3 tahun berlalu. Tidak ada hal besar yang terjadi. Alfin telah menghabiskan berbulan-bulan di Spanyol hanya untuk menyelidiki kasus kematian Syafira. Tapi tak ada hasil apapun. Alfin letih tapi dia tak akan menyerah.
Tapi untuk sekarang, dia akan biarkan waktu berlalu lebih dulu.
Siang ini, Alfin mendatangi Satya. Lelaki yang juga berprofesi dokter ini adalah dokter militer di RSAM. Lelaki itu memang keturunan keluarga militer. Ayah dan kakeknya adalah prajurit Angkatan Laut. Dan darah militer sepertinya mengalir pada nadi sahabatnya. Tapi alih-alih langsung mendaftar menjadi TNI, Satya malah bersekolah kedokteran lebih dulu baru setelah itu mendaftar militer untuk menjadi perwira karir.
Alfin berjalan menuju ruangan Satya. Dia mengetuk pintu tapi tak ada sahutan dari Satya. Alfin pun membuka pintu dan tak ada Satya disana. Mungkin lelaki itu sedang melakukan pemeriksaan. Jadilah Alfin menunggu di ruangan Satya saja sambil bermain ponsel.
Tak lama, Satya datang. Alfin langsung memasukkan ponselnya dan menatap Satya yang tampak kelelahan.
"Kau terlihat jelek." celetuk Alfin tanpa dosa.
Satya mendelik. Dia memang tampak berantakan. Kantung mata hitam yang menggelayut hampir jatuh. Wajah kusam dan rambut berminyak. Dandanannya sudah terlihat seperti gelandangan saja.
"Ada apa kesini?" tanya Satya sambil duduk di kursinya.
"Iseng saja." jawab Alfin sambil melihat ruangan Satya kesekeliling.
Satya menegakkan tubuhnya, "Iseng kau bilang?" serunya tak percaya.
Alfin mengangguk santai. "Omong-omong ruanganmu bagus."
Satya berdecih, "Kau memang terlihat santai. Membuat iri saja."
"Jika aku jadi kamu, aku pasti akan betah disini." balas Alfin. "Atau, aku pindah saja kesini?" tanyanya menatap Satya.
"Tidak perlu. Gantikan saja aku selamanya. Aku lelah menjadi dokter militer." desah Satya.
"Kenapa? Bukankah ini pilihan karir mu?"
"Tapi aku tidak menyangka akan selelah ini. Seharusnya aku cukup menjadi dokter saja jangan mendaftar militer juga. Tubuhku seperti kehilangan daging perharinya." keluhnya.
"Jangan katakan hal seperti itu. Kalau didengar juniormu bagaimana? Mereka akan kehilangan minat nanti dan dokter di militer bisa berkurang."
"Tidak separah itu juga." sangkal Satya.
"Aku sepertinya tidak bisa makan siang denganmu. Kita makan malam saja." lanjutnya.
Alfin mengangguk, "Yasudah, lagipula aku sangat senggang hari ini."
"Aku harus mengecek pasienku lagi. Kamu tunggulah di rumahku saja. Tidak akan lama. Atau sembari menunggu, kamu bisa lari sore."
Alfin mengecek arlojinya, "Sekarang pukul sebelas."
"Ah benar juga." Satya baru sadar. "Kalau begitu kau ngapain aja terserah. Tahu sandinya kan?"
"Tidak perlu. Aku akan pulang ke rumah baru saja."
"Rumah baru?" tanya Satya mengernyitkan dahinya.
"Aku pindah ke apartement tepat di sampingmu." tandas Alfin.
"Apa?" seru Satya terkejut. "Maksudmu, unit 46?" Alfin menganggukkan kepalanya.
"Kenapa?" tanya Satya.
"Hanya ingin pindah saja. Lingkungan apartementmu bagus. Keamanannya juga sangat ketat. Terlebih lagi aku bisa dekat dengan kamu." jelas Alfin.
