Beberapa hari kemudian, kondisi Alfin sudah membaik. Jahitannya sudah dilepas dan kini lengannya bisa digunakan sesuka hati. Dan bila Alfin sembuh itu pertanda bahwa dia harus segera bekerja. Dia sudah lelah menjadi pasien di rumah sakit barunya berhari-hari.
Di sabtu cerah ini, Alfin datang ke rumah sakit barunya. Dengan kemeja putih dan celana bahan membuat tampilannya sangat charming dan menarik perhatian semua kaum hawa. Di tangannya terjinjing tas khas pekerja kantor. Lelaki itu langsung naik ke lantai lima, menuju departement bedah.
Alfin masuk ke ruangan barunya. Ruangan itu bersih dan nyaman. Alfin duduk di kursinya dan mulai merapikan barang-barangnya.
Tok tok
Seorang perawat perempuan masuk dengan senyum malu-malu.
"Maaf dok, perkenalkan saya Riska, asisten perawat baru Anda." ucapnya dengan nada cukup genit. Sepertinya, Riska juga tidak bisa menghalau pesona Alfin.
Alfin mengangguk, "Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik." ucapnya tenang.
Riska mengangguk malu-malu, "Baik dok." ucapnya.
"Ada lagi?" tanya Alfin.
Riska tersadar, dia langsung menyerahkan dokumen berisi daftar pasien pada Alfin.
"Ini adalah daftar para pasien yang akan ditangani oleh dokter mulai sekarang. Beberapa diantaranya adalah pasien lama dari dokter sebelumnya." jelas Riska kembali dengan nada profesionalnya.
Alfin melihat-lihat daftar itu, "Ada rekam medisnya?" tanyanya.
Riska mengangguk, "Saya sudah melampirkannya di paling belakang." jawabnya. Alfin langsung membuka halaman terakhir.
"Oh ya dok, selain mengurusi pasien di daftar di atas, dokter juga akan mengambil alih sebagian pekerjaan di unit gawat darurat terutama di ruang operasi dikarenakan unit gawat darurat sedang kekurangan dokter. Kami sedang berusaha merekrut secepatnya. Jadi untuk sementara waktu, mohon bantuannya."
Alfin mengangguk, "Saya tidak keberatan." ucapnya.
"Terima kasih dok. Kalau begitu, bagaimana kalau mulai pengecekan pasien dokter? Biarkan mereka mengenal dokter." ucap Riska.
"Baik, ayo." Alfin berdiri.
Riska tersenyum, "Ikuti saya dok." ucapnya.
"Silakan." Alfin membuka pintu ruangannya dan mempersilakan Riska pergi lebih dulu.
"Terima kasih dok." ucapnya tak mampu menahan senang. Dia tersentuh kala Alfin memperlakukannya sebaik itu.
Alfin dan perawat barunya berjalan menuju ruangan para pasiennya. Sepanjang jalan, banyak yang memerhatikan kedua orang itu atau lebih tepatnya Alfin. Mereka mungkin terkejut karena baru pertama kali melihat dokter setampan itu.
Riska membawa Alfin ke ruang bangsal. Disana ada satu pasien lanjut usia yang menderita stroke berkepanjangan selama lima tahun.
"Selamat pagi, saya dokter baru di rumah sakit ini. Nama saya Dokter Alfin." ucap Alfin ramah.
Perempuan lansia itu tersenyum, "Saya Marni, dok." ucapnya tak kalah ramah. "Dokter tampan sekali." pujinya.
Alfin tersenyum malu mendengar pujian itu, "Terima kasih bu. Ibu juga sangat cantik." puji balik Alfin.
"Aduh, jangan dipanggil ibu. Saya sudah tua. Para perawat disini selalu memanggil saya nenek." ucapnya.
"Baik nek." ucap Alfin cepat.
Alfin pun berbicang ringan dengan Nek Marni itu. Perbincangan itu diselingi dengan tawa dari keduanya. Alfin memang selalu ramah pada pasiennya. Pembicaraan mengenai kondisi pasiennya tak jarang selalu disampaikan di sela-sela perbincangan ringan seperti ini. Selain merekatkan hubungan harmonis antara dokter-pasien, metode seperti ini juga membuat pasiennya lebih tenang dalam menghadapi penyakitnya.
Tapi bukan berarti Alfin tak pernah serius. Dia selalu serius dalam pekerjaannya. Baginya, kesembuhan pasiennya merupakan prioritasnya.
