Bab 11. Ruang Berdarah dengan Simbol itu...

Satya dan Alfin sedang dalam perjalanan menuju Puncak. Mereka berkendara dengan tenang.

“Sebenarnya untuk apa kita kesini?” celetuk Alfin.

“Saudaraku menikah hari ini. Jadi aku datang memberikan selamat.” Jawab Satya.

Alfin mendesah kasar, “Kalau tahu begitu seharusnya kita berangkat lebih pagi, brengsek. Jalan menuju Bogor selalu macet menjelang siang!” umpat Alfin kesal.

“Aku memang tidak berniat datang, tapi ibuku mengancamku akan menikahkanku secara paksa. Jadi mau tak mau aku harus datang.” Balas Satya.

“Memang, seorang ibu selalu tahu fikiran kita. Beliau melakukannya agar pintu hatimu terketuk untuk segera menikah.” sindir Alfin.

“Aku tidak berencana menikah.” Tukas Satya santai.

“Apa? Kau gila?!” sentak Alfin kaget.

“Anggap saja aku gila, tapi aku sungguh tidak berencana menikah.”

“Kau benci pernikahan?”

Satya menggelengkan kepalanya, “Bukan karena aku benci, hanya merasa itu merepotkan. Lagipula untuk apa membuang waktu pada hubungan yang akan berakhir suatu saat nanti? “ ucap Satya sambil menoleh pada Alfin.

“Dengan kata lain, kau tidak suka harus mengurus segala persyaratan yang memusingkan dan rumit itu.” tandas Alfin.

Satya mengangguk mantap, “Yap, exactly!”

Alfin mengendikkan bahu acuh,“Kalau begitu apa boleh buat. Aku sebagai temanmu hanya bisa menasihatimu. Terserah kau mau menikah atau jadi bujangan tua.” Balasnya.

“Jangan fikirkan aku. Fikirkan saja dirimu sendiri. Setelah apa yang kau alami, kau masih siap menikah?” tanya balik Satya.

Alfin terdiam mendengarnya. Dia memalingkan wajahnya menatap jalan melalui kaca mobil. Lelaki itu mendesah pelan, “Entahlah. Tapi kurasa harus. Aku harus menikah kalau tidak mau dijadikan santapan harimau oleh bundaku.” Ucapnya.

“Nadamu terdengar menyedihkan tapi perkataanmu membuatku ingin tertawa.” Tukas Satya menahan tawa. Tak lama dia mendatarkan wajahnya, “Tapi, itu sudah berlalu tiga tahun. Seharusnya kamu sudah tidak mengingatnya lagi.” Lanjutnya kini dengan nada serius.

“Bagaimana bisa tidak mengingatnya? Kejadian itu bahkan masih terbawa mimpi.” Sanggahnya.

“Kau masih bermimpi buruk?” seru Satya. Alfin mengangguk.

“Ini sudah tiga tahun dan kau masih belum bisa tidur karena mimpi buruk?” ulang Satya.

“Kubilang iya!” seru Alfin kesal.

Satya nampak syok. Memang, setelah kejadian buruk itu, hidup sahabatnya memang telah berubah. Alfin tak lagi jadi lelaki ceria yang selalu mengatakan apapun semaunya. Meski diluar dia tampak baik-baik saja. Tapi aslinya, begitu dia menjauh dari orang-orang, Alfin kembali menjadi diri yang kesepian dan merana. Lelaki itu tak pernah lagi tidur nyenyak karena bayangan menyakitkan di masa lalu atas kematian Syafira selalu menghantuinya setiap memejamkan mata. Lelaki itu trauma dan sulit untuk tertidur. Kalaupun bisa tidur, Alfin harus minum obat tidur setiap saat.

“Aku takut kamu akan ketergantungan kalau terus minum obat. Tapi daripada tidak bisa tidur...”

“Tenang saja. Aku akan mengurus masalahku. Kau urus saja masalahmu.” Potong Alfin acuh.

Dan Satya mengalah. Dia tak melanjutkan percakapannya karena Alfin nampak sudah tak peduli.

