"Sabar, Tan ! Sabar !" ujar Alex kembali menepuk pelan bahu Gintani.
Gintani hanya diam tanpa ekspresi. Tiba-tiba, pikirannya teringat kembali akan video yang sedang viral tentang dirinya.
"Bang, apakah ada cara supaya kita bisa menghapus video tersebut ?" tanya Gintani.
Alex hanya bisa menghela napasnya.
"Akan sangat sulit bagi kita untuk melakukan semua itu, Tan, kecuali...." Alex menggantungkan kalimatnya.
"Kecuali apa, bang ?" tanya Gintani menatap penuh harap kepada atasannya.
"Kecuali jika kita memiliki banyak uang untuk bisa menyewa seorang hacker agar menutup berita-berita itu." jawab Alex.
Gintani tersenyum miris, Jika pun aku punya uang, lebih baik aku gunakan untuk menyelamatkan nyawa kakekku daripada harga diriku..., gumam Gintani dalam hati.
"Sudahlah, beristirahatlah ! Kamu pasti lelah setelah membereskan kamar ini !" ujar Alex.
Gintani pun tersenyum. Sepeninggal Alex, Gintani merebahkannya dirinya di atas kasur yang hanya memuat cukup satu orang saja. Dia pun mulai memejamkan matanya. Gintani mencoba berpikir kembali bagaimana caranya mendapatkan uang untuk biaya pengobatan sang kakek.
Alex kembali ke ruang bernomor 9. Ruangan yang sebenarnya milik Argha. Tempat mereka berkumpul untuk bersenda gurau, bersenang-senang.
Alek merebahkan tubuhnya di atas sofa. Kedua tangannya dia jadikan bantal untuk menyangga kepalanya. Alex pun memejamkan matanya, gadis yang malang...., hanya itu yang mampu dia ucapkan dalam hatinya.
Sedetik kemudian lagu Ibu milik Iwan Fals yang dijadikannya sebagai nada dering ponselnya, mulai mengalun syahdu. Alex segera merogoh kantong celananya.
"Argha..!" gumam Alex pelan. Alex pun segera mengusap layar ponselnya dan mendekatkannya ke daun telinganya.
"Hallo...!"
"Kemana saja lo, brengsek ?" maki Argha di ujung telpon.
Seketika Alex menjauhkan ponselnya karena mendengar suara Argha yang memekakkan gendang telinganya. Terdengar suara Argha yang masih memakinya. Alex pun hanya bisa menghela napasnya.
Kembali Alex mendekatkan telponnya di telinganya. "Ada apa Ar ?" tanya Alex.
"Berikan alamat gadis itu ?" pinta Argha
"Untuk apa ?" tanya Alex.
"Bukan urusanmu !" bentak Argha.
"Jelas ini urusanku, Ar ! Dia karyawanku !" jawab Alex, merasa kesal.
"Aku ingin memberikan pelajaran padanya karena sudah berani mengganggu keluargaku, apa kau puas !" jawab Argha. Terdengar dari nada suaranya jika Argha menyimpan kemarahan
"Sudahlah, Ar ! Jangan ganggu dia lagi ! Selama ini bebannya sudah sangat banyak. Dan asal kau tahu, ibumu sudah salah sasaran ! Bukan Gintani yang selama ini menjadi simpanan papahmu !" ucap Alex tanpa sadar.
"Oh, jadi kau tahu jika selama ini papah berselingkuh ? Brengsek lo, Al ! Kenapa lo sembunyikan itu dari gue ! Sahabat macam apa yang tega mendukung perselingkuhan bokap sahabatnya sendiri !" Argha semakin berteriak di ujung telpon.
"Dengar, Ar ! Gue bukannya ngedukung bokap lo, tapi gue juga nggak punya hak untuk ikut campur masalah bokap lo ! Harusnya yang lo tegur tuh nyokap lo ! Bokap lo nggak bakalan mungkin mencari kenyamanan di luar jika selama ini nyokap lo bisa memberikannya !" dengus Alex kesal.
"Udah deh, gue nggak peduli sama urusan mereka ! Satu-satunya yang gue pedulikan, secepatnya lo bawa gadis itu ke hadapan gue. Dengar Al, gue beri waktu lo seminggu. Jika dalam seminggu lo nggak bisa menyerahkan gadis itu ke gue, jangan salahkan gue jika gue mencabut semua biaya perawatan nyokap lo !"
Tut ...tut...tut...
Telpon terputus sepihak, membuat Alex semakin berdecak kesal.
☘️☘️☘️
Gintani terbangun saat alarm di ponselnya berdering. Dia pun segera pergi ke toilet untuk membersihkan dirinya. Sebentar lagi, pub ini akan segera di buka. Gintani bergegas mandi karena tidak ingin para pelanggan memergokinya jika Gintani tinggal di pub ini.
Beberapa menit kemudian, Gintani keluar dari kamar mandi. Dia selesai mandi bertepatan dengan waktu maghrib. Setelah berpakaian rapi, Gintani pun mulai menjalankan kewajibannya.