Cukup lama Alfin mengecek para pasiennya. Dan rumor tentangnya langsung menyebar secepat angin. Kini namanya dikenal semua orang dengan titel dokter tampan yang ramah dan perhatian.
Alfin dan Riska selesai mengecek pasien terakhir, mereka akan menuju UGD untuk pengenalan ke salah satu area paling sibuk di rumah sakit itu. Tapi di jalan, dia bertemu dengan Kenanga yang tampak luar biasa dengan seragam lorengnya.
"Letnan!" panggil Alfin.
Kenanga yang sedang berbicara di depan meja perawat seketika menoleh. Ada Alfin yang melambaikan tangan dari kejauhan.
Setelah dia dilihat oleh Kenanga, Alfin melangkah menghampirinya.
"Letnan Kenanga." sapanya.
"Oh, kau. Rupanya kau sudah sembuh." balas Kenanga melirik lengan kanan Alfin. Kenanga memang tak menjenguk Alfin lagi setelah kunjungan mendadaknya dengan Meilani.
Alfin mengangguk, "Saya baru saja keluar kemarin." jawabnya.
"Syukur kalau begitu." balas Kenanga singkat.
"Letnan, mau kemana?" tanya Alfin ketika melihat Kenanga membawa sebuah map.
"Medikal check-up." balas Kenanga singkat.
Lalu Panji datang mendekat. Di tangannya juga ada map seperti Kenanga.
"Halo, dokter Alfin." sapanya lebih dulu. Alfin mengangguk sebagai balasan. Setelah itu Panji melirik Kenanga, "Ayo, Letnan." ajaknya.
"Kami pergi dulu." pamit Kenanga.
"Hati-hati di jalan." ucap Alfin.
Kenanga hanya mengangguk dan kemudian pergi diikuti oleh Panji setelah sebelumnya melambaikan tangan sebagai perpisahan pada Alfin. Alfin menatap kedua orang itu yang makin menjauh.
Dia tetap terlihat dingin, batinnya.
***
Setelah melihat-lihat UGD, Alfin masuk ke ruangan sahabatnya. Ada Satya yang sedang fokus mempelajari kasus.
Alfin duduk di depannya, dia mengetuk-ngetuk meja hingga perhatian Satya pun teralih padanya.
"Wah, Dokter Alfin si mantan pasien! Selamat datang, bagaimana hari pertamamu disini?" ucap Satya riang.
"Lumayan. Mereka sangat baik dan ramah. Kurasa aku akan betah." jawab Alfin.
"Tentu saja kau harus betah, rumor tentang dokter baru yang tampan sudah menyebar di seluruh rumah sakit ini. Mereka terlihat seperti cacing kepanasan saat bertemu denganmu. Padahal dokter tampan di rumah sakit ini sudah ada dari dulu." decak Satya.
"Siapa dokter tampan itu?" goda Alfin.
"Tentu saja Satya Gerabaldi! Lelaki paling hot dan seksi. Tidak kalah dengan Kai Exo." ucapnya percaya diri.
"Sudah kuduga kau akan mabuk seperti ini. Jangan kebanyakan minum, nanti kau tidak bisa bedakan mana plastik dan mana manusia!" ejek Alfin.
"Siapa plastik dan siapa manusia?" tanya Satya.
"Tentu saja kau yang plastik. Kenapa pakai ditanya lagi." tandas Alfin.
"Cih, bilang saja iri." decih Satya.
"Aku iri? Denganmu? Maaf, kau siapa?" balas Alfin pedas.
Satya mendengus, "Enyahlah!"
Alfin terkekeh, "Tapi ya, aku memang sepertinya sudah ditakdirkan menjadi superstar di bidang apapun. Dimanapun aku berada, semua mata memandangku. Mereka berfikir, 'Wah, darimana asalnya malaikat tanpa sayap ini?Aku ingin memilikinya satu!' ."
"Huek." Satya seketika mual mendengar ucapan penuh rasa percaya diri dari Alfin itu.
"Benarkan? Kau juga tahu ketenaranku saat kita kuliah dulu." lanjut Alfin tersenyum santai.
"Permisi, tuan. Departement kesehatan jiwa belum tersedia di rumah sakit ini tapi saya punya kartu nama seorang psikiater hebat barangkali tertarik." ucap Satya kesal.
Alfin terkekeh keras. Senang bisa menggoda temannya itu.
"Eh, Satya, ada yang ingin kutanyakan padamu."Alfin menghentikan tawanya. Suasana seketika serius.