"Kau melakukan ini untuk dekat denganku?" Alfin mengangguk. "Kau suka padaku?!" seru Satya merinding.
Alfin berdecih, "Kenapa aku harus suka lelaki bangkotan sepertimu?" sahutnya pedas.
"Sialan!" umpat Satya kesal. Tapi diam-diam dia juga lega.
"Kau menyewanya?" tanya Satya penasaran.
"Sekarang zaman apa masih menyewa? Tentu saja aku membelinya." ujar Alfin sombong.
"Kau membelinya? Kau baru dapat lotre? Uang darimana?" seru Satya terkejut tak percaya. Pasalnya satu unit apartement di gedungnya itu sangat mahal. Bahkan untuk sewa perbulannya saja sampai mencapai empat digit nol!
"Aku baru saja memelihara tuyul, puas?"
"Gila, Alfin! Aku tahu keluargamu memang konglomerat. Ayahmu direktur maskapai, kakakmu seorang pilot, kakak iparmu bahkan seorang presdir dan pewaris tahta tapi kalau kau membeli apartement dengan harga selangit hanya karena iseng, kurasa itu menyentil kaum miskin sepertiku."
"Keluargamu juga kaya." balas Alfin acuh.
"Jadi, bagaimana dengan apartement lamamu?"
"Kosong. Rencananya aku akan menyewakannya."
"Tidak akan menjualnya saja?"
Alfin menggeleng, "Aku masih sayang ruangan rahasiaku."
Satya berdecih, "Ruangan yang penuh makhluk aneh itu?"
"Itu bukan makhluk aneh. Mereka adalah bunga-bunga dan hewan yang sedang kuteliti." tukas Alfin kesal.
"Untung kau mendapat izin penelitiannya. Coba kalau tidak? Kau akan langsung dijebloskan ke penjara."
"Tapi untungnya tidak kan? Lagipula kalau aku dipenjara, Indonesia akan kehilangan salah satu orang terjenius di negaranya." sahut Alfin angkuh.
Lagi-lagi Satya hanya bisa berdecih. "Kau--"
Tok Tok
Ucapan Satya terjeda kala perawat Satya datang.
"Maaf, dok. Sudah waktunya pengecekan pasien." beritahunya.
"Saya kesana sekarang." ucap Satya. Perawat itu mengangguk dan kemudian pergi.
"Tunggu aku makan malam saja. Sambil menunggu berkelilinglah melihat lingkungan tempat tinggal barumu. Jangan sampai kamu nanti tersesat di lingkunganmu sendiri."
Alfin menganggukkan kepalanya. "Oke Sat."
"Jangan penggal namaku!" seru Satya kesal. Karena penggalan nama Sat itu tidak enak didengar.
"Apa salahnya? Lagipula namamu kan memang Satya. Atau haruskah ku tambahkan Bang? Kamu tiga tahun diatasku." ujar Alfin jahil.
"Coba saja kalau berani." tekan Satya.
"Tentu saja berani. Bang Sat." ucap Alfin menahan tawa.
"Alfin, kau!"
"Aku pergi, Bang Sat. Ingat pulang ke rumah ya!" pamit Alfin cepat-cepat pergi sebelum Satya ngamuk.
"Dasar kampret." umpat Satya.
***
Di sisi lain, Kenanga sedang fokus menatap laptopnya. Dia sedang melihat beberapa berita yang sedang terjadi di luar negeri.
"Letnan, ayo lari sore!" ajak Panji baru datang.
"Pacarmu kemana? Putus?" tanya balik Kenanga tanpa perlu menoleh.
Panji duduk di samping Kenanga. Dia meringis kecil.
"Hem begitulah."
"Kenapa lagi? Bosan?"
"Bukan. Hanya sudah tidak cocok lagi."
"Kau juga mengatakan alasan yang sama sebulan yang lalu saat putus dari pacarmu sebelumnya." timpal Kenanga menatap Panji yang menyengir malu.
"Tapi memang seperti itu kenyataannya." bela Panji.