***

Satya dan Alfin sampai di lokasi pernikahan saudara Satya. Mereka berpakaian semiformal dengan Satya yang tampak sangat santai untuk dibawa ke acara seperti pernikahan. Sejujurnya lelaki itu tak peduli meskipun memakai celana pendek. Ada sahabatnya yang mewakili penampilannya dengan jas dan celana jeans.

Dan kedua lelaki itu langsung menuju pelaminan untuk mengucapkan selamat.

“Selamat, adik sepupu.” Ucap Satya pada sepupunya.

“Terima kasih kak. Kuharap kamu akan menyusul segera. Atau kalau tidak, maka tante akan menerormu sepanjang malam.” Balas sepupunya menakut-nakuti.

“Aku tersentuh atas perhatianmu tapi tidak perlu khawatir padaku. Oh ya, daripada mengurusi hubungan percintaanku, lebih baik kau urusi bagaimana malam pertama kalian. Jangan lupa minum jamu atau nanti kau akan kelelahan lebih awal.” saran Satya menyunggingkan senyum smirknya. Dia setengah mengejek sebenarnya.

Alfin memukul bahu Satya karena perkataan lelaki itu yang tidak disaring dulu. Tapi Satya hanya menanggapi dengan santai.

“Kenapa kak Alfin mau berteman dengan lelaki gila ini? Dia hanya memikirkan ranjang.” Balas sepupu Satya cukup sebal karena diejek.

Alfin mendesah, “Aku juga sudah lelah tapi kalau aku tidak ada, maka playboy ini tidak akan memiliki penceramah di hidupnya yang kelam.” Balas Alfin lelah.

Satya menatap kesal Alfin tapi Alfin balas melotot, “Apa? Bukankah itu benar? Kau hanyalah bujangan tua yang berganti-ganti pacar sesering ganti sarung tangan medis!” ejek Alfin.

Satya menonjok bahu Alfin pelan, "Lihat bagamana aku akan menghajarmu nanti." bisiknya kesal.

Semua yang ada di pelaminan tertawa dan Satya hanya bisa mendesah kasar. Dia memegang baju Alfin.

“Kami pergi dulu. Sekali lagi selamat menikah.” Ucap Satya buru-buru menarik Alfin pergi.

Setelah pergi menghadiri pernikahan, Satya melajukan mobilnya ke tempat lain alih-alih langsung pulang ke Jakarta. Dia berniat mengunjungi satu tempat lagi.

“Kita mau kemana lagi?” celetuk Alfin.

“Suka lihat film Zombie kan? Aku akan membawamu melihat desa zombie asli.” Jawab Satya.

“Zombie?” tanya Alfin bingung.

“Ada insiden yang sedang tren belakangan ini di sosmed. Katanya ada segerombolan orang yang berperilaku seperti zombie menyerang para warga desa ini. Itu pernah terjadi beberapa kali tapi kasus terakhirnya adalah sebulan yang lalu.”

“Jadi?”

Satya menatap Alfin dengan riang, “Jadi aku ingin mengajakmu kesana.”

***

Satya dan Alfin sampai di Desa Sinar. Satya sudah menyewa penginapan semalam disana. Lelaki itu rencananya akan menginap semalam dan pulang ke Jakarta keesokan harinya.

“Kita menginap semalam sekaligus melihat desa Zombie ini.” ujar Satya senang.

“Tidak ada apapun yang terjadi disini. Tidak ada yang namanya zombie dan sebagainya.” Tukas Alfin.

Satya merangkul bahu Alfin, “Brother, nikmatilah waktu beberapa jam ini. Orang-orang datang ke Puncak untuk sekedar melepas penat. Kau fikir aku rela datang jauh-jauh hanya untuk menghadiri pernikahan sepupuku?”

Alfin berdecak kesal, “Aku sangat sibuk.”

“Sibuk apa?” tanya Satya.

“Aku akan pindah rumah sakit.”

Satya terkejut, dia melepaskan rangkulannya dan menatap Alfin penuh pertanyaan, “Pindah katamu? Kemana?”

“Rahasia. Tidak akan kuberitahu.” Ucap Alfin acuh.