"Apa?" tanya Satya acuh. Dia kembali berkutat dengan pekerjaannya.
"Apakah para tentara selalu melakukan mcu disini?"
Satya mengangguk, "Iya tapi terkadang juga tidak."
"Maksudnya?"
"Mereka terkadang melakukan pengecekan disini, bisa secara tim maupun individu. Terkadang staf dokter dan perawat yang kesana. Sesuka hati sih." jelas Satya.
"Kenapa?"
"Apanya yang kenapa?"
"Kenapa terkadang ke markas? Kenapa tidak disini saja?"
"Karena mereka sibuk." jawab Satya ngegas. "Jangan ganggu aku dulu deh. Aku sedang pusing sekarang." lanjutnya.
"Pertanyaan terakhir. Siapa saja dokter yang diizinkan melakukan mcu pada mereka?"
"Tentu saja dokter umum dan militer." jawab Satya.
"Dokter sipil juga tidak bisa?"
"Bisa. Intinya tergantung atasan. Siapa saja yang diutus."
"Oh begitu." Alfin mengangguk-anggukan kepala.
"Ya sudah, aku pergi dulu." pamit Alfin.
"Hem, aku tidak mengantar." jawab Satya tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen.
Alfin tersenyum jahil, "Seriusnya jangan sama dokumen terus, seriusin aku juga dong."
"Kau gila?!" sentak Satya.
"Katakan itu pada semua mantanmu yang matanya buta karenamu." balas Alfin.
Satya kesal, dia melemparkan pulpen pada Alfin yang berdiri mengejeknya di depan pintu.
"Enyahlah!"
Alfin tertawa, dia pun keluar dari ruangan Satya.
***
Sore hari, Panji dan Kenanga seperti biasa sedang berolahraga sore. Mereka berlari kecil di joging track.
"Letnan, sudah tahu siapa yang membunuh Nurman?" celetuk Panji.
Kabar soal meninggalnya Nurman santer terdengar beberapa hari ini. Dikatakan, penyebabnya adalah keracunan.
"Siapa lagi kalau bukan anggota Miracle. Tidak ada yang bisa melakukan hal keji ini selain mereka." jawab Kenanga.
"Anggota Miracle sangat gila. Mereka tidak segan membunuh demi tutup mulut." komentar Panji.
"Demi menjaga kerahasiaan." balas Kenanga.
"Eh tapi, Letnan, tidak ada simbol Miracle di belakang lehernya." ujar Panji.
Dan itu yang membuat Kenanga bingung. Tidak ada simbol Miracle di belakang leher Nurman, tidak seperti Ahmad. Meski pada akahirnya simbol itu dihapus begitu saja di leher Ahmad, tapi ini aneh. Mungkinkah mereka lupa menstempelnya?
"Letnan, jenazah Nurman sudah selesai dimandikan. Katanya malam ini akan dimakamkan, ayo lihat sebentar." ucap Panji.
Kenanga menganggukan kepalanya.
****
Kenanga, Bagas, Angga, Panji, Dani dan Riko berdiri menunggu jenazah Nurman. Mereka memakai peralatan APD lengkap karena keamanan. Tak lama, jenazah Nurman dibawa oleh petugas berAPD.
"Dia keracunan apa?" tanya Riko.
"Compound 1080." jawab petugas itu.
"Makanya kita menggunakan APD, racun Compound bisa bertahan hingga setahun kematiannya." jawab Kenanga.
Kenanga lalu membuka kain putih yang menutupi wajah Nurman. Dan terpampanglah wajah Nurman yang pucat dan keriput. Kerutan di wajahnya seakan menandakan kesakitan amat saat menjelang wafatnya.
"Tidak kusangka semua pelaku yang kita tangkap semuanya meninggal." celetuk Bagas mendesah pelan.
"Bahkan pelakunya masih belum tertangkap." timpal Dani.
"Mereka seperti diadili lebih dulu entah kenapa." tambah Panji.
Disisi lain, Kenanga sedang meneliti tubuh Nurman. Mencari sesuatu yang aneh dan janggal. Tiba-tiba tangan kanan Nurman terjuntai keluar. Dan alangkah terkejutnya kala Kenanga melihat sebuah simbol Miracle di sisi jari manisnya.
"Woah, Miracle!" seru Angga terkejut kala melihat tangan Nurman yang dipegang oleh Kenanga.