"Usiamu sudah matang untuk menikah. Berhentilah bermain-main dan jalani hubungan serius." suruh Kenanga.
"Letnan yang harusnya menikah lebih dulu. Usia letnan juga sudah matang." tukas Panji.
Kenanga menatap datar juniornya itu. "Yang punya pasangan kan kamu. Jangan merembet ke orang lain." balas Kenanga kembali memusatkan perhatiannya pada laptop.
"Saya belum menemukan yang pas. Lagipula usia saya baru menyentuh angka dua puluh tujuh. Tidak akan jadi masalah." ucap Panji santai.
Kenanga mendengus, "Awas saja kalau kau datang merengek karena jadi perjaka tua."
Panji mencebik sebal, "Saya tidak akan setua itu!"
Kenanga tak menjawabnya. Dia fokus pada pekerjaannya. Dan itu membuat Panji ikut mengalihkan pandangannya pada laptop Kenanga.
"Letnan sedang apa?" tanyanya.
"Melihat berita." balas Kenanga singkat.
"Berita?"
Kenanga mengangguk, "Penggunaan Strychnine untuk mengakhiri hidup sedang tren di Eropa khususnya di Spanyol dan Italia yang mencetak rekor kasus terbanyak dalam tiga tahun ini."
"Apa itu Strychnine?" tanya Panji tidak mengerti.
"Racun yang sangat mematikan. Ini adalah senjata pembunuhan yang biasanya ada di novel Agatha Cristie atau novel detektif lainnya. Racun itu populer di awal abad 20. Tapi tak kusangka dia kembali populer dan ada di dunia nyata." ucap Kenanga dengan satu sudut bibirnya tertarik.
"Tapi kenapa Anda tertawa?"
Kenanga kembali mendatarkan wajahnya, "Aku tidak tertawa."
"Lalu seperti apa bentuk racun itu?" tanya Panji kembali pada topik semula.
"Racun ini sebagian besar berasal dari biji pohon Strychnos nux-vomica di India dan Asia Tenggara. Strychnine adalah zat alkaloid yang digunakan sebagai pestisida, terutama untuk membasmi tikus dan vertebrata lainnya. Kematian yang disebabkan oleh racun ini sangat menyakitkan." papar Kenanga. Panji meringis mendengarnya.
Lalu Kenanga melanjutkan penjelasannya, "Strychnine menyerang saraf tulang belakang. Dan orang yang terkena racun ini akan mengalami kejang karena otot berkontraksi melawan kehendaknya. Kasus racun ini contohnya terjadi saat seorang komandan Nazi pada saat Perang Dunia II bernama Oskar Dirlewanger suka menyuntikkan tahanan dengan racun ini dan menontonnya sebagai hiburan."
Panji terdiam syok.
"Ini adalah racun yang populer seabad lalu. Tapi kembali populer di Eropa belakangan ini."
"Lalu kapan ini menjadi tren kembali?" tanya Panji penasaran.
"Kasus pertama dimulai tiga tahun lalu." tandas Kenanga. "Saat itu mahasiswi magister asal Indonesia menenggak racun ini di flatnya. Jenazahnya ditemukan keesokan harinya."
"Dia bunuh diri?" seru Panji syok.
Kenanga mengangguk, "Begitulah. Tapi aku tidak yakin kenapa mereka memilih racun ini dibanding yang lainnya. Meski kematiannya sangat cepat tapi ini juga sangat menyakitkan." ucap Kenanga dengan dahi mengerut.
"Mungkin otak mereka sudah tidak waras. Bisa saja karena tuntutan hidup yang berat." komentar Panji.
Kenanga hanya terdiam tak menanggapi.
"Ayo, Letnan. Daripada memikirkan berita mengerikan seperti ini lebih baik olahraga sore. Ayo." ajak Panji.
"Malas." jawab Kenanga.
"Sejak kapan Letnan Kenanga Anggia Selvi malas berolahraga?"
"Sejak tadi."
"Ayolah, letnan. Temani junior kesayanganmu." rengek Panji.
