"Kau?"
Kenanga terdiam di tempatnya begitupun Alfin yang menatap syok pada Kenanga. Mereka bertemu di situasi salah tiga tahun lalu. Dan mereka kembali bertemu. Secara kebetulan. Tiga tahun kemudian.
"Kau baik-baik saja?" tanya Kenanga mengalihkan fikirannya.
Alfin juga tersadar. "Oh, iya saya baik-baik saja." balasnya terbata-bata.
"Sepertinya tidak." ucap Kenanga menatap luka di sisi kepala Alfin. "Kita ke rumah sakit." putusnya.
"Hah? Tidak perlu. Tidak separah itu juga." tolak Alfin sedikit tersenyum.
Tapi Kenanga tak menjawabnya. Dia tetap memerhatikan kondisi luka Alfin. Setelah memutuskan sesuatu, dia menatap Alfin.
"Kita ke rumah sakit." tandasnya lagi.
Alfin hendak menggeleng, "Tidak--"
"Jangan membantah." potong Kenanga.
Alfin terdiam mendengar nada tegas dari Kenanga.
"Kau bisa jalan kan?" tanya Kenanga.
Alfin mengangguk. Dia lekas berdiri.
"Ada rumah sakit tak jauh darisini. Kubawa kau kesana saja."
"Sebenarnya obat merah juga cukup."
"Tidak ada obat. Makanya kubawa saja ke rumah sakit langsung."
"Saya ada. Rumah saya--"
"Kalau kau membantah sekali lagi, akan kuparahkan lukamu." potong Kenanga, kini dengan nada cukup mengancam.
"Eh?" Alfin tak percaya dengan apa yang dia dengar.
"Saya hanya ingin bertanggung jawab. Apa itu sulit untukmu?"
Alfin terdiam. Ingatan 3 tahun lalu tiba-tiba saja terlintas di fikirannya.
"Kau juga mengatakan tidak perlu bertanggung jawab." gumam Alfin.
"Apa kau bilang?" tanya Kenanga tidak terlalu mendengar apa yang dikatakan Alfin barusan.
Alfin menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis. "Ayo. Saya terima pertanggung jawabanmu."
***
Kenanga membawa Alfin ke RSAM yang dekat dengan markas. Di rumah sakit, seperti biasa sangat ramai. Mereka pun menuju resepsionis untuk mendaftar.
"Ada yang bisa dibantu?"
"Pengobatan luka untuk--" Kenanga menjeda ucapannya. Dia menoleh pada Alfin, "Siapa namamu?" tanyanya.
"Alfin Aden--" Tapi belum selesai Alfin menjawab, Kenanga kembali memotongnya.
"Alfin." tandasnya menatap perawat itu lagi . Alfin tersenyum tipis melihatnya.
"Silakan ke ugd saja. Kebetulan ugd tidak terlalu ramai."
Kenanga mengangguk. Setelah itu mereka menuju UGD seperti yang disarankan perawat itu. Setelah sampai, Alfin langsung duduk di atas brangkar dan tengah diobati oleh perawat.
"Lukanya tidak terlalu dalam. Hanya memar saja. Tidak perlu resep antibiotik. Cukup diolesi salep saja." ucap perawat itu.
"Selesai." perawat itu menaruh kembali peralatannya.
"Terima kasih, sus." ucap Alfin.
"Sama-sama. Sebenarnya mas tidak perlu datang karena lukanya tidak terlalu parah. Tapi sepertinya pacar mas sangat khawatir." ujar perawat itu sambil tersenyum.
Alfin seketika terdiam. Dia melirik Kenanga yang fokus dengan ponselnya. Setelah itu kembali menatap perawat tadi.
"Saya bukan pacarnya." ralatnya.
Perawat itu nampak terkejut. Raut wajahnya juga menyesal karena salah mengartikan.
Di sisi lain, Kenanga menyimpan ponselnya ke saku setelah itu menatap luka yang sudah di perban di dahi Alfin.
"Sudah selesai kan?" tanyanya.
"Sudah." jawab Alfin.
Kenanga mengangguk. Mereka pun mengucapkan terima kasih dan langsung keluar dari ruang UGD. Tapi Kenanga dan Alfin masih harus menebus salep untuk Alfin jadilah mereka menunggu di depan loker obat lebih dulu.
Mereka saling terdiam. Kala Alfin melirik kesampingnya, Kenanga fokus menatap ke depan, jelas bahwa perempuan itu tidak berniat membuka pembicaraan. Dan Alfin seketika menjadi lebih canggung. Apalagi di tempat seramai ini, Alfin berkali-kali lipat lebih canggung.