“Woy! Setidaknya beritahu aku. Atau kau pindah sebenarnya ingin membuka klinik?” tebak Satya. “Wah, kau snagat beruntung! Aku juga ingin buka klinik sendiri!” lanjutnya penuh rasa iri.

“Untuk apa dokter militer sepertimu buka klinik sendiri? Pekerjaanmu sangat kurang hah?”

“Bukan begitu. Aku hanya iri pada dokter sipil sepertimu. Dan kenapa juga aku harus mendaftar sebagai perwira karir?” keluh Satya.

Alfin menghembuskan nafasnya pelan, “Kalau kau masih terus mengeluh, ayo kita pulang. Kuantar kau membuat surat pengunduran diri.” Ajak Alfin menarik belakang baju Satya dan menyeretnya keluar penginapan.

“Eh eh tunggu sebentar, sebentar.” Cegah Satya. Alfin berhenti melangkah.

“Apa? Kau bilang sangat menyesal karena mendaftar sebagai perwira karir? Ayo kubantu kau mengundurkan diri. Atau sekalian saja pensiun?” Ucap Alfin hendak menyeret Satya lagi.

Satya seketika panik, “Eh tunggu sebentar. Aku tidak jadi.” Ucap Satya pelan.

Alfin melepaskan cekalannya dan langsung melipat kedua tangannya di depan dada, “Alasannya?”

“Kalau difikir-fikir, kurasa jadi dokter militer tidak akan seburuk itu. Bagaimanapun sudah menjadi turun temurun dalam keluarga dokterku ada yang

menjadi dokter militer. Dan tidak pernah ada anggota keluarga yang memutuskan pensiun dini.” Satya lalu menatap Alfin dengan menyengir lebar, “Dan aku tidak bisa menodai itu.”

Alfin menganggukan kepalanya, “Kau sudah dewasa.” Ucapnya sambil mengelus rambut Satya. Setelah itu pergi dengan santai.

“Woy, aku lebih tua darimu!” teriak Satya tidak terima kepalanya dielus-elus.

“Ayo jalan-jalan. Cuaca hari ini sangat bagus.” Teriak Alfin dari luar.

Satya berdecak kesal, meski begitu dia tetap keluar menyusul Alfin.

***

Mereka berjalan-jalan di sekitaran desa. Menikmati waktu yang cukup singkat untuk keluar dari kesibukan Jakarta yang melelahkan. Udara sejuk khas pegunungan seakan mampu menenangkan fikiran Alfin yang seperti semrawutan itu.

Kemudian langkah Alfin terhenti kala melihat sebuah bangunan serba biru yang cukup besar.

“Bangunan apa itu?” tanya Alfin.

Satya ikut berhenti dan menatap bangunan yang ditunjuk Alfin, “Oh pabrik mainan. Sudah ada sejak 2004 kalau tidak salah.” Jawabnya.

“Ada pabrik disini?” tanya Alfin bingung.

“Tentu aja ada. Meskipun ini pedesaan tapi tren modernisasi sudah menyebar. Setidaknya pasti ada tempat industri di setiap desa.” Ucap Satya.

“Benarkah?” gumam Alfin merasa aneh.

“Eh, bagaimana kalau kita masuk?” tawar Satya.

“Tidak. Kenapa harus masuk segala?” tolak Alfin.

“Tentu saja untuk melihat-lihat.” Tandas Satya.

“Kenapa kau ingin melihat-lihat pabrik orang lain?” decak Alfin.

“Siapa tahu kita bisa bertemu zombie disana.” Balas Satya antusias.

Alfin mendesah keras, dia memijat dahinya yang pening karena ulah Satya yang konyol itu. “Kenapa aku harus berteman dengan bujangan tua yang sifatnya seperti anak lima tahun?" ratapnya.

"Sudah kubilang tidak ada zombie dan sebagainya!”

Srrt srtt

Alfin dan Satya seketika terdiam. Mereka menoleh ke arah suara aneh yang terdengar.

“Mungkinkah itu...” lirih Satya.