"Bukannya di dalam laporan, tidak ada simbol Miracle?" tanya Bagas bingung.
"Bisa saja dicap setelah autopsi. Tapi yang jelas ini ulah mereka." tandas Kenanga.
"Wah, gila. Aku merinding. Mereka sangat menakutkan!" komentar Dani menatap horor.
"Mereka hanya sekelompok orang gila yang menganggap nyawa tidak penting." tukas Kenanga.
"Tolong penemuan ini masukkan ke laporan." ujar Bagas pada petugas.
"Baik."
"Ayo, kita pergi." ajak Bagas setelahnya.
"Kita tidak menyaksikan pemakamannya?" tanya Angga.
"Tidak perlu. Pulang saja dan beristirahat."
"Yes!" sorak Dani, Angga, Riko dan Panji senang.
"Eh bagaimana kalau kita makan malam bersama saja?" usul Dani tiba-tiba.
"Ah benar juga, kata kapten kita akan makan malam kalau misi sudah selesai." tagih Panji.
"Oke ayo." ucap Bagas.
"Yes!" Panji bertos senang dengan Angga.
"Letnan ikut kan?" tanya Bagas.
Semua mata menatap Kenanga, Kenanga menggeleng.
"Kenapa?" tanya Panji kecewa.
"Saya ada makan malam keluarga." jawab Kenanga.
"Ah, dengan Danjen Akra?" tanya Angga antusias.
Kenanga mengangguk.
"Ya sudah tidak apa-apa. Tapi lain kali harus ikut ya." ucap Panji mewanti-wanti.
Kenanga menganggukan kepalanya.
"Salam untuk danjen." timpal Bagas.
"Hem, kalau gitu saya pamit duluan." pamit Kenanga.
"Hati-hati di jalan, letnan."
"Sampai bertemu besok!"
Dan Kenanga hanya membalasnya dengan lambaian tangan tanpa menoleh.
Sepeninggal Kenanga, Panji menoleh, "Nah, makan malam?"
"Saya ada urusan." jawab Dani. Panji merengut.
"Saya juga ada urusan. Tiba-tiba teringat." timpal Angga.
"Ah, saya juga harus mempersiapkan laporan tulis tangan." tambah Riko.
"Kenapa tiba-tiba kalian semua ada urusan?" protes Panji.
"Karena kami sibuk. Ayo." balas Riko jahil. Mereka semua tiba-tiba pergi.
"Eh, mau kemana?" teriak Panji panik.
Tapi rekan-rekannya tidak menjawab.
"Hahaha, ayo." Bagas merangkul Panji yang merengut kesal.
"Makan malamnya tidak jadi kapt?" tanya Panji sedih.
"Lain kali saja." balas Bagas.
"Ah! Tidak asik!" keluhnya kesal.
***
Begitu sampai di rumah, Kenanga langsung mandi. Dia teringat dengan janjinya. Dia akan makan malam dengan Om dan tantenya bersama seseorang yang spesial entah siapa.
Kenanga langsung mengenakan dress peach pemberian Meilani kemarin. Dia lalu duduk di meja riasnya dan mulai merias wajahnya.
Jangan salah, meski dia terkesan tomboy dan terlihat cuek dengan penampilan, tapi Kenanga tetaplah perempuan. Dia tetap merawat kulit dan wajahnya agar tetap memiliki kulit sehat. Dia juga punya alat make-up, meski tidak banyak dan selengkap wanita lain. Tapi setidaknya cukup untuk menyelamatkan mukanya saat acara penting.
Selesai merias wajahnya dengan riasan segar dan natural, Kenanga mulai mengurus rambut sebahunya. Setelah menata, dia menatap cermin. Terpampanglah Kenanga feminim yang jarang terlihat bila tidak ada situasi langka seperti ini. Dan dia bertambah seperti perempuan sesungguhnya kala mengenakan sepatu hak tinggi. Wajahnya yang memang sedikit kebule-bulean tampak sempurna dan cocok dengan tubuh semampainya. Kenanga seperti model yang keluar dari majalah mode.
Kenanga pun mengambil sling bag dan setelah semua siap. Kenanga keluar dari apartement.
***
Kenanga sampai di restoran di alamat yang dikirimkan Meilani. Tapi ketika hendak masuk, dia dikejutkan dengan kemunculan Alfin yang datang dari mana. Mereka sama-sama terkejut.
"Kak Anggi? wah kebetulan sekali." sapa Alfin.