"Alfin Adendra." panggil apoteker.
Kenanga dan Alfin sama-sama berdiri. Mereka saling melirik satu sama lain.
"Biar saya saja." ucap Kenanga. Alfin pun mengangguk dan duduk kembali.
Kenanga berjalan menuju loker obat. Dia menerima salep itu beserta resepnya. Setelah itu kembali menghampiri Alfin.
"Pakailah setiap pagi dan malam." jelas Kenanga sambil menyerahkan kantung obat berisi salep pada Alfin.
"Terima kasih." ucap Alfin kaku.
"Tugas saya sudah berakhir. Kamu bisa pulang sendiri kan? Saya permisi." pamit Kenanga tiba-tiba.
"Eh tunggu." cegah Alfin membuat Kenanga kembali berbalik menatapnya.
Kenanga hanya menatapnya dengan datar. Alfin pun yang ditatap begitu hanya menggaruk tengkuknya.
"Terima kasih atas bantuan kamu. Dan tolong katakan pada temanmu, saya tidak apa-apa."
Kenanga mengangguk. Dia lalu pergi tanpa sepatah kata lagi. Tapi baru saja beberapa langkah, dia kembali berbalik membuat Alfin yang semula hendak pergi mengurungkan niatnya.
"Saya juga berterima kasih karena kamu menjawab saya bukan pacar kamu."
Alfin terkejut.
"Kamu mendengarnya?" tanya Alfin. Itu karena Alfin kira Kenanga tak mendengarnya karena saat itu Kenanga terlihat sangat fokus pada ponselnya. Apalagi saat itu ugd cukup ramai.
"Rentang frekuensi audio yang diterima telinga manusia adalah 20 Hz sampai 20.000 Hz. Dan jarak kita hanya lima meter. Meskipun dilakukan berbisik, saya masih tetap bisa mendengarnya." jawab Kenanga datar.
Alfin terdiam mendengar ucapan Kenanga. Setelah tak ada yang harus dikatakan lagi, Kenanga berbalik arah dan melangkah pergi.
"Tunggu--" Alfin hendak mencegah Kenanga pergi. Tapi perempuan itu tak menanggapinya dan benar-benar pergi.
Alfin terdiam. Dia terkejut menyadari bagaimana kepribadian perempuan yang pernah ditemuinya dalam kesalahan saat tiga tahun lalu itu.
***
Kenanga berjalan kaki menuju markas. Jaraknya hanya satu kilo dan dia jelas bisa mengaksesnya tak sampai lima menit. Cukup cepat dibanding rata-rata biasanya. Tapi itu juga tergantung dengan kecepatan tempuh dan kondisi jalan. Tapi bagi Kenanga, itu bukan masalah besar.
Dia langsung masuk menuju kantornya. Di depan pintu, ada Panji yang sedang berdiri gelisah. Wajah lelaki itu langsung cerah saat melihat Kenanga datang.
"Bagaimana letnan keadaannya?" tanyanya langsung.
"Bagaimana pelaku itu?" tanya balik Kenanga.
"Saya sudah membawanya ke kantor polisi. Sekarang pasti sedang di proses." jawab Panji.
Kenanga mengangguk. Dia hendak masuk tapi ditahan oleh Panji.
"Keadaan laki-laki itu bagaimana?" tanya Panji lagi dengan raut gelisah.
Kenanga terdiam menatap juniornya dengan tatapan datar. Tangannya lalu terangkat menggetok kepala Panji.
"Aw, letnan!" serunya meringis kesakitan.
Kenanga melipat kedua tangannya di depan dada. Wajahnya menunjukkan keseriusan.
"Apa lukanya cukup parah?" tanya Panji khawatir.
"Kau.." Kenanga menunjuk Panji membuat Panji menunduk.
"Mulai besok, latihan menembakmu kukalikan dua kali lipat. Kalau sampai kau masih tidak bisa membedakan mana yang asli dan sekedar mirip, awas saja!" tekan Kenanga.
"Saya kira dia pencurinya. Habisnya jaket yang mereka kenakan sama." sanggah Panji
Pletak
Kini Kenanga menjitak kepala Panji.
"Matamu sebenarnya ada dimana? Ketinggalan? Atau jadi buta karena dicolok mantan kekasihmu?! Jelas-jelas yang asli tidak memakai topi. Warna jaketnya juga berbeda. Yang asli sedikit lebih terang dan bahannya transparan!" omel Kenanga.
