafa untuk melindunginya. Semua mata mengarah kepada Meisya begitu juga dengan Dhafa yang kaget dan tercengang melihat Meisya yang dengan berani menolong dirinya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Hanyfatul Sofia
aseeekkk
2021-07-16
0