Dahi Kenanga mengernyit, "Anggi?"
"Iya, bukannya saya sudah bilang kalau saya akan memanggilmu dengan Kak Anggi. Lupa?"
"Tapi kau memanggilku dengan sebutan letnan saat di rumah sakit." gumam Kenanga.
Alfin mendengar gumaman itu, "Ah, saat itu saya tidak punya pilihan lain. Saya tidak mungkin memanggilmu Kak Anggi di tempat kerja." jelas Alfin.
"Hem." balas Kenanga acuh.
"Silakan masuk lebih dulu." ucap Alfin.
Kenanga masuk ke dalam restoran diikuti Alfin. Mereka berjalan menuju ruang VIP restoran. Baik Kenanga maupun Alfin sama sekali tidak sadar bahwa tujuan mereka sama.
Hingga ketika Kenanga hendak membuka pintu, tangan Alfin juga turut melakukannya. Mereka saling menatap.
"Kau.."
"Saya hendak makan malam di ruangan ini." ucap Alfin bingung.
Kenanga membulatkan matanya. Dia tanpa kata langsung membuka pintu. Terlihat Tante dan Omnya duduk berhadapan dengan dua orang paruh baya tak dikenal.
"Wah kalian datang bersamaan?!" sambut Meilani terkejut sekaligus senang.
"Eh, Fin. Masuk yuk. Bunda nungguin." ucap perempuan berhijab.
"Ini..." Alfin kehilangan kata-kata saking syoknya.
Satu pertanyaan yang sama di benak Kenanga dan Alfin.
Ada apa ini?
Alfin dan Kenanga pun akhirnya memilih masuk meski kepala mereka masih dipenuhi kebingungan. Mereka duduk saling berhadapan di samping keluarga masing-masing.
"Kamu pasti Kenanga kan? Kamu cantik sekali." ucap bunda ramah.
Kenanga mengangguk meski masih bingung "Terima kasih tante."
"Panggil bunda saja. Nama bunda Alena. Ini suami bunda, Om Andra." ucap bunda dengan senyumnya yang lembut.
Kenanga tersihir dengan tutur kata lembut bunda, dia seketika mengangguk.
"Dokter Alfin, halo. Kita bertemu lagi." kini giliran Meilani yang menyapa Alfin.
"Selamat malam, tante." sapa balik Alfin tetap sopan.
"Kalian pernah bertemu?" sela Bunda.
Meilani mengangguk, "Di pertemuan pertama yang mengesankan." ucapnya tersenyum misterius.
"Ini ada apa sih?" bisik Kenanga pada tantenya.
Meilani membalasnya dengan menyikut lengan suaminya. Akra yang tersadar langsung memulai pembicaraan.
"Ah iya, Andra. Saya hampir lupa dengan tujuan awal kita. Bagaimana kalau kita mulai saja?" tanya Akra pada Andra.
"Tentu saja. Saya justru sangat antusias. Mau kau atau aku?" balas Andra.
"Kau saja deh. Kau dari pihak laki-laki." kekeh Akra.
"Baiklah kalau begitu." angguk Andra.
Pembicaraan Akra dan Andra malah membuat tanda tanya semakin besar di kepala Kenanga dan Alfin.
Andra berdeham, "Jadi begini, Alfin, Kenanga. Om mewakili semuanya mengumpulkan kedua keluarga yang persahabatannya sudah terjalin di lima generasi ini ada maksud dan tujuannya." Andra memulai pembicaraannya.
"Selain untuk merekatkan hubungan kekeluargaan, juga bermaksud menyampaikan sesuatu hal. Suatu hal berupa janji yang pernah disepakati saat kakek kalian masih hidup."
"Janji apa?" sela Alfin.
"Yaitu janji untuk menikahkan kalian." celetuk Meilani. Andra mengangguk mengiyakan.
Alfin dan Kenanga membeku saking terkejutnya. Rasanya rahang mereka turun hingga ke mata kaki gara-gara mendengar berita mengejutkan menjurus konyol.
"Perjodohan?" seru Kenanga yang pertama sadar.
Meilani mengangguk sambil tersenyum senang.
"Yes, you and he will get married!"
Kenanga menganga tak percaya. Di zaman maju ini, masih ada perjodohan? Lelucon apa ini?!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Suci Waty
jodoh emg gak kemana..
2021-08-01
0
fitriaqfi
gak sengaja terus ketemunya, lama-lama emang jd jodoh😂🤭
2021-07-31
0