Panji menunduk, tak berani menyangkal.
Kenanga menghembuskan nafasnya. "Ini hanyalah kasus kecil. Tapi bagaimana kalau saat kita melakukan misi dan kamu salah mengenali target? Bisa-bisa pelurumu mengenai orang tak bersalah!" amuk Kenanga.
"Kau paham?!"
Panji mengangguk sambil tetap menunduk.
"Paham, letnan." lirihnya.
"Angkat kepalamu. Tatap kedepan. Kau tidak pernah diajari sopan santun saat berbicara?"
Panji seketika menegapkan kepalanya. Dia nenatap lurus kedepan sesuai perintah Kenanga.
"Jawab sekali lagi. Kau paham?!"
"Siap paham!" balas Panji dengan suara lebih lantang.
Kenanga melunakkan pandangannya. Tapi dia tetap memasang wajah datar. Tapi jelas tidak seganas dan seseram tadi saat dia marah-marah.
"Kondisinya baik-baik saja. Dia hanya mengalami memar dan tadi sempat berdarah. Tapi sekarang sudah tidak ada masalah. Dia hanya perlu mengolesi salep pada lukanya." jelas Kenanga.
Panji mendesah lega mendengarnya.
"Syukurlah. Terima kasih letnan." ucapnya senang.
"Kau hampir terkena masalah. Jangan diulangi lagi." tekan Kenanga.
Panji mengangguk mantap, "Siap. Saya juga minta maaf karena telah menyebabkan masalah ini." ucapnya menyesal.
"Sudah saya maafkan."
Panji tersenyum sumringah. "Terima kasih letnan!" serunya senang.
Kenanga mendengus meski tak bisa menahan kedutan di bibirnya. "Dasar bocah." gumamnya. Setelah itu dia menepuk bahu Panji. "Ayo masuk." ajaknya.
Panji mengangguk. Dia mengikuti langkah seniornya masuk ke dalam ruangan.
***
Alfin masuk ke ruangan Satya. Dia duduk di depan Satya. Sedangkan Satya yang sempat bingung dengan kedatangan Alfin kini terkejut kala di dahi Alfin ada perban.
"Baru saja tinggal selama lima jam, dahimu sudah luka?!" seru Satya.
Alfin menyentuh daerah lukanya, "Ah ini. Hanya kesalahpahaman kecil." jawabnya.
"Apa maksudmu?" tanya Satya bingung.
"Aku sedang berolahraga dan ada seorang jambret yang mencuri tas, jadi aku mengejarnya. Tapi saat dikejar, kepalaku tiba-tiba terhantam sepatu yang tajam dan keras." jelas Alfin.
Satya diam sebentar setelah itu tertawa keras. Alfin yang melihatnya jadi dongkol.
"Apa itu lucu? Melihat temanmu yang kesakitan lucu?" sindir Alfin.
"Bukan begitu." Satya berusaha menahan tawanya. "Kalau kau terhantam sepatu itu pasti karena kau dicurigai sebagai pelakunya. Maksudku, orang itu tidak tahu atau pura-pura buta? Bagaimana bisa orang setampanmu menjadi copet?" tawa Satya.
Alfin mendatarkan wajahnya. "Itu pasti karena auraku terlalu bersinar!" sanggah Alfin.
Satya masih terus tertawa membuat Alfin kelamaan tak tahan.
Pletak
"Aw!" seru Satya kesakitan kala Alfin melemparkan pulpen ke dahinya dengan keras.
"Tertawa sekali lagi, akan kubuat kamu memiliki luka sepertiku." ancam Alfin.
Satya seketika mengatupkan mulutnya.
"Jadi siapa orang itu? Dan kau diobati olehnya? Karena merasa bersalah?" tanya Satya kini serius.
"Dia bukan orangnya. Tapi temannya yang melakukannya. Dan dia membawaku kesini."
"Wah, hanya luka sekecil itu dan dia membawamu ke rumah sakit? Dia pasti kaya." tandas Satya takjub.
"Bukan begitu." tukas Alfin malas. "Dia tidak bawa obat dan katanya rumah sakit ini dekat jadi dia membawaku kesini. Aku mana tahu dia kaya atau tidak."
"Lalu perempuan atau laki-laki?" tanya Satya penasaran.
"Yang melukaiku laki-laki tapi yang membawaku kesini perempuan."