Alfin tersenyum garing, “Jangan becanda, sudah kubi—“

“Kapten Bagas?” seru Satya memotong ucapan Alfin. Alfin menoleh ke belakang. Ada seorang laki-laki berjaket denim yang nampak sedang terburu-buru.

“Kau...” tunjuk Bagas pada Satya.

“Iya saya, Dokter Satya dari RSAM. Tapi kenapa Anda ada disini? Jangan-jangan...”

“Iya saya sedang dalam misi.” Aku Bagas.

Satya mengangguk-anggukan kepalanya, “Ah begitu. Oh ya anggota yang lainnya mana? Letnan Kenanga terutama.” Bagas berbicara dengan nada manis yang terdengar sangat menjijikan di telinga Alfin.

“Letnan Kenanga ada didalam. Sedangkan anggota lainnya ada di klinik.” Jawab Bagas.

“Klinik? Ada yang sakit?” tanya Bagas.

“Sertu Riko mengalami keracunan makanan katanya.”

“Kondisinya parah?”

“Saya tidak begitu yakin. Makanya saya hendak pergi kesana untuk memastikan.”

Kepala Satya kembali terangguk, “Kalau begitu saya juga kesana. Dan teman saya juga.” Satya langsung menarik tangan Alfin agar mendekat.

“Dia...” Bagas menatap Satya dengan bingung. maksudnya bertanya soal siapa Alfin.

“Dia juga dokter kok. Namanya Alfin." Satya menyuruh Alfin memperkenalkan diri.

"Saya Alfin, dokter bedah." ucap Alfin.

Bagas mengangguk, "Kita tidak ada waktu lagi. Ayo." ajaknya langsung pergi. Satya buru-buru menyusulnya.

"Eh tunggu!" teriak Alfin. Dia hendak pergi tapi baru tersadar bahwa ada sesuatu yang hilang.

"Bukankah katanya Letnan Kenanga ada didalam? Tapi kenapa dia tidak keluar-keluar? Apa dia tidak tahu rekan kerjanya keracunan?" gumam Alfin.

"Haruskah kususul dia kedalam?" tanya Alfin pada diri sendiri. "Eh, tapi ini bukan urusanku. Siapa tahu dia sedang sibuk disana." jawabnya sendiri.

Alfin pun melangkah pergi tapi baru beberapa langkah, dia kembali berhenti.

"Tapi rasanya ada yang tidak beres." ujarnya. Dia membalikkan badannya menatap pintu kecil dimana Bagas keluar tadi,"Haruskah kususul saja? Kalau dia tanya kenapa, aku bisa bilang bahwa rekannya sakit dan memintanya untuk segera datang. Benarkan?"

Tapi Alfin segera mengibaskan tangannya, "Aish, itu klise sekali." ujarnya.

"Tapi aku harus menyusulnya." tandasnya. Alfin sungguhan melangkah menuju pintu masuk pabrik menyusul Kenanga.

Lelaki itu sudah masuk ke dalam pabrik. Di depannya lorong-lorong terpampang begitu panjang dan seperti tampak ujung. Alfin lalu melihat papan tanda yang menunjukkan arah lurus untuk sampai ke ruang produksi utama. Lelaki itu pun pergi sesuai tanda. Tak lama, dia sampai di ruang luas dengan deretan mesin-mesin kuno besar. Alfin pun melihat pintu menuju gudang.

"Apa dia disana?" gumamnya.

Brak

Alfin tersentak kala mendengar suara aneh yang asalnya dari gudang. Lelaki itu segera berlari menuju arah suara.

Begitu sampai di depan pintu, Alfin langsung membukanya. Dia masuk ke gudang penyimpanan bahan baku dan mainan setengah jadi.

"Permisi?" ucapnya sambil melangkah.

"Letnan?" panggilnya. Tapi tidak ada jawaban apapun dari Kenanga.

Alfin terus mengedar sekeliling. Dia pun memutuskan keluar kala merasa Kenanga tidak ada disana. Tapi baru saja berbalik, dia menemukan sebuah pintu kecil disana. Agak tersembunyi tapi tetap saja terlihat. Alfin sejenak ragu, tapi dia memutuskan untuk masuk saja. Siapa tahu Kenanga ada di dalam

Ceklek

Bug

Baru saja dia membuka pintu, kepalanya langsung dihantam keras dari samping. Tak hanya itu, dia langsung dipukuli dengan membabi buta. Alfin mengaduh sambil menjerit.