Pukul 18.30, para karyawan mulai berdatangan. Gintani tengah membersihkan meja bar saat Sindi dan Anto datang berbarengan.
"Ah, Gintani ! Syukurlah !" pekik Sindi begitu melihat Gintani.
"Are you okay ?" tanya Anto.
Sindi dan Anto mendekati Gintani. Meskipun mereka baru mengenal Gintani, namun sesama pekerja bang Alex, mereka pun sudah seperti 5 bagian jari. Jika salah satu jari terluka, maka keempat jari lainnya seolah tak berfungsi karena merasakan luka itu.
Gintani menoleh ke arah kedua seniornya. "Aku nggak apa-apa." jawab Gintani mencoba bersikap tegar.
Gintani sudah bisa menebak jika pertanyaan mereka pasti berkaitan dengan video yang tengah viral tadi. Tak berapa lama, Alya muncul dan segera memeluk sahabatnya.
"Tan...! Sorry...! I'm so sorry... hu...hu...hu...!" tangis Alya pecah dalam pelukan sahabatnya.
Meski terasa sesak, namun Gintani mencoba menyadari jika kejadian tadi siang bukan sepenuhnya kesalahan Alya. Gintani pun mengusap-usap punggung Alya dan mencoba menenangkan Alya yang sedang menangis.
"Sudahlah Al, tidak usah disesali ! Lagipula, ini bukan kesalahan kamu. Mungkin tadi itu, bukan hari keberuntunganku. Sssst..., jangan nangis lagi ! Nanti cantikmu, hilang !" ujar Gintani.
"Tapi, Tan ? Kalau bukan gara-gara gue, kamu nggak bakalan kena labrak wanita itu. Gue emang bukan sahabat yang baik, Tan. Dan sekarang, gue hanya bisa diam. Gue nggak tahu bagaimana caranya membersihkan nama baik kamu, Tan. Gue sendiri takut untuk mengakui semua perbuatan gue, hiks... hiks...!" kembali Alya terisak dalam pelukan Gintani.
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan ! Insyaallah, aku kuat !" ujar Gintani.
Sindi yang mendengar ketabahan Gintani dalam menghadapi cobaan, langsung menghambur memeluk kedua sahabat yang tengah berpelukan itu. Pada akhirnya, ketiga wanita itu saling berpelukan untuk bersama-sama saling menguatkan. Tanpa disadari, ada bulir bening menetes di kedua mata bos nya yang merasa terharu melihat pemandangan yang disuguhkan para karyawannya.
Malam semakin larut. Tidak seperti biasanya, para pengunjung pub terlihat ramai mengantri di depan pintu masuk. Anto dan beberapa karyawan lain yang sedang bertugas di luar merasa heran dengan membludaknya pengunjung yang rata-rata pria paruh baya.
Melihat antrian yang sangat panjang, Alex pun berjalan keluar untuk menanyakannya kepada sekuritinya. Tiba di luar, tiba-tiba saja seseorang berteriak padanya.
"Hei bung ! Kapan giliranku untuk mendapatkan bunga di tempatmu ini ! Ayolah, jangan pilih kasih ! Aku pun tak kalah kayanya dengan si Amijaya itu !" teriak pria botak bertubuh gempal itu.
"Shitt ! Jadi mereka ke sini hanya untuk mendapatkan Gintani " umpat Alex, kesal. "Gerry ! Tutup pintunya ! Bubarkan mereka dan bilang pada mereka jika malam ini bar tidak buka !" teriak Alex yang langsung membalikkan badannya hendak kembali ke ruangannya.
DEG....
Jantung Alex seakan berhenti berdetak mendapati Gintani tengah berdiri di hadapannya. Ish, apa dia mendengar perkataan pria itu ? gumam Alex khawatir.
Gintani mendekati Alex.
"Kenapa harus di tutup, bang ! Jangan khawatir, Gintan baik-baik saja !" ujar Gintani.
"Tidak, Tan ! Mereka datang hanya untuk melecehkanmu, abang tidak ingin kamu kembali terluka." jawab Alex.
"Tapi bang ! Bagaimana dengan para karyawan yang sudah datang ? Mereka sangat mengharapkan uang untuk malam ini, karena itu mereka bekerja. Abang tidak perlu memikirkan perasaan Gintan. Gintan pastikan, Gintan bisa menjaga diri, bang ! Bukankah tugas Gintan hanya sebatas membuatkan minuman saja ? Gintan nggak akan jauh-jauh dari meja bar, jadi abang bisa ngelindungi Gintan dari pria-pria hidung belang itu." ujar Gintani seraya meraih dan menggenggam kedua tangan bosnya.
"Baiklah jika itu kemauan kamu." ujar Alex.
"Nggak usah khawatir, Tan ! Bang Anto juga akan selalu ngelindungi kamu !" timpal Anto yang sudah berdiri di belakang bosnya.
Gintani tersenyum. Akhirnya, atas permintaan Gintani, pintu pub pun dibuka kembali.