Kenanga berdecak, "Ajak yang lain. Kenapa terus menempeliku." gerutunya.
Panji mendesah, "Yang lainnya sedang ada urusan."
"Lalu aku terlihat tidak ada urusan begitu?" sungut Kenanga.
"Letnan, ayolah. Sekali saja." bujuk Panji.
Kenanga mendengus, "Kau mengajakku olahraga sebenarnya untuk mencari pacar baru, benarkan?" tuduh Kenanga.
Dan Panji hanya menyengir lebar. Niatnya ketahuan.
***
Tapi Kenanga nyatanya tidak sekeras itu. Pada akhirnya di tetap menemani Panji. Lagipula dia juga tidak ada kegiatan lagi sore ini.
Tapi ada satu yang membuat Kenanga kesal. Dia berhenti berjalan dan menatap Panji.
"Ada apa?" tanya Panji.
"Maksudmu apa memakai sepatu bergerigi itu?" tanya Kenanga sambil menatap sepatu yang dikenakan Panji.
"Bagaimana Letnan? Keren kan?" tanya Panji tidak tahu malu.
"Kau sebenarnya memang tidak niat olahraga." cetus Kenanga.
"Saya niat. Kalau soal sepatu, saya lupa kalau sepatu yang biasanya sedang dicuci." kata Panji sambil menyengir.
"Bilang saja agar semua orang tahu kamu adalah tentara." timpal Kenanga datar.
"Eh tentu saja tidak! Meski saya bangga dengan profesi saya tapi saya tidak boleh pamer apalagi menyombongkannya." sanggah Panji dengan raut meyakinkan.
Kenanga menggelengkan kepalanya, "Lempar saja sepatumu bila ada pencuri. Dijamin kepalanya akan langsung bocor." ujar Kenanga malas.
"Itu bisa jadi. Pada kenyataannya sepatu ini me--"
"TOLONG JAMBRET!"
Perkataan Panji terpotong oleh suara teriakan dari arah barat taman.
"Letnan, ucapanmu terbukti. Nanti saya minta nasihat untuk percintaan saya ya " komentar Panji.
"Diam. Cepat kejar dia!" seru Kenanga.
Kenanga langsung berlari ke arah sumber suara diikuti oleh Panji. Di kejauhan mereka melihat seorang ibu-ibu yang panik karena kehilangan tasnya. Kenanga meneliti sekeliling mencari orang yang mencurigakan itu. Dan dia melihat seseorang berjaket oranye berlari dengan satu tangan di dalam jaketnya. Bisa dipastikan dialah pelakunya.
"Panji, kejar ke arah jam 11. Langsung ringkus saja." titah Kenanga.
"Siap." jawab Panji.
Kenanga dan Panji langsung berlari mengejar pelaku itu.
***
Menikmati sore hari di taman yang berada di pinggiran kota pusat Jakarta memang sangat menenangkan. Seperti Alfin, lelaki itu memutuskan berjalan-jalan sore.
Pemuda berjaket oranye yang senada dengan topinya itu asik berjalan kecil beriringan dengan orang-orang yang sedang berolahraga sore juga. Olahraga sore memang masih jadi tren di kalangan penyuka olahraga. Suhu matahari kala senja itu menghangatkan jiwa mereka.
"TOLONG ADA JAMBRET!"
Alfin berhenti kala mendengar suara teriakan seseorang. Di kejauhan dia lalu menangkap siluet seseorang yang sedang berlari dengan tingkah mencurigakan. Alfin menyipitkan matanya kala dia melihat ada sebuah tas yang disembunyikan didalam jaketnya lelaki itu.
"Woy, berhenti!" seru Alfin.
Lelaki itu terkejut dan langsung panik. Alfin mengejar pelaku itu.
Di sisi lain, Kenanga dan Panji masih berlari mengejar lelaki itu. Kenanga tepat di belakangnya hanya berbeda jalur saja. Sedangkan Panji tertinggal di belakang. Kenanga berdecak kesal. Dia akan membuat Panji berolahraga intens untuk melatih paru-parunya.