"Aw! Ampun! Sakit!" seru Alfin kesakitan.

Orang yang memukulinya seketika menghentikan aksinya. Alfin langsung menutup matanya kala sinar lampu ponsel menyinarinya.

“Kau?” seru orang itu membuat Alfin membuka matanya. Di depannya ada Kenanga yang syok tak percaya .

“Iya ini saya, Alfin!” ucap Alfin.

Terlihat Kenanga menghembuskan nafas lega, "Kufikir siapa. Lagipula sedang apa kamu disini?" tanyanya dengan tatapan menyelidik.

"Saya sama Satya mengunjungi desa ini. Lalu ketika sedang berkeliling kami melihat lelaki yang sedang berlari terburu-buru, namanya Kapten Bagas. Dia mengatakan bahwa rekan kerja kalian sakit dan sedang dibawa ke klinik." jelas Alfin. "Anda tahu soal itu?" tanyanya.

"Tentu aku tahu. Tapi pertanyaanku belum kamu jawab." tandas Kenanga.

"Bukankah saya sudah menjawabnya?" tanya balik Alfin bingung.

"Tapi jawaban kamu belum sempurna. Kamu masih belum mengatakan alasan kenapa kamu bisa ada di depan saya sekarang. Tidak mungkin kamu ingin melihat-lihat pabrik orang lain sedang temanmu berada di klinik."

Alfin menganggukkan kepalanya, "Ah benar juga." akunya. "Kata lelaki itu, kamu masih di dalam jadi saya menyusulmu. Siapa tahu kau belum tahu." lanjutnya cukup terbata-bata.

Kenanga melipat kedua tangannya dan menatap Alfin dengan datar hingga membuat Alfin merasa terintimidasi. Alfin membasahi bibir bawahnya.

"Inisiatifmu bagus tapi juga berbahaya." komentar Kenanga.

"Apa maksudmu?" tanya Alfin.

"Kau pasti tidak bodoh mengetahui alasan saya ada disini. Menyelinap ke pabrik orang lain, terlebih kamu sudah bertemu ketua tim saya. Saya sedang bekerja tapi kenapa kamu datang? Dan ini sangat berbahaya. Ibaratkan saja saya sedang berperang di garda terdepan, dan kamu datang hanya untuk memberitahu bahwa bubuk mesiu untuk persediaan sedang dibawa dari gudang penyimpanan. Menurutmu apa itu informasi berguna atau tidak?"

Alfin terdiam. Kenanga kembali berbicara, "Saya hargai inisiatifmu. Tapi saya harap, jangan pernah mengulanginya lagi. Karena kau tidak pernah tahu bahaya apa saja yang mengintaimu kalau kau berani mencampuri urusan para tentara." tekan Kenanga.

Alfin menganggukan kepalanya, "Saya mengerti. Maafkan saya." ucap Alfin tidak enak.

Kenanga mengangguk, "Tidak masalah. Asal kau tepati perkataanmu untuk tidak melakukannya lagi."

Alfin mengangguk mantap, "Baik. Saya berjanji."

Lagipula konyol sekali dia datang menyusulku hanya karena aku tidak keluar fikir Kenanga.

"Tapi ini ruangan apa?" tanya Alfin. Dia mengedarkan pandangannya tapi tidak terlihat apapun. Ruangannya sangat gelap.

"Entahlah, ini hanyalah ruang kecil di dalam gudang. Tapi apa kau tidak mencium bau amis darah?" tanya Kenanga.

Hidung Alfin langsung terkembang, Dia menarik nafas dan seketika ingin mual.

"Huee, baunya amat busuk dan amis." ujarnya.

Kenanga juga merasakan hal yang sama. Awalnya dia tidak menyadarinya tapi baunya semakin pekat sehingga dia bisa menciumnya.

"Ada sakelar disana." tunjuk Kenanga. "Benarkan?" tanyanya pada Alfin.