Dugaan Alex memanglah benar. Pria-pria tak tahu malu itu datang hanya karena penasaran dengan diri Gintani yang dianggapnya bisa diajak bersenang-senang. Tapi pikiran mereka salah besar. Meskipun hati Gintani merasa kesal dengan pandangan menghina dari pria-pria hidung belang itu, namun dia berusaha untuk tetap ramah melayani dan membuatkan minuman pesanan para pengunjung pub.
☘️☘️☘️
Waktu tengah menunjukkan pukul 22.45.
BRAKK...!!
Dua orang lelaki yang bertubuh tegap dan mengenakan jaket hitam, tiba-tiba menendang pintu ruang rawat kakek Wira.
Seorang suster yang tengah tertidur, sontak saja membuka matanya. Begitu juga dengan tuan Wira yang merasa kaget dengan kedatangan pria-pria itu.
"Si.... siapa kalian ?" tanya kakek Wira.
"Anda tidak perlu tahu siapa kami ! Bawa dia !" perintah pria pertama seraya menggerakkan tangannya.
Dua orang laki-laki lagi masuk ke ruangan itu. Yang satunya mendorong kursi roda kosong, sedangkan yang satu lagi menghampiri ranjang tuan Wira, kemudian menurunkan infusan yang tergantung dan meletakkannya di atas ranjang.
Pria yang menurunkan infusan itu dengan sigap memangku tubuh rengkuh tuan Wira dan mendudukkannya di kursi roda.
"Eh, apa-apaan ini ? Mau dibawa kemana kakek Wira ?" teriak perawat yang tengah menjaga tuan Wira.
Perawat itu berlari dan menarik kursi roda yang telah keluar dari pintu ruang rawat. Tapi tubuhnya yang kecil terlihat kesusahan menarik kursi roda yang tengah di dorong pria bertubuh tegap itu.
"Apa yang kalian lakukan terhadap pasien ?" tegur perawat pria saat kursi roda itu melintas di koridor rumah sakit.
Bukannya mendapat jawaban, perawat tadi malah mendapatkan pukulan telak di rahangnya. Tak ayal lagi, keributan pun terjadi di rumah sakit Harapan.
"Dengar ! Jangan pernah ada yang berani menghalangi jalan kami ! Jika tidak, maka nyawa tua bangka ini akan berakhir di ujung senjataku !" ujar salah satu pria tegap itu seraya menodongkan pistolnya di ujung pelipis kakek Wira.
Kakek Wira yang memang sedang berada dalam kondisi lemah, hanya mampu diam tak berdaya. Jantungnya berdetak kencang merasakan dinginnya ujung senjata yang menempel di pelipisnya.
"Siapa kalian ?" tanya seorang dokter muda yang menangani tuan Wira.
Pria satu lagi menghampiri dokter itu seraya mengeluarkan pistolnya dan menodongkannya ke arah sang dokter.
"Siapa pun kami, itu tidaklah penting ! Yang terpenting saat ini, segera kau hubungi keluarganya ! Katakan padanya jika tuan Broto sudah menjemput calon kakek mertuanya ! Ha....ha....ha...." ujar pria itu sambil tertawa terbahak-bahak.
Dalam hitungan menit, mereka pun memasukkan tuan Wira ke sebuah mobil Van berwarna putih yang telah terparkir di depan lobi rumah sakit.
☘️☘️☘️
PRANG....!
Gelas tinggi yang sedang dipegang Gintani, tiba-tiba terlepas begitu saja dari tangan Gintani. Suara pecahannya menarik perhatian Alex yang sedang meracik minuman pelanggannya.
"Kenapa, Tan ?" tanya Alex seraya menghampiri Gintani yang tengah berjongkok membersihkan pecahan gelas tersebut.
"A...aku tidak tahu, bang ! Tiba-tiba, tangan Gintan terasa licin." jawab Gintani.
"Ya sudah, tidak apa-apa ! Sini, biar abang bantu membersihkannya !" ujar Alex seraya menyapu pecahan gelas itu.
Tiba-tiba,
Drrt... drrtt....
Ponsel Gintani bergetar. Gintani pun segera merogoh ponsel di saku rok nya. Tampak nama suster Dewi tertera di layar ponselnya. Gintani terkejut, jangan-jangan terjadi sesuatu sama kakek ! gumam Gintani.
"Siapa Tan ?" tanya Alex yang merasa heran dengan perubahan raut wajah Gintani.
"Da..dari rumah sakit, bang." jawab Gintani.
"Ya sudah, diangkat dulu ! Takutnya penting." perintah Alex.
"Hallo, assalamualaikum !" sapa Gintani.
"Waalaikumsalam, mbak ! Mohon maaf mbak, Dewi cuma mau menyampaikan kalau kakek Wira tadi dijemput paksa sama orang-orang yang tidak dikenal !" ujar perawat rumah sakit Harapan."
"Apa ! Dijemput paksa ? Tapi, siapa yang telah menjemput paksa kakek saya ?"
Bersambung...
Jangan lupa like vote n komennya ya 🙏🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
Resti Oktaviani
tabahkan hatimu gintan
2022-07-25
1
Sarah
gini amat hidup kamu, gin
2022-05-03
2
Lizaz
Shella yang berutang malah gintani yang nanggung
2021-09-17
1