"Serius? Cantik? Muda? Siapa namanya?" tanya Satya beruntun. Matanya berbinar pertanda dia tertarik dengan pembicaraan ini.
"Cantik dan masih muda. Tapi kurasa dia lebih tua dariku." ujar Alfin sedikit tak yakin.
"Ceritakan lebih detail." suruh Satya antusias.
"Dia tinggi, ramping, rambutnya pendek. Kulitnya agak kecoklatan. Wajahnya natural tanpa riasan aneh-aneh. Dan ada tahi lalat di pipi sebelah kirinya." papar Alfin.
Satya terdiam. Rasanya dia seperti pernah mendengar perempuan dengan ciri-ciri seperti itu. Hingga tak lama, dia menjentikkan jarinya.
"Aku tahu siapa!" serunya.
"Siapa?" tanya Alfin.
"Letnan Kenanga Anggia Selvi. Salah satu prajurit TNI paling cantik yang pernah ada." tandas Satya yakin.
"Prajurit?"
"Iya. Dia prajurit TNI. Masuk ke dalam tim kopasus. Kuberi tahu padamu, dia sangat cerdas dan selalu memenangkan operasi!" jelas Satya antusias.
"Ceritakan lebih banyak lagi." pinta Alfin mulai tertarik.
"Lihat? Kau sudah tertarik padahal aku baru berbicara beberapa kalimat saja." sahut Satya. "Namanya Kenanga. Dia salah satu prajurit yang paling disegani. Di luar visualnya yang mengagumkan, sebenarnya dia orang sangat keras, blak-blakan dan suka berkata tajam. Dia juga jarang tersenyum. Tapi meski begitu, dia sangat terkenal. Itu karena tak lain dia berhasil naik pangkat hanya dalam waktu setahun! Letnan Kenanga termasuk orang yang terlambat mendaftar militer. Dia masuk ke militer tepat di usianya yang ke 22 tahun. Katanya sih karena omnya mengirimnya belajar lebih dulu ke luar negeri. Oh ya, letnan Kenanga juga bagian dari keluarga militer terpandang. Omnya saat ini menjabat sebagai Mayor Jenderal yang kini memimpin Kopasus. Kurang hebat apa lagi?!" seru Satya berapi-api.
"Tapi dia tidak tersentuh. Meski wajahnya sangat cantik dan menjadi tipe idaman kaum adam, letnan Kenanga sangat dingin apalagi pada lelaki. Bahkan sekalipun itu rekan kerjanya, yang sudah bersamanya melewati suka duka, dia tetap menjaga batasan."
"Kenapa kau sepertinya sangat kecewa?"goda Alfin.
"Tentu saja kecewa! Dia satu-satunya jenis wanita yang tidak bisa kudekati apalagi kumiliki. Dia hanya bisa dipandang saja." ujarnya dengan nada lirih di kalimat terakhirnya.
Alfin mengangguk-anggukan kepalanya, "Memang. Aku juga langsung tahu bahwa dia cukup dingin begitu melihatnya. Dia wanita tangguh." tandas Alfin.
"Aku hanya berbeda beberapa bulan dengannya. Tapi aku tidak pernah bisa dekat dengannya." desah Satya.
"Itu bagus dong. Jadinya ada wanita yang tidak akan tertipu rayuanmu." timpal Alfin setengah mengejek.
"Eh, karena kamu sudah kenal dengannya. Bagaimana kalau kau coba dekati saja? Lumayan kan, syukur-syukur kalau jodoh, kamu bisa jadi menantu jenderal kopasus." saran Satya.
Alfin menggeplak kepala Satya, "Perasaan wanita bukan untuk dipermainkan. Lagipula bukan berarti aku pernah melihatnya, aku bisa dekat dengannya. Apalagi kau bilang, dia dingin dan tak tersentuh. Bagaimana bisa aku mendekatinya." tukas Alfin.
"Siapa tahu kan? Mungkin saja kalian jodoh." tandas Satya.
"Kau bicara itu asal-asalan kan?"tebak Alfin.
Satya mengangguk, "Aku memang asal bicara." akunya santai.
Dan Alfin hanya bisa berdecih tanpa tahu bahwa takdir akan mempermainkannya akibat ucapannya yang berbahaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Meila
.lanjut Kaka aq suka karyamu ...
2021-07-19
0
꧁༺Clemira_Ayumna༻꧂
lg thor... bwt kenanga bucin m alfin
2021-07-19
0
zae
next kak kyge
2021-07-19
0