"Saya tidak melihatnya." jawab Alfin.

Kenanga tak menjawab, dia menyalakan kembali lampu ponselnya dan seketika menemukan sakelar.

Begitu Kenanga menekannya, ada tangan lain yang sama-sama menekannya. Kenanga mendongak, dia menatap Alfin yang tengah menekan sakelar dibawah tangannya. Hingga sedetik kemudian, Alfin menoleh pada Kenanga. Mereka saling terdiam.

Hingga mereka terkesiap kala sinar lampu menerangi mereka. Kenanga dan Alfin seketika melepaskan tangan mereka dari sakelar.

"Maaf saya kira--" Alfin merasa canggung hingga tidak tahu harus berkata apa.

"Tidak apa-apa." balas Kenanga.

"Aaa, darah!" teriak Alfin terkejut luar biasa. Dia baru saja melihat ke bawah, dan ada darah yang sudah mengering mengotori lantai.

Kenanga juga terkejut melihatnya. Dia mulai melihat ke sekeliling lantai, ada darah dimana-dimana.

"Jadi penyebab bau amis ini dari darah? Darah apa ini?" tanya Alfin syok.

Kenanga tak menjawab, dia merasa bingung dengan ruangan yang mereka masuki. Ada banyak rak-rak di kiri kanan. Juga sebuah meja panjang di tengah ruangan. Ruangan itu luas, tak seperti dugaannya sebelumnya. Warna dindingnya putih samar dengan noda merah dimana-mana. Dan mata Kenanga membelalak kala melihat sebuah simbol besar di depannya. Terlukis cantik di atas dinding putih suram.

"Miracle." Bukan Kenanga yang mengatakannya tapi Alfin. Kenanga terkejut, dia seketika menoleh pada Alfin.

"Kau tahu Miracle?" tanya Kenanga.

Alfin mengangguk dengan pandangan yang lurus menatap simbol itu. Matanya bergetar dan tangannya terkepal.

"Dia mencuri kebahagiaanku."

Terpopuler

Comments

Suci Waty

Suci Waty

lanjuuuut thor...

2021-07-23

0

lihat semua
Episodes
1 PROLOG
2 Bab 1. Dua Orang Asing
3 Bab 2. Misi
4 Bab 3. Hujan di Spanyol
5 Bab 4. Miracle
6 Bab 5. Bungaku Telah Gugur
7 Bab 6. Ada Apa?
8 Bab 7. 3 Tahun
9 Bab 8. Pertemuan Kedua
10 Bab 9. Gembala
11 Bab 10. Pertemuan Ketiga Bukan Takdir, kan?
12 Bab 11. Ruang Berdarah dengan Simbol itu...
13 Bab 12. Terseret Masa Lalu
14 Bab 13. Ritual
15 Bab 14. Dia Rela Menawarkan Punggungnya
16 Bab 15. Amarah Bersalah
17 Bab 16. Bunga Tulip Putih
18 Bab 17. Permintaan Maaf
19 Bab 18. Tato Kupu-kupu
20 Bab 19. Pertemuan 'Tak Disengaja'
21 Bab 20. Perjodohan
22 Bab 21. (Jangan) Batalkan
23 Bab 22. Hati Saya Menghangat
24 Karya Baruuu!!
25 Bab 23. Kamu Bisa Menangis Dihadapanku
26 Bab 24. Waktu dan Maaf Tak Selalu Jadi Obat Luka
27 Bab 25. Angga Tahu
28 Bab 26. Bocor
29 Bab 27. Jatuh Hati
30 Bab 28. Selamat Datang di Musim Panas
31 Bab 29. Tanpamu, Aku Baik-Baik Saja
32 Bab 30. Ilusi itu Menyakitinya
33 Bab 31. Babak Baru
34 Bab 32. Kini Ada yang Menunggu Pulang
35 Bab 33. Kekasih?
36 Bab 34. Sebuah Kebenaran?
37 CAST
38 Bab 35. Menunggu Pulang
39 Bab 36. Pulang
40 Bab 37. Here I am
41 Bab 38. Cha Cha Cha
42 Bab 39. Milikku adalah Milikku
43 Bab 40. Zona A-31
44 Bab 41. Sudah Suka?
45 Bab 42. Janji
46 Bab 43. Dingin yang Menghangatkan
47 Bab 44. Hadiah Perkenalan
48 Bab 45. Bekerjasama
49 Bab 46. Dancing in the Rain
50 Bab 47. The Night
51 Bab 48. Aku akan Memanggilmu dengan Nama
52 Bab 49. Melihat Salju di Rumah
53 Bab 50. Camp
54 Bab 51. Who Are You?
55 Bab 52. The Boss
56 Bab 53. Topeng Iblis Part 1
57 Bab 54. Topeng Iblis Part 2
58 Bab 55. Satria yang Meluruh
59 Bab 56. Prince's Tears
60 Bab 57. Runtuh
61 Bab 58.
62 Bab 59.
63 Bab 60.
64 Bab 61.
65 Bab 62.
66 Bab 63.
67 Bab 64.
68 Bab 65.
69 Bab 66.
70 Bab 67.
71 Bab 68. END
Episodes