Hingga seseorang muncul dari seberang. Alfin datang dengan pakaiannya yang sama berjaket oranye tapi bertopi. Dan di saat bersamaan. Panji muncul dari jalur yang diambil Kenanga tadi. Dia terkejut kala orang yang dianggap pelaku itu ada di sampingnya hanya berbeda jalur saja. Panji langsung melepas sepatunya.
Bug
"Aw!" jerit Alfin kesakitan kala kepalanya dilempar oleh sesuatu yang amat keras dan tajam.
"Rasakan." desis Panji bersorak kemenangan.
Kenanga yang melihat kejadian itu hanya berdecak kesal.
"Dasar bodoh." umpatnya.
Pencuri itu menoleh dengan senang kala dia berhasil lolos dari kejaran tanpa tahu ada orang lain yang masih mengejarnya. Kenanga terus berlari hingga dia menemukan sebuah tempat sampah. Kenanga langsung menendang tempat sampah itu ke arah si pelaku. Lelaki yang tak menyadari ada bahaya di depan langsung terguling akibat tempat sampah yang ditendang Kenanga.
Lelaki itu meringis kala tangannya bergesekan dengan tanah hijau penuh kerikil. Dia merutuk karena tadi asik menoleh ke belakang tanpa tahu ada tempat sampah yang menjegal kakinya.
Kemudian matanya terkejut kala melihat sepasang sepatu ada di depannya. Dia mendongak, matanya bertubrukan dengan Kenanga.
Kenanga langsung mengambil tas yang dicuri tadi. Dia juga meringkus si pelaku.
"Panji!" panggilnya pada juniornya yang sedang bersama Alfin, korban tak bersalah sepatunya.
Alfin menoleh ke arah panggilan.
"Saya kesana dulu ya." ucapnya pada Alfin.
Panji pun menghampiri Kenanga.
"Bawa dia ke kantor polisi." titahnya.
"Lalu dengan lelaki itu bagaimana?" lirih Panji.
Kenanga menolehkan pandangannya pada seorang lelaki yang sedang menunduk.
"Itu urusan saya. Kau bawa saja dia ke kantor polisi."
Panji nampak ragu, "Tapi--"
"Ini perintah!" tegas Kenanga.
Panji pada akhirnya mengangguk, "Baik letnan. Tapi tolong obati dia ya. Katakan juga saya menyesal." ucapnya dengan raut penuh rasa bersalah.
"Kita lihat saja lukanya. Kalau kepalanya sampai bocor, awas saja."
Panji menunduk. "Seharusnya tidak akan separah itu." gumamnya.
Panji kembali mendongak, dia terdiam syok kala menyadari tatapan dingin menusuk Kenanga.
"Saya akan bertanggung jawab." tegas Panji mantap.
Kenanga mendengus, "Bawa dia dan kembalikan tasnya pada ibu-ibu itu."
"Baik letnan." Panji pun membawa lelaki itu pergi.
Sepeninggal Panji, Kenanga menghampiri Alfin yang duduk dengan tangan menyentuh kepalanya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Kenanga begitu sudah di dekatnya.
"Saya tidak--" Alfin menghentikan ucapannya kala matanya menangkap rupa tak asing yang berdiri dihadapannya.
Kenanga juga sama terkejutnya. Dia tidak menyangka bahwa lelaki yang dilempari sepatu itu adalah orang yang sama dari tiga tahun lalu.
"Kau?"
...----...
NB : Bagi yang bingung, waktunya memang 3 tahun kemudian setelah tahun 2020 (Mengikuti awal alur waktu di cerita Alan) Jadi bisa dibilang mulai bab ini, tahunnya adalah 2023.
Tapi ini hanya fiksi ya. Ada beberapa kejadian yang bisa saja berdasarkan kejadian masa sekarang😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Suci Waty
serruu...serruu..seruu...
bagus ceritanya,,,thor...
tetap semangat ya,thor.,
2021-07-18
1
zae
next kak
2021-07-17
0