Updated 71 Episodes

1
PROLOG
2
Bab 1. Dua Orang Asing
3
Bab 2. Misi
4
Bab 3. Hujan di Spanyol
5
Bab 4. Miracle
6
Bab 5. Bungaku Telah Gugur
7
Bab 6. Ada Apa?
8
Bab 7. 3 Tahun
9
Bab 8. Pertemuan Kedua
10
Bab 9. Gembala
11
Bab 10. Pertemuan Ketiga Bukan Takdir, kan?
12
Bab 11. Ruang Berdarah dengan Simbol itu...
13
Bab 12. Terseret Masa Lalu
14
Bab 13. Ritual
15
Bab 14. Dia Rela Menawarkan Punggungnya
16
Bab 15. Amarah Bersalah
17
Bab 16. Bunga Tulip Putih
18
Bab 17. Permintaan Maaf
19
Bab 18. Tato Kupu-kupu
20
Bab 19. Pertemuan 'Tak Disengaja'
21
Bab 20. Perjodohan
22
Bab 21. (Jangan) Batalkan
23
Bab 22. Hati Saya Menghangat
24
Karya Baruuu!!
25
Bab 23. Kamu Bisa Menangis Dihadapanku
26
Bab 24. Waktu dan Maaf Tak Selalu Jadi Obat Luka
27
Bab 25. Angga Tahu
28
Bab 26. Bocor
29
Bab 27. Jatuh Hati
30
Bab 28. Selamat Datang di Musim Panas
31
Bab 29. Tanpamu, Aku Baik-Baik Saja
32
Bab 30. Ilusi itu Menyakitinya
33
Bab 31. Babak Baru
34
Bab 32. Kini Ada yang Menunggu Pulang
35
Bab 33. Kekasih?
36
Bab 34. Sebuah Kebenaran?
37
CAST
38
Bab 35. Menunggu Pulang
39
Bab 36. Pulang
40
Bab 37. Here I am
41
Bab 38. Cha Cha Cha
42
Bab 39. Milikku adalah Milikku
43
Bab 40. Zona A-31
44
Bab 41. Sudah Suka?
45
Bab 42. Janji
46
Bab 43. Dingin yang Menghangatkan
47
Bab 44. Hadiah Perkenalan
48
Bab 45. Bekerjasama
49
Bab 46. Dancing in the Rain
50
Bab 47. The Night
51
Bab 48. Aku akan Memanggilmu dengan Nama
52
Bab 49. Melihat Salju di Rumah
53
Bab 50. Camp
54
Bab 51. Who Are You?
55
Bab 52. The Boss
56
Bab 53. Topeng Iblis Part 1
57
Bab 54. Topeng Iblis Part 2
58
Bab 55. Satria yang Meluruh
59
Bab 56. Prince's Tears
60
Bab 57. Runtuh
61
Bab 58.
62
Bab 59.
63
Bab 60.
64
Bab 61.
65
Bab 62.
66
Bab 63.
67
Bab 64.
68
Bab 65.
69
Bab 66.
70
Bab 67.
71
Bab 68. END

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!